K.H. Abdul
Karim adalah seorang ulama yang ahli tarekat terkemula, ia lahir di desa
Lempuyang, Serang Jawa Barat pada tahun 1830 M / 1250 H.
K.H. Abdul
Karim, yang hampir sepanjang hidupnya telah bermukim di Makkah, banyak
mendalami ajaran-ajaran keislaman, terutama yang bersifat ketarekatan dari
seorang syekh sekaligus pendiri tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah,
Sekh Ahmad Khatib Ahmad Sambas di Makkah. Rupanya selama belajar pada Syekh
Ahmad Khatib Sambas, ia berhasil menunjukkan kemampuannya yang lebih, lalu
menjadi murid kesayangannya dan asistennya (khalifah), dan kemudian pada
tahun 1876 diakui sebagai pimpinan utama dari tarekat tersebut sepeninggal
gurunya. Karenanya, setelah dianggap cukup menguasai materi ketarekatan, ia
diutus gurunya untuk mengembangkan tarekat tersebut di Singapura. Beberapa
tahun kemudian, 1872, ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang, dan menetap di
sana selama hampir empat tahun (1876). Selama masa itu, beliau membai’at
beberapa murid murid sebagai anggotanya. Setelah itu, beliau kembali lagi ke
Makkah untuk bermukim di sana.
Untuk
mengembangkan ajaran keislaman, dalam rentang waktu tersebut, ia sempat
mendirikan pesantren. Dalam waktu relatif singkat, selain ia memperoleh banyak
pengikut setia, juga nama dan ketokohannya semakin tersohor.
K.H. Abdul Karim sungguh-sungguh telah berhasil menyakinkan mereka untuk mendukung misinya. Di antara pejabat pemerintah yang sangat terkesan oleh perjuangannya adalah Bupati Serang sendiri, Gondokusumo (1874-1889) dan seorang pensiunan Patih, Haji R.A. Prawiranegara. Karena itu, kemudian, tidak mengherankan jika K.H. Abdul Karim menjadi seorang tokoh yang paling dihormati di keresidenan Banten ketika itu. Kenyataan ini, betapapun, akan menjadi modal dasar bagi perjuangan K.H. Abdul Karim dan para pengikutnya dalam mengembangkan ajaran keislaman di wilayahnya.
Di mata
masyarakat Banten, K.H. Abdul Karim dikenal sebagai ulama yang berhasil
membangkitkan semangat mereka melawan
penjajah kolonial Belanda, yang pada akhirnya dikenal dengan pemberontakan
petani Banten 1888.
Semangat
melawan kolonial yang di pelopori oleh
K.H. Abdul Karim ini terus dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti K.H.
Tubagus Ismail, Haji Marzuki dan lain-lainnya.
Di bawah pengaruh Abdul Karim, tarekat ini
menjadi luar biasa populernya di Banten, khususnya di antara penduduk miskin di
desa-desa. Hal ini mendorong tarekat
untuk berperan sebagai jaringan komunikasi dan kordinasi ketika meletus
pemberontakan petani melawan penjajah Belanda di Anyer Banten barat laut pada
tahun 1888 (Lihat Kartodirjom 1966).
Setelah dapat ditundukkan, organisasi tarekat ini dibubarkan oleh Belanda. Abdul Karim sendiri, yang saat itu bermukim di Makkah, tidak berminat terjun di dunia politik dan tidak ada sangkut pautnya dengan pemberontakan tersebut, tetapi salah seorang muridnya yang berwatak keras, Haji Marzuki, yang telah diangkatnya sebagai khalifah-nya, dicurigai Belanda sebagai salah seorang penghasud di balik pemberontakan tersebut.
Abdul Karim
merupakan syaikh terakhir yang secara efektif menjalankan fungsi sebagai pucuk
pimpinan seluruh cabang tarekat dan mampu menjaga kesatuan tarekat ini, paling tidak secara formal pengarahannya
masih dipatuhi oleh para koleganya dari para kahalifah yang diangkat oleh syekh
Ahmad Khatib Sambas. Namun sepeninggalnya, tarekat ini terpecah menjadi
beberapa cabang regional yang independen, yang satu sama lain tidak lagi
bergantung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar