Selasa, 27 Oktober 2020

SUNAN BONANG DAN AJARAN-AJARAN POKOK WALISONGO - (121)

 

KH Raden Abdullah bin Nuh mengatakan didalam bukunya, Walisongo, bahwa kesembilan Wali tersebut mengajarkan agama Islam secara murni, bermadzhab syafii dan beraliran Ahlussunnah Waljamaah. Sedangkan Drs Wiji Saksono dalam bukunya, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, menga-takan, bahwa dari kesembilan Walisongo tersebut, hanya Sunan Bonang yang hingga kini dapat diketahui dengan jelas pokok-pokok ajarannya dan dapat dijadikan sebagai pegangan atau sumber rujukan. Sementara ajaran Walisongo yang lain dinilai masih sangat samar dan belum terungkapkan. Banyak sekali orang yang berusaha mengungkap ajaran mereka melalui kisah-kisah, sebagaimana yang tertulis didalam buku-buku babad dan tersiar dari mulut ke mulut, akan tetapi masih belum dapat dipandang sebagai fakta sejarah dalam pengertian yang sebenarnya.

Meski hanya ajaran dan wejangan Sunan Bonang saja yang telah jelas dan tegas dapat diketahui keshahihannya, kaum muslimin perlu merasa bersyukur karena Sunan Bonang-lah yang paling representatif mewakili ajaran para wali yang lain, sehingga dengan mengetahui ajarannya itu kita akan dapat mengetahui ajaran para Walisongo. Hal ini didukung dengan beberapa alasan :

Pertama, Sunan Bonang secara resmi sangat berkompeten di antara Walisongo untuk memberikan wejangan keilmuan dan keagamaan, sesuai dengan gelar yang disandangnya, Prabu Hanyakrawati, yang berkuasa dalam soal-soal sesuluking ngelmi lan agami. 

Kedua, Sunan Bonang adalah putra sekaligus murid Sunan Ampel bersama-sama dengan Sunan Drajat, dan teman satu almamater dengan Sunan Giri karena sama-sama berguru kepada Sekh Maulana Ishak di Pasai. Selain itu, Sunan Bonang adalah guru pertama Sunan Kalijaga. Dengan mengetahui ajaran Sunan Bonang, maka kita dapat menggambarkan ajaran dari Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat dan Sunan Kalijaga.

Ketiga, Sunan Gunungjati adalah anak sekaligus murid Sekh Maulana Ishak, sementara Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah satu perguruan dengan Sunan Gunungjati di Pasai, maka sedikit banyak ajaran Sunan Gunungjati dapat diketahui lewat ajaran Sunan Bonang.

Paling sedikit ada tiga buku yang menguraikan ajaran dan wejangan Sunan Bonang :

1). Buku Bonang yang ditulis oleh Sunan Bonang sendiri, dan dijadikan sebagai bahan disertasi doktor oleh DR B.J.O. Schrieke dengan judul Het Boek van Bonang di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1916;  

2). Teks Primbon Abad ke-16 yang isinya mirip dengan Buku Bonang, yang tercantum dan diulas secara kebahasaan didalam Een Javaansche Geschrift uit de 16 de Eeuw, disertasi DR J.G.H. Gunning pada tahun 1881 di Universitas Leiden Belanda;  

3). Kitab Suluk Wujil yang ditulis paling sedikit oleh tiga orang murid Sunan Bonang dari hasil pencatatan mereka terhadap pelajaran yang diterima darinya, yang secara khusus menguraikan seluk-beluk ilmu tasawwuf yang berpuncak pada ajaran tentang Manunggaling kawula-Gusti, yakni suatu maqam (tingkatan spiritual) yang dicapai seorang sufi pada saat mengalami fana’, menurut pemahaman yang benar dan bukan menurut pemahaman panteistis-moneistis yang diajarkan oleh aliran Hulul dan Wahdatul Wujud.

Berbeda dengan buku pertama dan kedua di atas, buku ketiga  tersusun dalam bentuk “tembang”  (puisi jawa) yang sangat sulit dipahami oleh orang awam, dan hanya dapat dipahami / dipelajari oleh orang yang memiliki ilmu sastra dan dasar pemikiran  filsafat yang kuat.

Buku pertama dan kedua memiliki beberapa persamaan. Diantaranya : sama-sama tersusun dalam bentuk “prosa” atau karangan bebas. Kitab utama yang dijadikan sebagai rujukannya adalah Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali dan Tamhid karya Abu Syukur as-Salami, serta kitab-kitab lain susunan para ulama Ahlussunnah Waljamaah.

Sedangkan perbedaannya :

1). Dilihat dari metode penyuguhannya, buku pertama dan buku kedua dimaksudkan sebagai pengajaran kepada masyarakat awam yang diutarakan secara lebih populer, mudah dan gampang dicerna, serta persoalan yang dibahasnya merupakan masalah yaumiyah (aktual sehari-hari) meliputi segi-segi kehidupan orang awam dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan buku ketiga dipersiapkan sebagai bahan pengajaran bagi orang-orang khusus yang diutarakan lebih bersifat filosofis dan mistis, yang hanya mudah dipahami dan ditangkap oleh orang tertentu yang memiliki pengetahuan dan pemahaman dasar yang dipersiapkan untuk mendalami ilmu keagamaan lebih lanjut.  

2) Dilihat dari segi materinya, buku pertama secara khusus menguraikan tentang hal ihwal ajaran tauhid dan tasawwuf yang diuraikan secara runtut dan teratur. Buku kedua lebih bersifat kumpulan karangan (Primbon) atau bunga rampai dari berbagai persoalan dan ilmu yang meliputi tauhid, tasawwuf, akhlak, fiqih, tafsir, hadis, tarikh (sejarah Nabi dan orang shaleh), doa-doa, pengobatan, takbir mimpi dan prediksi, serta persoalan harian lainnya.  Sedangkan Buku Ketiga secara khusus menguraikan pelajaran Tasawwuf tingkat tinggi (Ma’rifat)

Untuk selanjutnya, akan diuraikan pokok-pokok wejangan dan ajaran Sunan Bonang yang disarikan dari buku pertama (“Buku Bonang”). Karena buku inilah yang secara khusus membahas persoalan tasawwuf dan tauhid secara teratur. Disamping bahwa buku pertama ini tidak diragukan keshahihannya sebagai tulisan Sunan Bonang sendiri oleh para peneliti dan ahli sejarah.

 

BUKU  BONANG

Didalam Buku Bonang disebutkan beberapa kitab yang diperkirakan dijadikan sumber pengambilannya, seperti kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali; Tamhid (fi Bayanit-Tauhid wa Hidayati li kulli Mustarasyid wa Rasyid) karya Abu Syakur al-Hanafi as-Salami; Talkhis al-Minhaj karya imam an-Nawawi; Quthbul Qulub karya Abu Thalib al-Makky; dan Ar-Risalah al-Makkiyyah fi Thariq as-Sadat as-Shufiyyah karya Afifuddin at-Tamimi. Juga disebutkan beberapa nama ulama seperti Abu Yazid al-Busthami, Muhyiddin ibnu Arabi, Sekh Ibrahim ‘Arki (mungkin al-‘Iraqi), Sekh Semangu ‘Asarani, Sekh Abdul Qadir al-Jailani, dan lain-lain.

Buku Bonang menitikberatkan pada ajaran ushul suluk, sebagai gabungan antara ajaran Ushuluddin dan Tasawwuf menurut faham Ahlussunnah waljamaah, yang berkisar pada tiga pokok masalah, yakni Ajaran tentang Allah yang meliputi Dzat, Sifat dan Af’al-Nya; masalah  manusia dan Allah; masalah Ru’yat Allah; dan  ditambah satu tanbih, sebagai peringatan agar berbuat saleh, takwa, serta berpegang teguh dan menjaga batas syariat.

1. Ajaran Tentang Allah. Ajaran Sunan Bonang mengenai Dzat, Sifat dan Af’al Allah merupakan ringkasan dan terjemahan bebas Sunan Bonang dari kitab Ihya’ Ulumiddin-nya Al-Ghazali dan kitab Tamhid-nya Abu Syukur as-Salami. Dengan kata lain, apa yang diajarkan oleh kedua kitab tersebut adalah sama dengan yang diajarkan oleh Sunan Bonang. Dia mengatakan, “Sesungguhnya adanya Allah itu bersifat tunggal, langgeng, mahasuci, dan itu bukan sesuatu yang lain daripada ada-Nya yang bukan material, yang pada awal mula memberikan “ada” kepada segala sesuatu. Sesung-guhnya Ia tidak termasuk alam kebendaan, tidak menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan makhluk ciptaan-Nya, karena Ia Ada sebelum segala sesuatu dan bersifat langgeng dan mahasuci. Sifat-Nya yang lepas dari keben-daan meliputi segala sesuatu, sempurna, elok, mahamulia, mahatinggi, dan mahaluhur. Mengenai hakekat-Nya, tak seorang pun tahu akan sifat-Nya yang lepas dari kebenda-an. Hanya Ia sendiri yang mengetahui akan jiwa-Nya”.

Selain itu, Sunan Bonang menjelaskan duabelas faham pemikiran tentang ketuhanan yang dinilai sebagai aliran sesat yang disebunya sebagai wong sasar (sesat), kufur, kafir, kufur ing patang madzhab (kufur menurut standar empat madzhab). Diantara pemikiran mereka yang sesat itu adalah : 1) Dzat Allah adalah kekosongan itu sen-diri;  2) Yang Ada ini adalah Allah dan yang Tiada itupun juga Allah, dalam pengertian bahwa tiada-Nya ialah ketika Dia tidak menciptakan;  3) Nama Allah itu KehendakNya, Nama-Nya itu Dzatnya; jadi, Dzat-Nya adalah Kehendak-Nya. Ketiga ajaran yang dirumuskan dari pemikiran Abdul Wahid ibn al-Makkiyyah ini dapat mengacaukan pemaha-man umat Islam, dan bahkan menunjukkan ketidaktahuan-nya tentang Keesaan Allah.  4) Pemikiran kaum batiniyah yang mengatakan bahwa semua makhluk adalah sifat Tuhan;  5) pemikiran bahwa didalam keadaan fana’ akan terjadi ittihad (persatuan, manunggal) antara hamba dan Tuhan, sebagaimana bersatunya air sungai di muara dengan air laut. Pemahaman seperti ini merupakan penak-wilan yang menyimpang dan sesat;  6) Paham karamiyah;  7) Paham menyamaratakan antara Dzat, Sifat dan Asma’, yang mengatakan bahwa Sifat itu ada didalam Dzat, dan Asma’ itu ada didalam Dirinya sendiri;  8) Paham yang menyatakan bahwa sifat dan dzat merupakan dua keadaan yang berdiri sendiri;  9) Paham Mu’tazilah yang mengingkari adanya Qudrat dan Iradat Allah atas manusia;  10) Paham Ibnu Arabi, mengembangkan faham Wahdatul Wujud. Diantara fahamnya, Allah itu Qadim, sedangkan Sifat dan Af’al-Nya adalah baru. Pandangan ini menisbah-kan Allah dengan makhluk seperti bersandarnya peralatan dari besi yang dapat dilebur menjadi besi lagi;  11) Paham yang mengingkari arti bercermin diri itu dapat menjadi wasilah untuk makrifat kepada Allah;  12) Paham yang menyatakan bahwa Tuhan itu ma’dum min nafsihi (kekosongan/tiada dari diri-Nya sendiri).

2. Masalah manusia dan Allah. Ajaran ini bertolak pada rumusan Padudoning kawula-Gusti (ke-bukan-an hamba-Tuhan). Dengan rumusan ini, Sunan Bonang beru-saha menjaga dua asas utama dalam akidah. Pertama asas tauhid, yakni pengakuan tentang Allah sebagai Khalik Yang Esa, Mandiri, Pribadi yang penuh dengan kebebasan dan kekuasaan.  Kedua : asas Hurriyyah asy-Syahshiyyah al-Insaniyyah (asas kemerdekaan pribadi manusia), yakni  pengakuan adanya hak kemerdekaan bagi manusia sebagai oknum yang mandiri dan pribadi yang utuh.

Dengan dua asas tersebut, Sunan Bonang ingin menunjukkan bahwa Allah dan manusia merupakan dua wujud kenyataan yang berlainan sama sekali. Demikian juga sifat Tuhan bukanlah sifat makhluk dan sifat makhluk bukan sifat Tuhan. Masing-masing berdiri sendiri-sendiri sebagai dua oknum/pribadi yang berbeda dan tak mungkin lebur menjadi satu kesatuan wujud, sebagaimana leburnya air hujan kedalam air laut, bagaimana pun tingkat kedeka-tan dan keakraban yang mungkin dicapai keduanya pada saat terjadi  fana’.  Betapa keliru dan sesatnya faham Hulul yang berpandangan : dalam maqam fana’ , dzat makhluk lebur jadi satu kesatuan kedalam Dzat Tuhan, sehingga merupakan satu adonan bagaikan adonan gelepung.

Dengan berpedoman pada ayat 19-20 QS ar-Rahman [55], “Marajal Bahraini yaltaqiyani bainahuma barzakhun la yabghiyan” (Dia membiarkan dua lautan mengalir. Kedua-nya lalu bertemu. Antara keduanya ada batas [“barzakh”] yang tidak dilampaui oleh masing-masing), maka Sunan Bonang mampu memahami persoalan fana’ dengan pema-haman yang sebenarnya. Dengan kata lain, pada saat mengalami fana’, seorang sufi merasa bersatu dengan Tuhan. Meskipun merasa bersatu, tetapi bukan dalam pengertian persatuan yang sebenarnya, karena diantara kedua Wujud tersebut tetap ada “barzakh” atau dinding pembatas, sehingga keduanya tidak akan dapat bercam-pur menjadi satu kesatuan. Itulah hakekat Manunggaling kawula-Gusti menurut pemahaman Sunan Bonang.

3. Masalah Ru’yat (Melihat Tuhan). Yang dimaksudkannya adalah “melihat” tetapi tidak melihat (rukyat Allah: arus tan arus).

Kata Sunan Bonang : ”ee Rijal! Tegesing rukyat iku : Aningali ing Pangeran ing akhirat lan mata kepala, ing dunya lan mata ati” (Wahai Rijal ! Arti rukyat itu adalah melihat Tuhan, di akhirat dengan mata kepala, dan di dunia dengan mata hati).

Maksudnya, manusia dapat melihat Tuhan dengan mata kepala atau dalam keadaan yang sebebarnya adalah pada saat di akhirat (surga) nanti. Sedangkan selama hidup di dunia, manusia hanya dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya, bukan dengan mata kepalanya.

Mampu-tidaknya seseorang melihat Tuhan tergantung pada kesempurnaan martabat (spiritual) yang bisa dicapainya dalam usahanya menempuh suluk atau tarekat. Semakin rendah martabat seseorang, maka semakin banyak penghalang untuk sampai pada rukyat, dan semakin tinggi martabatnya maka semakin berkurang penghalangnya sehingga pada akhirnya Allah menyempurnakan penglihatannya untuk mampu melihat Dzat, Sifat dan Af’al-Nya dengan mata hatinya.

Tanbih. Selain dipakai sebagai penutup buku, Tanbih juga dimaksudkan sebagai peringatan dan harapan agar seseorang selalu berbuat saleh dan takwa. Seorang muslim seyogyanya melaksanakan semua perbuatan lahir dan batin menurut tuntunan syariat Rasulullah saw, mencintai dan mengambil teladan dari Rasulullah saw sebagai wujud terima kasihnya atas anugerah Allah.

Sunan Bonang selanjutnya berpesan, bahwa itulah peninggalannya yang perlu kita amalkan dan ajarkan kepada anak cucu, jangan sampai kita menyeleweng dan salah jalan mengikuti ajaran orang sesat. Sebaliknya, hendaknya kita hanya takut kepada Allah, agar tujuan kita tercapai dan amal ibadah kita diterima oleh Allah swt.

Dengan wejangan di atas, kita ditunjukkan bahwa Sunan Bonang benar-benar menggolongkan dirinya sebagai penganut aliran Ahlussunnah Waljamaah. Selain mengutamakan persoalan batin seperti tasawwuf (mistik Islam) dan akhlak, dia juga tidak melalaikan persoalan lahir seperti syariat (fiqh dan tauhid).

 

===================================

Sumber bacaan :

1. Mengislamkan Tanah Jawa : Telaah atas metode dakwah Walisongo, oleh Drs Wiji Saksono, Mizan Bandung, cet.I, 1995

2. Kitab Kuning : Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesa, oleh Martin van Bruinessen, Mizan Bandung, cet.I, 1995

3. Ensiklopedi Islam, jilid 1, 2 dan 5, PT Ichtiar Baru van Hoeve Jakarta, cet.X, ‏‏2002

4. Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, HMH Al-Hamid al-Husaini,  Yayasan Al-Hamidy, Jakarta, cet II, 1997

5. Sekitar Walisongo, dan Sunan Kudus, Solichin Salam, Menara Kudus, tt

6. Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria, Umar Hasyim, Menara Kudus, tt

7. Ajaran Rahasia Sunan Bonang “Manunggaling Kawula-Gusti” : Kajian Tentang Konsepsi Ketuhanan dalam Ajaran Suluk Wujil, (Naskah/Skripsi), Aba Thabiba Elvina

8. Ensiklopedi Islam, vol 1 

SUNAN BONANG DAN SULUK WUJIL - (120)

 


SUNAN  BONANG  DAN  PENULIS  SULUK  WUJIL

Nama asli Sunan Bonang adalah Raden Ibrahim. Ia dilahirkan di Tuban dari hasil perkawinan antara Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila alias Dewi Condrowati binti Aria Teja III. Sunan Ampel sendiri berasal dari luar Jawa, putera seorang Ratu dari Champa. Sementara Nyi Ageng Manila adalah puteri seorang Bupati Tuban.

Saudara-saudara Sunan Bonang, menurut beberapa sumber cerita babad, tarikh atau sejarah, berjumlah 6 orang, yakni 4 orang merupakan saudara kandung dan 2 orang saudara seayah. Saudara sekandung yang merupakan hasil perkawinan Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila adalah : 1) Siti Syariah;  2) Siti Muthmainnah, isteri Sunan Wilis Cirebon;  3) Siti Khafshah, isteri sayyid Ahmad dari Yaman;  4) R. Qosim  alias Sunan Drajat Sidayu. Sementara 2 orang saudara seayah, yang merupakan hasil perkawinan antara Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Ageng Supo Bungkul dari Kembangkuning Surabaya adalah : 1) Dewi Murthasiyah, isteri Sunan Giri; dan  2) Dewi Murtasimah, isteri Raden Patah Sultan Bintara Demak. (Bisyri Musthafa,KH, 1987; 6.  Dan Umar Hasyim, 1983 ; 35).

Menurut sumber yang lain, Majalah Aula No. 08/tahun XV/Agustus 1993, halaman 33, dikatakan bahwa Siti Khafshah adalah isteri Sunan Kalijaga, bukannya isteri sayyid Ahmad dari Yaman. Dengan demikian, Sunan Kalijaga merupakan adik ipar Sunan Bonang. Hal ini sesuai dengan keterangan didalam kitab Suluk Wujil, bahwa Sunan Bonang memanggil Sunan Kalijaga atau Seh Malaya dengan panggilan “Adik”  atau “Yayi”.

Sunan Bonang memperistri Dewi Hirah binti Dewi Nawangwulan binti Ki Ageng Tarub, atau Dewi Hirah bint R. Jakandar (Sunan Malaka) dari Madura. Hasil perkawinannya ini melahirkan seorang puteri bernama Dewi Ruhil, yang nantinya diperisteri oleh Sunan Kudus. (Bisri Musthofa, KH., 1987; 8-11).

Dalam cerita-cerita babad dikatakan, Sunan Kudus  menikahi Dewi Rukhil binti Sunan Bonang. Dengan begitu, silsilahnya bertemu dengan silsilah isterinya pada datuk yang bernama Ibrahim Asmarakandi. Dari perkawinannya ini ia mendapatkan seorang putra bernama Amir Hasan. 

Lepas dari salah dan benarnya cerita mengenai silsilah atau hubungan darah di atas, yang terpenting adalah suatu informasi bahwa Sunan Bonang bukanlah berasal kalangan rakyat biasa, melainkan ia adalah seorang bangsawan yang mempunyai hubungan darah dengan pembesar kerajaan Champa, Bupati Tuban dan kerajaan Majapahit, selain juga keturunan pembesar agama  (Walisanga). Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan jika peranan Sunan Bonang di bidang Dakwah Islamiyah dapat dikatakan cukup berhasil, karena mendapatkan dukungan dari pihak penguasa, kaum bangsawan dan para ulama atau Walisanga.

Aktifitas Sunan Bonang diperkirakan antara tahun 1475 – 1525 M. Selama kurun waktu tersebut, peranannya cukup besar, baik di bidang Dakwah Islamiyah besama-sama dengan para Walisanga yang lain, di bidang pengembangan ajaran tasawwuf, sosial kemasyarakatan, maupun di bidang kenegaraan. (Poesponegoro,M.D., dkk., 1993; 208). Karena peranannya itu, ia mempunyai beberapa nama gelar atau julukan antara lain : “Maulana Makhdum Ibrahim”, “Sunan Bonang”, dan “Ratu Wahdat”. Gelar “Maulana Makhdum” berasal dari bahasa arab, yakni terdiri dari kata “Maulana” yang berarti tuan kami dan kata “Makhdum” yang berarti orang yang dikhidmati, dilayani dan dihormati. Gelar Maulana, seperti juga gelar Sayyid, sering dihubungkan dengan kedudukan seseorang sebagai anak keturunan Rasulullah saw dan sebagai pembesar agama (ulama). Sedangkan gelar Makhdum sering dihubungkan dengan kedudukannya sebagai ulama dan pembesar kenegaraan, sebagaimana gelar tersebut lazim dipakai di India dan Pasai pada saat itu sejak masa Raja Malikul Zhahir II (1326-1348 M) dan penerusnya (Daudy,A., 1983 ; 27.  Solichin Salam, 1986 ; 31). Gelar “Sunan Bonang” dihubungkan dengan kedudukannya sebagai seseorang yang terhormat atau seorang tokoh masyarakat (Ulama besar) yang berdomisili di daerah Bonang Tuban. Sementara gelar “Ratu Wahdat”  diberikan kepada Sunan Bonang sehubungan dengan aktifitasnya di bidang tasawwuf. Suluk Wujil sendiri sering menyebut Sunan Bonang dengan julukan Ratu Wahdat, misalnya pada bait ke 1, 6, 9, 44, 85 dan 99.

Sunan Bonang ternyata bukan hanya seorang ulama dan muballigh saja,  namun juga seorang sastrawan yang sangat besar sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan kebudayaan Islam dan Jawa, terutama pengembangan di bidang Kepustakaan Islam Jawa. Kemudian karya-karyanya di bidang sastra ini juga ia manfaatkan sebagai sarana pendukung aktifitas dakwahnya. Diantara karya-karyanya adalah Buku Bonang  atau Het Boek van Bonang, dan buku Suluk Wujil. Kitab pertama, Buku Bonang, membahas Ilmu Ketuhanan atau Tauhid menurut faham kaum sunni-ortodoks (Imam Ghazali) yang dihubungkan dengan persoalan Tasawwuf. Tujuan akhirnya adalah untuk meluruskan kembali faham-faham yang sesat lagi menyimpang pada saat itu, terutama yang dilakukan oleh kaum sufi heterodoks. Sedangkan kitab kedua, Suluk Wujil, secara khusus membahasa tentang ajaran tasawwuf.

Mengenai penulis kitab Suluk Wujil, tidaklah mudah dilacak, karena kitab ini tidak mencantumkan nama pengarangnya. Hal yang sama juga terjadi pada kitab-kitab yang muncul semasa Suluk Wujil, seperti kitab Suluk Sukarsa, Primbon abad Enambelas, Kojah Jajahan, dan sejenisnya. Para peneliti hanya mendasarkan diri pada dugaan ketika menentukan siapa penulis dari kitab-kitab tersebut melalui cara penelitian mengenai tempat dan waktu penyusunannya, gaya bahasa dan isi ajarannya, serta tanda-tanda khusus lain yang ada pada kitab-kitab tersebut.

Isi kandungan Suluk Wujil merupakan wejangan Sunan Bonang. Yang menjadi pertanyaan adalah, mungkinkah Suluk Wujil  dikarang dan ditulis oleh Sunan Bonang sendiri? Ataukah  merupakan kitab gubahan dari orang lain?. Jika dikatakan bahwa kitab tersebut merupakan karangan dan tulisan Sunan Bonang, hal ini dapat dikatakan kurang benar, karena Suluk Wujil sendiri diperkirakan muncul pada tahun 1607 M di masa pemerintahan Panembahan Seda Krapyak (1601 – 1613 M), sesuai bunyi candrasengkala pada bait ke-91 kitab Suluk Wujil : “Panerus tingal tataning Nabi”, yang berarti tahun 1529 Syaka atau 1607 masehi. Sementara itu, aktifitas Sunan Bonang diperkirakan antara tahun 1475 – 1525 M. Jika dikatakan bahwa kitab Suluk Wujil merupakan gubahan dan tulisan orang lain, atau setidak-tidaknya tulisan para murid Sunan Bonang, hal ini mungkin benar. Sebab dugaan ini dihubungkan dengan keadaan para santri pada saat itu yang sering mengumpulkan catatan-catatan pelajaran dari gurunya, lalu disusun kembali dan dibukukan dalam bentuk Serat Suluk. (Koentjaraningrat, 1984 ; 316.  Solichin Salam, 1986 ; 33). Jadi jawaban yang lebih tepat dari permasalahan di atas adalah bahwa Suluk Wujil bukanlah karangan dan tulisan Sunan Bonang sendiri, akan tetapi ditulis oleh para muridnya, meskipun ajaran dari kitab tersebut benar-benar berasal dari Sunan Bonang.

Dikatakan oleh Poerbatjaraka (1985 ; 10-11), bahwa dipandang dari sudut gaya bahasa dan pilihan kata-kata yang dipergunakan, paling sedikit ada tiga penulis Suluk Wujil. Bait ke-1 sampai dengan bait ke-37 menunjukkan hasil karya sastra dari seorang penulis yang sudah mantap, bahasanya indah. Bait ke-38 sampai dengan bait ke-48, menunjukkan hasil karya seorang penulis lain yang ditulis kurang jelas, namun dilihat dari sudut isi kandungannya cukup jelas. Sedangkan bait ke-49 sampai dengan bait ke 55, menunjukkan bahwa penulisnya berasal dari suku Sunda. Dan bait-bait selebihnya, yakni bait ke 56 s.d. 104, dikerjakan oleh penulis yang pertama. Mereka bertiga diduga berasal dari daerah Cirebon, karena ejaan tulisan yang mereka gunakan banyak keganjilan-keganjilan, seperti kata rekeh, seharusnya ditulis reke; kata Salayah ditulis Salaya.

 

BEBERAPA NASKAH SULUK WUJIL 

Naskah Suluk Wujil yang asli dari penulisnya belum dapat diketahui secara pasti. Sementara itu, naskah-naskah yang beredar di Perpustakaan-perpustakaan dan di tangan para penyimpannya adalah sekedar turunan atau duplikat dari naskah aslinya. Penyusun menemukan dua naskah Suluk Wujil, yakni pertama diterbitkan oleh Soemodidjojo Mahadewa Yogyakarta pada tahun 1957 M, dan yang kedua merupakan Suluk Wujil yang disalin oleh Poerbatjaraka. Kedua kitab tersebut mempunyai kesamaan dalam isi kandungannya, hanya saja ada perbedaan dalam cara penulisan, logat yang dipakai dan pilihan kata-katanya. Meskipun demikian, hal ini tidak sampai merubah atau menghilangkan beberapa bagian dari isi kandungannya. Misalnya kata “purba”, “anuhun”,  “sakaring”  dan sejenisnya pada kitab salinan Poerbatjaraka, ditulis ‘murba”, anuwun”, “saka ring”, dan sejenisnya pada kitab pertama di atas. Menurut keterangan Poerbatjaraka (1985 ; 11-12), masih ada beberapa naskah Suluk Wujil selain dua naskah di atas, sebagaimana yang akan diauraikan nanti. 

a. Suluk Wujil terbitan  “Soemodidjojo Mahadewa” Yogyakarta. Naskah ini diterbitkan pada tahun 1957, yang berisi 104 bait, yang pada halaman cover depan tertulis kalimat :

“Punika serat kina, mengku piwulang kabatosan kautamaning gesang ingkang kineker. Pengarangipun sampun boten kasumerepan. Kula babar malih boten ical tanpa lari, kangge nambahi kathahing serat-serat. Sinten sumerep yen ing tembe wingking wonten pigunanipun”. 

Dan pada beberapa halaman terakhir, yakni halaman 24 s/d 29 berisi semacam Kamus atau Indeks untuk kata-kata sulit.

b. Suluk Wujil salinan Poerbatjaraka.  Naskah ini disalin dari naskah yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leidan Belanda dengan kode Ms. B.G. Nomor 54, kemudian dia ulas isinya dalam bahasa Belanda dengan judul “Suluk Wujil  (De geheime leer van Bonang), yang diterbitkan oleh Redaksi Djawa Jaargang pada tahun 1938, nomor penerbitan 3-5. Ulasan dan salinan tersebut kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul : “Ajaran Rahasia Sunan Bonang, Suluk Wujil”  oleh R. Suyadi Pratomo, yang diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud Jakarta, tahun terbit 1985.

Naskah asli Sulul Wujil pada kode Ms. B.G. Nomor 54 di atas berukuran tinggi 23 cm, lebar 16 cm dan isi 52 halaman dengan tulisan tangan. Halaman pertama tidak ditulisi, dan isi Suluk Wujil dimulai dari halaman 2 sampai dengan halaman 22 bagian atas. Sedangkan halaman berikutnya berisi tulisan Suluk Darmana (24 bait syair) dan berisi semacam ulasan dari buku Nitisastra. (Poerbatjaraka, 1985 ; 9).

Sebagaimana naskah terbitan Yogyakarta di muka, naskah salinan Poerbatjaraka ini berisi 104 bait syair yang kesemuanya bertembang dandanggula, kecuali bait 55 yang bertembang Aswalalita (metru  Jawa kuna) dan bait 56 yang bertembang Mijil. 

c. Naskah Suluk Wujil  yang lain.  Di antara naskah Suluk Wujil yang lain adalah beberapa naskah yang terdapat didalam Codex (tulisan tangan) 1795 pada halaman 339, yang salah satu copiannya ialah berupa Coll. Brandes nomor 339.II halaman 145.

Naskah Suluk Wujil juga ditemukan pada tulisan R.Wirawangsa yang berjudul Sarasedya pada halaman 28 dan seterusnya. Hanya saja, nama Wujil diganti dengan “Sendhi” atau “Sumendi”. Penggantian nama tersebut belum diketahui motifnya. Malahan hal itu dapat menurunkan nilai keotentikan Suluk Wujil dan tentu saja sama jeleknya dengan apa yang dilakukan didalam Codeks 1795  beserta copiannya, Coll Branders 339.II, yakni melakukan penggantian dan membaharuan terhadap kata-kata kuno yang tidak dimengerti oleh penyusun copi, selanjutnya diganti dengan kata-kata menurut seleranya sendiri. (Poerbatjaraka, 1985 ; 11-12).

Menurut Poerbatjaraka (1985; 12), dari semua naskah-naskah tersebut di atas, hanya naskah dengan kode Ms.B.G. nomor 54 yang dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Ini dapat dibuktikan dengan gaya bahasanya yang sederhana, masih jelas dan mudah dimengerti. Hal ini juga berarti bahwa naskah Suluk Wujil yang disalin oleh Poerbatjaraka dari Ms.B.G. nomor 54 dapat dikatakan mendekati keasliannya, sehingga layak dijadikan sebagai obyek penelitian

SUNAN BONANG DAN MASJID DEMAK - (119)

 

Masjid Agung Demak merupakan sebuah masjid tertua di Indonesia, masjid kerajaan Islam Islam pertama di Jawa; letaknya di alun-alun kota Demak Jawa Tengah.

Menurut Legenda dan cerita babad, masjid ini didirikan secara bersama-sama oleh Walisongo. Babad Demak  menunjukkan, bahwa masjid ini didirikan pada tahun tahun Saka 1399 (1477 M) yang ditandai oleh candrasengkala “Lawang Trus Gunaning Janmi”. Sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1499.

Masjid Agung Demak yang terbuat dari kayu jati terdiri dari bangunan inti berukuran 33 m x 31 m dan bangunan serambi berukuran 31 m x 15 m. Pada bangunan inti masjid, atap tengah bangunan inti masjid ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru) yang dibuat oleh empat orang Walisongo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunungjati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang sedangkan Saka sebelah timur laut yang terbuat dari saka tatal (beberapa potong balok yang diikat menjadi satu) merupakan sumbangan Sunan Kalijaga. Sementara bangunan serambi masjid dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada jaman Adipati Yunus (Pati Unus, Pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.

Masjid Agung Demak memiliki ciri khas tersendiri. Bentuk bangunan yang cenderung mirip candi yang meruncing ke atas, seperti nasi tumpeng merupakan pengaruh dari unsur kebudayaan Hindu-Jawa. Ciri khas lainnya, masjid ini bercorak “masjid kuburan”, yakni masjid yang menyatu dengan kuburan yang terletak di sebelah baratnya. Atapnya yang bersusun tiga tingkat melambangkan islam, iman dan ihsan. Jumlah pintunya lima buah melambangkan kelima rukun Islam, sedang jendelanya yang berjumlah enam buah melambangkan keenam rukun iman.

Selain berfungsi sebagai tempat ibadah (Shalat), masjid Agung Demak di masa Walisongo juga berfungsi sebagai pusat kegiatan kerajaan Islam Demak. Di masjid inilah para wali mengadakan musyawarah dan dakwah Islamiah seperti “sekaten”.

Pada acara sekaten, dibunyikanlah gamelan dan rebana, serta pertunjukan wayang kulit  di depan serambi, sehingga masyarakat berduyun-duyun mengerumuni dan memenuhi depan pintu “Gapura”, pintu gerbang utama masuk ke masjid (dari kata “Ghafuro” yang berarti ampunan).  Para Wali kemudian mengadakan tabligh dan masyarakat diperbolehkan masuk kedalam masjid untuk menyaksikan gelar seni tersebut dengan terlebih dahulu membaca “Sekaten”, yaitu membaca dua kalimat syahadat (Syahadatain). Maka masyarakat pun secara sukarela dituntun mengucapkan “syahadatain” (sekaten) tersebut.

Menurut Hikayat Hasanuddin, Masjid Agung Demak pernah mempunyai lima imam besar masjid yang amat besar jasanya dalam proses Islamisasi di Jawa. Sunan Bonang diangkat Raden Patah sebagai imam besar pertama, kemudiaan diganti secara berturut-turut oleh Ibrahim (Pangeran Karang Kemuning),  Makhdum Sampang,  Penghulu Rahmatullah dari daerah Undung (dekat Kudus), dan Sunan Kudus.  (Sumber : Ensiklopedi Islam, volume 1 : Aba – Far. Halaman 299-300) 

Selain itu, Sunan Ampel bersama-sama dengan para Wali lain ikut serta mendirikan masjid Agung Demak tahun 1477 M. Mereka melakukan pembagian tugas : Keempat tiang “Saka Guru” (tiang utama penyanggah dari kayu raksasa) dikerjakan oleh Sunan Ampel di bagian tenggara; Sunan Gunung Jati di bagian barat daya; Sunan Bonang di bagian barat laut; dan Sunan Kalijaga di bagian timur laut, berupa  tiang saka tatal (bukan berupa kayu utuh, tetapi dari beberapa pecahan kayu balok yang diikat menjadi satu). Sementara para wali lainnya diberi tugas mengerjakan bagain-bagian bangunan masjid yang lain. (Sumber : Mengenal Sejarah Walisongo, oleh Suchaimi)

SUNAN BONANG DAN WALISONGO - (118)


Pengertian. Menurut pemahaman yang berkembang dalam ‘urf (kebiasaan) di Jawa, istilah “Walisongo” diartikan sebagai sembilan orang penyebar terpenting agama Islam di Jawa. Mereka dipandang sebagai orang yang dikasihi, sangat dekat hubungannya dengan Allah, dan diyakini mempero-leh karomah berupa tenaga-tenaga ghaib, kekuatan batin yang sangat hebat, berilmu sangat tinggi, dan sakti berjaya kawijayan.

Menurut pendapat yang lain, Walisongo bukan berarti berjumlah sembilan orang, tetapi bisa jadi lebih dari sembilan orang, atau kurang dari itu. Karena kata “songo”, menurut komentar Prof. K.H.R. Mohammad Adnan, merupakan perubahan atau kerancuan dari kata “sana” , berasal dari bahasa arab “ثناء  “ (Tsana’) yang berarti “mulia, terpuji”. Karenanya, istilah yang tepat adalah Walisana, yang berarti “Wali-wali yang terpuji dan mulia”. Dengan demikian, jumlah mereka tentu lebih dari sembilan orang.

Pendapat di atas diperkuat oleh R.Tanoyo. Hanya saja menurutnya, Sana bukan berasal dari bahasa arab (tsana’), tapi dari bahasa jawa kuno yang berarti tempat, daerah atau wilayah. Dengan demikian, Walisana berarti Wali bagi suatu tempat atau wilayah. Dalam kaitannya dengan ini, para wali juga disebut “Sunan”, kependekan dari kata Susuhunan atau Sinuhun, yang berarti orang yang dijunjung, dimuliakan atau dihormati. Misalnya Sunan Ampel, seorang wali yang dijunjung dan dihormati di Ampel Surabaya.

Menurut R. Tanoyo, istilah Walisana  dipopulerkan oleh Sunan Giri II sebagai judul bukunya, Kitab Walisana. Didalam kitab ini dijelaskan, bahwa Waliyullah  penyebar utama Islam di Jawa berjumlah 8 orang, yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Majagung, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati. Selain ke-8 orang ini, masih ada lagi Wali yang berstatus sebagai wakil yang disebut Wali Nukba atau Wali Nawbah, yang jumlahnya sangat banyak. Di antaranya Sunan Ngudung, Sunan Muria, Raden Santri (Sunan Gresik), Reden Patah (Sunan Bintara), Sunan Tembayat, Sunan Geseng, Sunan Perapen dan lain-lain.

Sementara menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, MA didalam bukunya, Kisah Wali Songo, yang dinukil dari kitab Kanzul Ulum, karya Ibnu Bathuhah, lantas disempurnakan oleh Syekh Maulana Al-Maghrabi bahwa istilah Walisongo adalah nama dari lembaga Dakwah atau Dewan Muballigh di Jawa yang beranggotakan sembilan orang  pengurus. Lembaga ini melakukan tiga kali sidang penggantian Pengurus, yakni tahun 1404 M, 1436 M dan 1463.  Ditambahkan oleh KH Dachlan Abdul Qahhar, Lembaga ini mengadakan sidang yang keempat tahun 1466 M dan kelima saat menangani kasus Seh Siti Jenar..


PERIODESASI WALISONGO

Walisongo Periode Pertama. Timbulnya Lembaga Muballigh ini berawal dari kepedulian Sultan Muhammad I

dari dinasti Turki Usmani terhadap perkembangan Islam di Jawa. Sultan kirim surat kepada para ulama Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya meminta kepada  mereka yang berilmu tinggi dan memiliki karamah agar bersedia menjadi Muballigh di Tanah Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama, lantas mengadakan sidang pertama untuk menentukan langkah-langkah strategi dakwah, pembagian tugas sesuai dengan bidang keahliannya, dan pembagian wilayahnya. Kesembilan ulama tersebut adalah 1) Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M di Gresik); 2) Maulana Ishaq;  3) Maulana Ahmad Jumadil Kubra (makamnya di Trowulan Mojokerto);  4) Maulana Muhammad al-Maghrabi (w. 1465 M di Jatinom Klaten);  5) Maulana Malik Israil (w. 1435 M di Gunung Santri Cilegon);  6) Maulana Muhammad Ali Akbar (w. 1435 M di Gunung Santri Cilegon);  7) Maulana Hasanuddin (w. 1462 M di samping masjid Banten lama);  8) Maulana Aliyuddin (w. 1462 M di samping masjid Banten lama);  9) Syekh Subakir (w. 1462 di Persia).

Walisongo periode kedua, mengadakan sidang ke-2 tahun  1436 M. Keputusannya:  melengkapi komposisi pengurus : 1) Sunan Ampel, mengganti Maulana Malik Ibrahim yang wafat;  2) Sunan Kudus mengganti Maulana Malik Israil yang wafat;  3) Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati), mengganti  Ali Akbar yg wafat.

Walisongo periode ketiga : mengadakan sidang ketiga tahun 1463. Hasilnya melengkapi kepengurusan dengan memasukkan 1) Sunan Giri, menggantikan Maulana Ishaq yang pindah ke Pasai;  2) Sunan Bonang, menggantikan Maulana Hasanuddin yang wafat;  3) Sunan Kalijaga, menggantikan posisi Syekh Subakir yang kembali ke Persia;  4) Sunan Drajat, menggantikan Maulana Aliyuddin yang wafat.  

Walisongo perode keempat : memasukkan 1) Raden Patah, menggantikan Maulana Ahmad Jumadil Kubra yang wafat; dan 2) Fathullah Khan yang menggantikan Maulana Muhammad al-Maghrabi yang wafat.  

Walisongo periode kelima : masuk nama Sunan Muria. Tidak dijelaskan menggantikan siapa, tetapi besar kemungkinan menggantikan Raden Patah yang menjadi Sultan Demak. Walisongo periode ini juga memutuskan sikap (menghukum) atas diri Sekh Siti Jenar.

Lepas dari benar-tidaknya pendapat di atas, Walisongo yang disepakati para ahli sejarah dan nama mereka sudah terkenal luas di masyarakat, serta makam mereka saat ini ramai diziarahi  kaum muslimin, berjumlah sembilan orang  : 1) Maulana Malik Ibrahim;  2) Sunan Ampel;  3) Sunan Giri;  4) Sunan Bonang;  5) Sunan Drajat;  6) Sunan Kalijaga;  7) Sunan Muria;  8) Sunan Kudus; dan 9) Sunan Gunungjati.

SUNAN BONANG DAN SUNAN KALIJAGA - (117)

 


Pada masa mudanya, Raden Syahid terkenal dengan julukan Brandal Lokajaya, disebabkan kehidupannya yang penuh diwarnai dengan kekerasan, perampokan, kesesatan, pembunuhan dan kejahatan besar lainnya. Berkat dakwah dan bimbingan Sunan Bonang, ia bertobat ke jalan yang benar. Bahkan di kemudian hari ia menjadi tokoh utama Walisongo yang mendapat julukan Wali Penutup dan “Puser” (pusat) para Wali.

Raden Syahid juga terkenal dengan julukan Sunan Kalijaga. Kata “Kalijaga” yang berarti penjaga kali / sungai adalah berawal dari kisah babad. Setelah bertobat, ia bermaksud ingin menjadi murid Sunan Bonang. Sebagai syarat menjadi murid, ia harus duduk bertapa di tepi kali / sungai sambil menunggui tongkat yang ditancapkan gurunya itu. Ia tidak boleh berpindah dari tempat duduknya sampai gurunya kembali. Menurut cerita ini, konon Sunan Bonang lupa dengan janjinya untuk menemui kembali sang murid yang ditugaskan menunggui tongkatnya, dan baru ingat setelah beberapa tahun berlalu. Sementara sang murid mentaati perintah gurunya itu dengan sabar, sampai-sampai badannya “lumuten” (berlumuran lumut),  rerumputan dan akar-akar pepohonan tumbuh merambati badannya. Masyarakat sekitar yang melihat pemandangan tersebut  kemudian menjulukinya dengan sebutan Kalijaga (penjaga kali).

Cerita di atas menurut sementara pihak dipandang sebagai cerita yang benar-benar terjadi. Sedangkan hal-hal aneh dan tidak masuk akal didalam cerita di atas menunjukkan kesaktian dan karamah Sunan Kalijaga, seperti kuat duduk semedi tanpa bergerak dan berpindah selama beberapa tahun, bahkan selama waktu itu ia kuat tidak makan dan minum.

Menurut sumber yang lain, cerita di atas adalah bukan cerita yang sesungguhnya, tetapi merupakan cerita simbolik atau cerita sandi yang kaya dengan makna dan penafsiran. Menunggu tongkat yang ditancapkan Sunan Bonang adalah simbol dari usaha memelihara ajaran atau keimanan Islam yang diajarkan Sunan Bonang kepadanya. Sungai yang airnya mengalir dari beberapa anak sungai yang akhirnya bermuara ke laut, melambangkan berbagai aliran kepercayaan dan agama yang ada di tengah masyarakat saat itu untuk diarahkan oleh Sunan Kalijaga kepada suatu kepercayaan / agama yang lurus dan benar, yakni Islam. Ketekunan dalam bertapa sebagai lambang ketabahan, keuletan, kesetiaan dan ketaatannya kepada Sunan Bonang. Sedangkan rerumputan dan akar yang merambati badannya, serta badannya sampai “lumuten”, melambangkan jangka waktu yang sangat panjang.

Jumat, 23 Oktober 2020

ASMA' BINTI ABU BAKAR - (116)


Asma’ binti Abu Bakar lahir di Makkah pada tahun 614 H/27 SH.  Di Makkah ini ia tumbuh sebagai seorang wanita yang terpandang, luhur jiwanya, cemerlang pikirannya, kuat kemampuannya, dan juga ikut berhijrah ke Madinah bersama kaum muslimin. Ia diantara wanita yang dini masuk Islam, dan karena perjuangannya membebaskan nabi Muammad dari kejaran kaum musyrikin Quraisy, maka ia mendapat julukan Dzatun Nithaqain

Asma’ binti Abu Bakar lebih tua dari saudaranya seayah, Aisyah Ummul Mukminin kira-kira sepuluh tahun, dan seayah seibu dengan Abdullah bin Abu Bakar. Ia mendapat gelar Dzatun Nithaqain. Sebab pada malam disaat Rasulullah keluar dan bersembunyi di gua bersama ayahnya, Abu Bakar, Asma mengambil roknya lalu membelahnya menjadi dua bagian. Yang satu untuk membungkus bekal Rasulullah, dan satunya lagi sebagai tali geriba (tempat minuman) Rasul. Dzatun- Nithaqain artinya orang yang memiliki dua buah rok. Pada saat menghadapi orang-orang yang menunaikan haji, ia berkata, “Bagaimana bisa kamu menjelek-jelekkan hamba Allah dengan julukan Dzatun-Nithaqoin? Benar, memang aku mempunyai sebuah rok sebagaimana yang layak dipakai oleh seorang wanita, dan satu rok lagi kuper gunakan untuk membungkus makanan Rasulullah.”

Asma’ masuk Islam saat di Makkah setelah tujuh belas orang sebelumnya sudah menyatakan keislamannya. Ia berbaiat kepada Rasulullah dan beriman kepada beliau dengan keimanan yang kokoh.

Asma’ dikawini Zubair bin Awwam, yang tidak mempunyai harta kekayaan, tidak pula budak selain seekor kuda. Ia harus memberi makan kudanya, mengurus segala keperluannya, memberinya air, menggiling tepung, dan membuat adonan. Karena sikap Zubair sangat keras kepadanya, maka ia mengadu kepada ayahnya. Lalu Abu Bakar menjawab, ‘Wahai putriku, bersabarlah! Bila seorang wanita mempunyai suami yang shaleh, lalu suaminya mati lebih dahulu dan ia tidak kawin dengan laki-laki lain, maka mereka akan dipertemukan di dalam surga.”

Dari perkawinan Asma’ dengan Zubair bin Awwam, lahirlah putra-putru mereka. Putra-putri mereka adalah  Abdullah bin Zubair, Urwah bin Zubair, Mundzair bin Zubair, Ashim bin Zubair, Muhajir bin Zubair, Khadijah binti Zubair, Ummul Hasan binti Zubair, dan Aisyah binti Zubair. Putra-putri tersebut dididik oleh Asma’ dengan sebaik-baik didikan, dan memilihara mereka dengan seutama-utamanya, sehingga terbentuk menjadi manusia-manusia yang berani, maju dan sederhana.

Asma’ binti Abu Bakar selama hidupnya tidak hanya sebagai  ibu rumah tangga saja, akan tetapi ia juga sebagai seorang pejuang yang handal. Bersama suaminya, Zubair bin Awwam, ia turut serta bertempur melawan para pasukan Romawi. Asma’ menyeberangi daera peperangan Yarmuk, melawan musuhh-musuh Islam yang akhirnya pertempuran ini dimenangkan pihak muslim. Dan masih banyak peperangan yang diikutinya.  Asma’ juga dikenal sebagai sahabat dari kalangan wanita yang menerima hadits sebanyak lima puluh delapan. Ada yang mengatakan lima puluh enam. Sedang yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari dirinya ada empat hadits begitu pula Muslim.

Asma’ binti Abu Bakar  meninggal dunia setelah beberapa saat anaknya, Abdullah bin Zubair terbunuh di Makkah pada saat bertempur melawan pasukan Daulat Umayah pimpinan Al-Hajjaj bin Yusuf. Ia meninggal dunia pada usia lebih dari seratus tahun, pada bulan Jumadil Awal tahun 73 Hijriyah. Semoga Allah memberi rahmat dan kasih sayang-Nya serta maghfirah-Nya kepada Asma’. Amin 

UMMU RUMMAN - (115)

  

Ummu Rumman binti Amir al-Qinaniyah adalah istri sahabat Abu Bakar ash-Shidiq RA dan merupakan mertua rasulullah saw. Putri mereka, Aisyah RA adalah istri rasulullah saw terakhir. Ummu Rumman termasuk perawi hadis, dan dia adalah golongan pertama yang masuk Islam bersama suaminya. Golongan pertama berbaiat dan berhijrah. Banyak hadis yang diriwayatkan darinya oleh Masruk dan beberapa lagi oleh al-Bukhari.

Ummu Rumman adalah seorang wanita yang sabar, bahkan sangat sabar. Ketika terdengar fitnah yang menimpa putrinya, Aisyah RA Ummu Rumman sempat pingsan karena menahan kesabaran. Selalu dibesar-besarkan hati anaknya untuk tabah menerima cobaan Allah swt itu. Rasulullah saw amat menghormati mertuanya ini karena kesabaran dan ketabahan yang dimiliki.

Ummu Rumman meninggal pada tahun 6 H. Di saat pemakamannya, setelah beristighfar, Rasulullah Saw berkata:

“Ya…Allah! Engkau lebih tahun apa yang telah diderita Ummu Rumman dalam mengikuti jalan-Mu dan jalan Rasul-MU.”

Riwayat lain mengatakan bahwa rasulullah saw telah berkata:

“Barang siapa yang suka melihat wanita dari surga, maka dia boleh melihat Ummu Rumman.”