Jumat, 23 Oktober 2020

SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI - (93)

 


Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah al-Jailani (al-Jilani), dilahirkan tahun 471 H/1078 di Jailan Tabaristan, dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 561 H/1166 M. Ia dikenal sebagai  seorang teolog, ulama ahli ushul dan fiqih mazhab Hanbali, dan seorang sufi besar di zamannya, dan pendiri tarekat Qadiriyah.

Abdul Qadir al-Jailani lahir dan dididik dalam lingkungan keluarga sufi. Ia tumbuh di bawah tempaan ibunya (Fatimah binti Abdullah as-Suma’i) dan kakeknya (Syekh Abdullah as-Suma’i), yang kedua-duanya adalah seorang wali. Sejak kecil Abdul Qadir al-Jailani telah tampak berbeda dari anak-anak lainnya. Ia tidak suka bermain-main bersama anak-anak lain. Sejak usia dini ia terus mematangkan kekuatan batin yang dimilikinya.

Mula-mula Abdul Qadir  belajar al-Qur’an dan setelah hafal al-Qur’an, ia belajar ilmu fiqih menurut mazhab Ahmad bin Hanbal kepada Syekh Abul Wafa’ dan Syekh Abul Khatab al-Kalwazani. Dalam sastra dan bahasa Arab, ia belajar kepada Abul Husain Abu Ya’la. Dalam bidang tasawuf dan tarekat, ia belajar kepada Syekh Hamad al-Dibas dan Ibnu Sa’ad al-Mubarak. Demikian, masih banyak guru-guru dan bidang ilmu yang ia tekuni yang tidak dapat disebutkan di sini.

Dalam usia 18 tahun, Abdul Qadir pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu (488 H/1095 M). Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizamiyah yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang sufi besar, Ahmad al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani mengikuti pelajaran fiqih mazhab Hanbali dari Abu Sa’d Mubarak al-Mukharrimi (pemimpin sekolah hukum Hanbali) sampai ia mendapat ijasah dari gurunya tersebut. Mulai tahun 521 H/1127 M. Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan berfatwa dalam mazhab tersebut kepada masyarakat luas sampai akhir hidupnya. Untuk itu, ia juga mendapat restu dari seorang sufi besar, Yusuf al-Hamadani (440 H/1048 M-535 H/1140 M). Pada tahun 528 H, untuk Abdul Qadir al-Jailani didirikan sebuah madrasah dan ribat di Baghdad yang dijadikan sebagai tempat tinggal bersama keluarganya dan sekaligus tempat mengajar murid-muridnya yang juga tinggal bersamanya.

Abdul Qadir hidup dengan mandiri dari hasil usahanya sendiri, dengan kehidupan zuhud, wara’, banyak ibadah sebagaimana seorang sufi lazimnya. Sambil berdakwah, memberikan pelajaran, dan menjadi guru besar dalam tarekat yang kemudian diberi nama dengan namanya sendiri, ia juga orang pertama yang menyusun tarekat menurut organisasi dalam satu disiplin yang tertentu.

Abdul Qadir mengajar di pesantren yang dibangunnya sendiri di Baghdad dan di pesantren ini pula berdiri pusat kegiatan (ribath) tarekatnya. Di pesantren inilah ia meninggal dunia pada tahun 561 H/1166.

Tasawuf dalam pandangan Abdul Qadir Jailani adalah kebersihan dan kebeningan (al-Shafa) dari kotoran jiwa dan hawa nafsu, hubungan yang benar dengan Allah dan ahlak mulia dalam hubungan dengan sesama mahluk. Semua itu ditujukan agar tasawuf benar-benar sesuai dengan syara’ hingga menjadi dasar dalam hubungan ibadah kepada Tuhan. Dengan kata lain, tasawuf harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah tanpa ditambah-tambah atau dikurangi. Oleh karena itu tasawuf al-Jailani adalah tasawuf yang mudah dan tidak berbelit-belit.    

Abdul Qadir al-Jailani meninggalkan beberapa karya tulis yang berisikan ajaran agama, terutama tasawuf. Karyanya itu antara lain: al-Gunya li Talibi Tariq al-Haqq (bekal yang cukup bagi pencari jalan yang benar) yang terbit di Kairo pada tahun 1288; al-Fath ar-Rabbani (Pembuka Ketuhanan) atau Sittin Majalis (Enam Puluh Majlis), berisikan 62 khutbah yang disampaikannya antara tahun 545 H/1150 M-546 H/1152 M, terbit di Kairo pada tahun 1302; dan Futuh al-Gaib ( Terbukanya hal-hal yang Gaib), berisikan 78 khutbah dalam berbagai masalah yang dikumpulkan oleh puteranya, Abdur Razzaq, terbit di Kairo pada tahun 1304. biografi lengkapnya tertulis dalam manakib Abdul Qadir al-Jailani (manakib). Di Indonesia manakib tersebut banyak dibaca orang, terutama pada hari-hari tertentu dan penting, seperti hari Asura’ (tanggal 10 Muharam), tanggal 27 Rajab, hari Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban, yaitu terjadinya perubahan kiblat dari Baitul maqdis ke ka’bah), dan hari pertama bulan Safar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar