Jumat, 23 Oktober 2020

SUNAN GUNUNG JATI, SYARIF HIDAYATULLAH - (75)

 


Menurut satu versi, Nama asli sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. dilahirkan pada tahun 1448 di Makkah dan meninggal di Gunung jati Cirebon. Pada tahun 1570, ia adalah salah seorang dari Wali Songo yang banyak berjasa dalam menyebarkan Islam di pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat; juga pendiri Kasultanan Banten dan Cirebon.

Sunan Gung jati adalah cucu raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Ibunya bernama Nyai Lara Santang (putri Prabu Siliwangi dan nyai Subang larang) yang bersuamikan Maulana Sulatan Mahmud (Syarif Abdullah), seorang bangsawan Arab pada waktu menunaikan ibadah haji.

Setelah dewasa, Syarif Hidayatullah memilih berdakwah ke Jawa daripada menetap di Tanah Arab. Ia kemudian menemui Raden Walangsungsang yang sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Setelah pamannya itu wafat, ia menggantikan kedudukannya dan kemudian berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan. Ia kemudian terkenal dengan gelar Sunan Gunung jati.

Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari kerajaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam itu. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa barat, seperti majapahit, Kuningan, kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Ia meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di Banten pada tahun 1525 atau 1526. Ketika ia kembali ke Cirebon, banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja banten. Di tangan raja-raja Banten inilah kemudian kerajaan Pajajaran dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung jati juga penyerangan ke Sunda kelapa dilakukan pada tahun 1527. Penyerangan ini dipimpin oleh Faletehan atau Fatahillah (w.1970), panglima perang kerajaan Demak dan menantu Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati sebagai seorang Wali songo mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti kerajaan Demak dan Pajang karena kedudukannya sebagai raja dan ulama, ia diberi gelar “Pandita Ratu”.

 

Sedangkan menurut naskah silsilah yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Abdullah as-SaqqafSunan Gunungjati yang bernama asli Syarif Hidayatullah, adalah putra Syarif Abdullah bin Ali Nur Alam bin Maulana Jamaluddin al-Akbar al-Husain bin Ahmad Syah Jalal bin Amir Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Ali bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali, suami Fathimah az-Zahrah binti Rasulullah saw. Hubungannya dengan Sunan Ampel, ia adalah keponakannya, karena nasabnya bertemu dengan Sunan Ampel pada datuknya yang bernama Maulana Jamaluddin al-Akbar al-Husain. Sementara menurut buku Pustoko Darah Agung, Sunan Gunungjati adalah putra Sekh Maulana Ishak yang lahir dari isteri ketiganya, yakni seorang wanita (tidak jelas namanya) putri Batara Katong, salah satu dari putra Prabu Brawijaya V yang menjadi Adipati Majapahit di Ponorogo. Lepas dari salah dan benarnya silsilah tersebut, yang jelas Sunan Gunungjati adalah anak Sekh Maulana Ishak dan masih keturunan Rasulullah saw. Hubungannya dengan Sunan Giri, ia adalah saudara seayah berbeda ibu dengannya.

Syarif Hidayatullah lahir di Pasai dan tidak jelas tanggal kelahirannya. Pada masa kecilnya, ia belajar agama pada ayahnya, Syekh Maulana Ishak, di Pasai. Menjelang dewasanya, Pasai diduduki oleh penjajah Portugis yang datang dari Malaka dan karena perasaan bencinya kepada kaum kafir tersebut, akhirnya ia terdorong pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu sekaligus melakukan haji di sana. Menurut buku Sejarah Banten Rante-rante, Syarif Hidayatullah menuntut ilmu, terutama tasawwuf dan tarekat, di Makkah dan Madinah. Di sana ia menerima pembaiatan menjadi penganut tarekat  Syadziliyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, dan terutama tarekat Kubrawiyah. Bahkan diceritakan bahwa ia pertama kali berguru kepada Syekh Najmuddin al-Kubra (pendiri tarekat Kubrawiyah), kemudian berguru kepada Ibnu Athaillah al-Iskandari al-Syadzili (penulis kitab Al-Hikam). Didalam buku itu juga disebutkan silsilah tharekat Kubrawiyah dan 27 murid seperguruaan dengan Syarif Hidayatullah dalam tarekat ini. Namun cerita tersebut  agak janggal jika ditilik dari biografi Syekh Najmuddin yang wafat di Khawarizmi (Asia Tengah) pada tahun 1221 dan Ibnu Athahillah yang wafat di Mesir pada abad ke-13, dan juga ada beberapa “tokoh” yang dikatakan sebagai murid seperguruan dengannya ternyata hidup jauh sebelum Syarif Hidayatullah lahir. Lepas dari salah dan benarnya, mungkin yang dimaksudkan oleh cerita tersebut adalah bahwa Syarif Hidayatullah mempelajari dan mendalami ajaran tarekat Kubrawiyah, tarekat Syadiliyah dan kitab tasawwuf Al-Hikam karya Ibnu Athaillah. Atau mungkin yang dfimaksudkannya adalah bahwa ia selalu berhubungan para guru tarekat Kubrawiyah, baik di Makkah maupun setelah di Banten, karena pada saat itu tarekat ini telah diikuti oleh para pembesar Kesultanan Turki Usmani dan dianggap sebagai tarekat yang terhebat. Selain itu, bahwa tarekat ini sebelumnya memang sudah masuk ke tanah Jawa yang diperkirakan dibawa oleh Syekh Jumadil Kubra, nama lain dari Syekh Maulana Jamaluddin al-Husain al-Kubra yang menjadi nenek moyang para Walisongo selain Sunan Kalijaga.

Setelah beberapa tahun berada di Makkah, kemudian pulang ke Pasai dan ternyata penjajah Portugis masih bercokol di sana. Hal ini menambah kebenciannya kepada mereka, lalu memutuskan diri untuk meninggalkan Pasai menuju ke Jawa. Kedatangannya di Jawa pada tahun 1521 M mendapatkan sambutan baik dari Sultan Trenggono yang saat itu sedang berkuasa di Demak. Pada masa Sultan Trenggono (1521 – 1546 M) ini, Demak mengalami masa kejayaan. Daerahnya semakin luas dan angkatan lautnya pun cukup kuat, sehingga berani menyerang dan mengusir Portogis yang sedang menjajah Malaka, meskipun tidak berhasil. Hanya penjajah portugis yang mencoba menjajah daerah Sunda Kelapa (tahun 1526 M) yang berhasil dihancurkan pasukan Demak yang dipimpinan oleh Panglima Syarif Hidayatullah pada tahun 1527 M, setelah sebelumnya Banten dapat ditundukkannya dari kekuasaan Pajajaran. Untuk menandai kemanangan ini, kota pelabuhan Sunda Kelapa diganti namanya dengan Jayakarta, yang berarti kota kemenangan. Sementara Syarif Hidayatullah sendiri mendapatkan julukan Fatahillah yang berarti kemenangan dari Allah, dan kemudian diucapkan secara salah oleh lidah Portugis dengan Falatehan. Setahun kemudian, tahun 1528, kota pelabuhan Cirebon dapat direbut dari kekuasaan Pajajaran

Berkat bantuan dari Syarif Hidayatullah, beberapa wilayah Jawa Barat bagian pesisir utara Jawa (Banten, Jayakarta, Cirebon dan sekitarnya), yang tadinya di bawah kekuasaan Pajajaran, tunduk kepada Kesultanan Demak. Alasan pokok perebutan wilayah tersebut dari Pajajaran adalah karena Pajajaran dipandang telah mengadakan persekutuan dengan Portugis, berdasarkan surat perjanjian yang ditandatangi oleh kedua pihak pada tahun 1522  di Pakuan Bogor, sehingga dikhawatirkan akan membahayakan Kesultanan Demak. Untuk menjaga kelestarian daerah tersebut, Syarif Hidayatullah diangkat sebagai penguasa di daerah tersebut, setelah sebelumnya Sultan Trenggono mengawinkannya dengan saudara perempuannya binti Raden Patah. Selain menjadi penguasa, Syarif Hidayatullah juga menjadi seorang Muballigh yang menyebarkan agama Islam di wilayah yang dikuasainya. Meskipun diangkat sebagai penguasa dan berhasil mengislamkan di masyarakat Jawa Barat bagian utara dan sekitarnya, serta sangat besar pengaruhnya di wilayah tersebut, ia tetap tunduk sepenuhnya dan mejadi pendukung setia kesultanan Demak. Baru setelah Sultan Trenggono wafat dan terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana Demak yang berakhir dengan kemenangan Jaka Tingkir atau Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggono) sebagai sultannya, maka Syarif Hidayatullah lalu memisahkan diri dari kekuasaan Demak dan mendirikan kesultanan sendiri di Banten dan Cirebon. Karena sejak saat itu, Kesultanan Demak telah jatuh dan berganti menjadi Kesultanan Pajang. Pada masa selanjutnya, Kesultanan Banten diserahkan kepada putranya yang tua bernama Hasanuddin, sementara ia mengurusi daerah Cirebon. Setelah tua, ia menyerahkan Kesultanan Cirebon kepada putranya yang muda  dan ia sendiri memusatkan diri untuk berdakwah sampai  ia wafat di Cirebon pada tahun 1570 dan jenazahnya dimakamkan di Gunung Jati. Sejak saat itu ia lebih dikenal dengan julukan Sunan Gunungjati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar