Jumat, 23 Oktober 2020

AL-BISYRI AL-HAFI - (64)

 


Abu Naser Bisyru bin Al-Harist dilahirkan di Marwi pada tahun 150 H/767 M dan meninggal di Baghdad pada tahun 227 H/841. Ia seorang Sufi terkemuka dan dikenal alim dalam ilmu-ilmu ushul dan furu’. Ia demikian terkemuka hingga dikenal sebagai Amirul Mu’minin dalam hadis. Ia hidup sezaman dengan Fudhail bin Iyad, Ali bin Khasyran, Ahmad bin Hanbal, dan Khalifah al-Makmun.

Sehabis  belajar dan menguasai ilmu-ilmu keislaman di daerahnya, al-Bisyru al-Hafi melanjutkan dengan kehidupan praktek yaitu hidup sesuai dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya. Dia kemudian hidup  tanpa harta benda, tanpa kekayaan. tinggal di samping rumah gubuk, penuh kesederhanaan, selalu menjaga kejujuran, dan lebih mengutamakan peribadatan dalam rangka mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi di akhirat.

Bagi al-Hafi, tasawuf adalah berarti kebesihan dan kebeningan hati kepada Allah SWT. Dalam hubungan ini ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan : Pertama, jangan sampai ‘Irfan seseorang memadamkan cahaya kewara’annya; Kedua, jangan sampai mengatakan sesuatu yang secara hakiki bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi; Ketiga, jangan sampai kekeramatan seseorang menjadi jalan bagi yang diharamkan Allah SWT.

Ajaran-ajaran Bisyru al-Hafi demikian penting dalam tasawuf hingga selalu menjadi bahan pembicaraan dalam kajian tasawuf tokoh-tokoh sufi seperti al-Qusyairi, Abu Thalib al-Makky, al-Ghazali, al-Sya’rani dan lain-lain

Tampaknya, tasawuf al-Hafi dimulai dengan ilmu dan amal dengan keduanya, maka tercapailah makrifah, maka memancar nur atau cahaya dalam kehidupan seorang sufi. Oleh karena itu, ilmu dan amal merupakan syarat mutlak bagi orang yang menempuh jalan sufi. Dalam menuntut ilmu dan melaksanakan amal secara intensif, maka dasar kehidupan haruslah bertolak dari zuhud dan kebersihan lahir batin.

Al-Hafi benar-benar hidup dalam zuhud. Rumahnya hanya berisi sebuah jubah. Ketika ada orang yang meminta jubah itu, dia memberikannya dengan sukarela. Dia kemudian mendapat jubah pinjaman dari salah seorang sahabatnya, sampai dia meninggal dunia. Selain itu, jika pergi, dia selalu bertelanjang kaki. Oleh karena itu, dia di juluki “Si Manusia Berkaki Telanjang”.

Al-Hafi tidak sempat berkeluarga. Ketika dikatakan kepadanya bahwa banyak orang yang memperbincangkan tentang dirinya yang tidak kawin dan itu berarti bertentangan dengan Sunnah Nabi. Dia menjawab : “Katakan kepada mereka bahwa untuk idup berkeluarga seseorang dituntut syarat-syarat tertentu. Aku belum memenuhi syarat-syarat itu dan sekarang sedang berusaha untuk memenuhinya”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar