Kamis, 22 Oktober 2020

HAJAR, Isteri Kedua Nabi Ibrahim dan Ibunya Nabi Ismail - (36)

 

 

Hajar adalah salah seorang istri nabi Ibrahim dan ibu nabi Ismail. Dia seorang wanita beriman, sabar dan tabah dalam menghadapi semua cobaan Allah ketika berjuang di tanah tandus, Makkah. Dia bersama Ismaillah yang pertama kali menempati kawasan tanah tandus menjadi kawasan yang berpenghuni, sekaligus sebagai penemu (sumur/telaga) air Zamzam (sumur/telaga).

Setelah berpuluh-puluh tahun menikah, Sarah yang tak juga punya anak, nabi Ibrahim mengajaknya keluar dari Irak. Dalam perjalanan itu mereka melalui kota Mesir.

Sesampainya di Mesir, bertemulah mereka dengan raja Fir’aun yang terkenal zalim dan serakah serta kafir. Rupanya, sang raja tertarik kepada Sarah yang benar-benar wanita cantik. Dengan kekuasaannya, fir’aun berhasil mengambil Sarah untuk tinggal di istana, dan berniat menikahinya. Namun, Allah melindunginya. Ibrahim dan Sarah akhirnya bisa keluar dari Mesir setelah raja memberi Ibrahim seorang pembantu wanita yang bernama Hajar.

Kemudian nabi Ibrahim beserta istrinya (Sarah) dan khadamnya Hajar pergi ke Palestina dengan membawa semua binatang ternak dan harta kekayaannya. Mereka hidup di tengah-tengah keluarga dan pengikut-pengikutnya yang tak begitu banyak jumlahnya. Alangkah sedih dan pilu perasaan Sarah karena dia belum juga beroleh seorang anak, sedangkan umurnya sudah lanjut, dan boleh dikatakan termasuk orang yang tua sehingga pada umumnya orang yang setua dia itu tidak mungkin beroleh anak. Maka dengan ihlas hati, Sarah menganjurkan kepada suaminya, nabi Ibrahim, untuk nikah dengan khadamnya sendiri bernama Hajar. Hajar adalah seorang perempuan yang mulia, baik budi perkertinya serta lurus, tak pernah berhati bengkok. Mudah-mudahan, demikianlah harapan Sarah, dari pernikahan dengan khadam itu, nabi Ibrahim beroleh anak untuk perintang hidup suami isteri yang sudah tua, untuk meneruskan dia menjalankan perintah ilahi dan sebagainya.

Anjuran isterinya ini diterima oleh nabi Ibrahim. Lalu terjadilah pernikahan itu dengan baiknya. Dari pernikahan inilah nabi Ibrahim beroleh seorang anak laki-laki yang paling bersih dan suci yang diberi nama Ismail (nabi Ismail). Selain Ibrahim sendiri, bukan main pula girang dan senang hati Sarah beroleh anak itu. “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat: 101).

Tetapi kegembiraan Sarah ini hanya sementara waktu saja, sebab tak lama kemudian hatinya mulai diserang oleh suatu perasaan yang tak dapat dibayangkan. Karena adanya perasaan inilah, hatinya tak kunjung tenang, selalu gelisah saja, makan dan minum tidak karuan sama sekali. Akhirnya dia tak tahan untuk memandang wajah Hajar dan anaknya itu.

Hal ini diterangkannya kepada Ibrahim dan mengusulkan agar Ibrahim, Hajar bersama anaknya meninggalkan dia seorang diri, pergi ke tempat yang sejauh-jauhnya agar tidak terlihat dan terdengar sedikit tentang Hajar dan Ismail itu. Dengan wahyu Ilahu, nabi Ibrahim menerima usul tersebut.

Mulailah nabi Ibrahim dengan istrinya beserta anaknya mengadakan pengembaraan yang jauh, yaitu ke tanah Makkah sesuai petunjuk wahyu Allah. Lama sudah mereka berjalan, dan jauh sudah jalan yang ditempuh. Akhirnya mereka berhenti di suatu tempat. Di tempat itu Hajar dan anaknya ditinggalkan Ibrahim tanpa perbekalan yang banyak. Sedangkan nabi Ibrahim sendiri meneruskan perjalanannya dan berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Allah menjaga istri dan anaknya itu dari segala malapetaka dan bahaya.

Baru saja Ibrahim berangkat meninggalkan Hajar dan Ismail, Hajar segera mengikutinya dari belakang dan memegang tali kekang unta yang dikendarai nabi Ibrahim dan berkata: “Ya Ibrahim! Ke manakah engkau pergi, kenapa kami ditinggalkan di sini, di tempat yang menakutkan?”

Hajar berharap agar Ibrahim menaruh rasa kasihan terhadap dirinya dan diri anaknya yang masih kecil itu, minta pertanggungjawaban kepada Ibrahim, siapa yang akan mempertahankan hidupnya dari bahaya kelaparan  dan dahaga, serta dari serangan binatang-binatang buas, dari terik panas matahari yang begitu panas, dari udara dingin yang berembus di malam hari. Semua ini dikemukakannya kepada Ibrahim dengan kata-kata yang lemah-lembut disertai curahan air mata yang bercucuran. Tetapi Ibrahim tampaknya tidak mengacuhkan semua keluhan istrinya itu. Kepada istrinya, nabi Ibrahim berkata: “Wahai istriku, bukan maksudku menterlantarkan dan menyia-nyiakan engkau dan anakmu, tapi apa yang saya lakukan ini adalah atas wahyu Ilahi, dan hendaknya engkau mentaatinya, sabar menerima takdir dan patuh. Oleh karena itu, engkau tidak perlu takut kelaparan dan kehausan, karena Tuhan pasti menolong engkau dan putramu”.

Mendengar jawaban Ibrahim itu, Hajar hanya menjawab: “Sekarang saya mengerti, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.”. Lalu Ibrahim meninggalkan keduanya, dan ia bersembunyi di tempat yang tidak dilihat seorangpun. Kemudian Ibrahim berdoa kepada Allah Swt dengan khusyuk. Menandakan atas kekuatan seorang laki-laki, dan cintanya terhadap Allah Swt Ibrahim memohon agar Allah memberkati tempat itu, dan dijadikannya satu tempat yang aman. Bernaung di situ binatang, burung, serta manusia, sekalipun kezaliman yang terbentang di bumi ini. Ibrahim memohon agar keturunannya dijauhkan dari penyembah berhala, yang telah menguasai akal insani, dan hendaknya Allah memberi petunjuk kepada mereka yang durhaka.

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ibrahim: 35-36)

Nabi Ibrahim meneruskan doanya, bahwa ia telah meninggalkan anaknya yang dicintainya itu di tempat yang tandus, untuk mendekatkan diri dengan Allah. Lalu ia memohon agar membawa ke tempat itu, manusia yang beriman kepada Allah, berkhusyuk hati mereka, dan diberinya rizki dari tempat yang mereka tidak duga. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan rahasia hati dan apa yang jelas.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatu pun yang samar bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.” (Q.S. Ibrahim: 37-38).

 







Penemu Sumur Zamzam

Tempat Hajar dan Ismail ditinggalkan Ibrahim yang dikatakan padang pasir tandus tidak bermanusia itu, adalah kota Makkah. Saat itulah sejarah Makkah dengan Telaga Zamzamnya dimulai. Hajar bulat-bulat menyerahkan nasibnya kepada Allah, dengan sabar dan tenang. Dimakannya perbekalan yang masih ada, diminumnya pula air yang masih tinggal. Akhirnya semua makanan dan airpun habis. Tinggallah ibu dan anak menunggu nasib dengan perut kosong dan lapar, suatu penderitaan yang tak pernah dialami manusia lain. Anaknya yang masih membutuhkan susu, jangankan mendapat susu, air mentahpun tidak ada di situ. Perut semakin lapar dan kerongkongan semakin kering. Panas terik padang pasir tidak pula kepalang tanggung. Sedangkan badan yang mulanya kuat, sekarang sudah berangsur kurus dan lemah pula. Tidak ada daya dan ihtiar yang dapt dijalankan, selain hanya mengucurkan air mata sebanyak-banyaknya, dan dengan air mata itulah keadaan kering itu dapat dibasahkan sedikit.

Karena laparnya dan dahaga yang tak terperikan itu, mula-mulanya si anak menangis sekuat-kuatnya. Tetapi akhirnya kelemahan badan tidak memberikan kekuatan lagi kepadanya untuk menangis. Matanya mulai cekung, badannya semakin kurus juga. Akhirnya anak yang malang itu memperlihatkan tanda-tanda yang tak dapat diceritakan sama sekali, seakan-akan putus nafasnya karena terlalu dahaga.

Hajar mencoba sekuat tenaga mempertahankan jiwa sang anak juga sabar atas dirinya sendiri. Tetapi apa yang dapat dilakukan? Akhirnya Hajar mulai lari-lari berniat mencarikan air. Ia berlari kesana-kemari, sambil mencari air. Di kaki gunung Shofa, setelah ia tidak mendapatkan tanda-tanda adanya air, ia turun dan menuju ke gunung Marwah, begitupun ia tidak melihat apa-apa, sebanyak tujuh kali. Usaha Hajar ini adalah dasar dikerjakannya Sa’I antara Shofa dan Marwah (buat orang yang melaksanakan haji dan umrah).

Sedang anak yang kelaparan yang ditinggalkan sendirian itu, semakin mengeluh dan menangis dengan tak bersuara lagi. Kasihan, saying, cape, ihtiar dengan segala tenaga. Tetapi semua sia-sia belaka. Akhirnya Hajar duduk terperanyak, tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi. Dengan menoleh terus ke wajah anaknya yang dicintai: peluh mengalir bercucuran dari dahinya, dengan titik peluh itulah dibasahi bibir anak yang sudah amat kering itu. Alangkan gembiranya Hajar, karena dilihatnya anak itu masih hidup. Anak itu diciumi dan dirangkul ke dadanya. Tampak pula dengan jelas bahwa anak itupun mengeluarkan air mata.

Hanya kepercayaan terhadap Allah, menjadikan Hajar tidak berputus asa. Dengan kepercayaan ini sajalah dia berteman ketika itu, menghadapi kesedihan yang tak terhingga. Dengan kepercayaan ini pulalah dia yakin, akhirnya dia akan terbebas jua dari kesedihan ini.

Setelah nyata anaknya masih hidup, dia pergi kembali meninggalkan anak itu, mencari air di tengah-tengah gurun pasir. Namun untuk yang sekian kalinya dia tidak menemukan setetes air yang diingini. Kemudian ia kembali kepada bayinya. Namun ia sangat terkejut manakala dilihatnya setumpuk pasir, yang tepat berada di bawah kaki anaknya, yang semula kering, menjadi basah setelah dipegang dengan telunjuknya betul-betul pasir itu basah berair. Lalu pasir itu digalinya. Makin dalam digali makin basah, dan akhirnya setelah agak dalam, airnya muncul, dengan kodrat dan iradat Allah Swt keluarlah di situ sebuah mata air yang kemudian dikenal dengan nama sumur/telaga Zamzam sekarang ini.

Hajar dan anaknya (Ismail) minum sepuas-puasnya sambil mengucapkan syukur dan puji terhadap Allah yang telah mengabulkan doanya dan doa nabi Ibrahim tatkala berangkat meninggalkan mereka berdua. Karena air Zamzam inilah akhirnya burung-burung padang pasir, seekor demi seekor mendekat ke sana menghabiskan dahaga hausnya. Dan dari jejak burung inilah hamba Allah yang bernama manusia yang hidup di tengah-tengah padang pasir itu, datang ke sana pula untuk mendapatkan air penghilang dahaga.

Allah Swt. Lalu menggiring beberapa orang bangsa Jurhum, mereka melihat burung-burung sedang beterbangan. Burung-burung itu tidak akan terbang kecuali di bawahnya ada air. Karena itu mereka singgah dan menghampiri Hajar dan anaknya.

Mereka (bangsa Jurhum) itu minta izin kepada Hajar, agar dapat tinggal di situ, dan diijinkan. Kehidupanpun mulai nampak, di lembah yang tandus itu. Benarlah firman Allah Swt.

“Dan mereka berkata: “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu niscaya kami akan diusir dari negeri kami. Dan apakah kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rizqi (bagimu) dari sisi kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Q.S. al-Qashas: 57).

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya kamu telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah.” (Q.S. al-Ankabut: 67)

dan jadilah tempat itu satu naungan bagi yang merasa takut, aman bagi yang kebingungan, tempat tujuan pendatang dari seluruh pelosok bumi, untuk menuju Baitullahi Al-Haram.

Zaman berganti zaman, abad berganti abad, tempat itu terus menerus menjadi tempat berkumpulnya manusia. Pun sampai zaman sekarang, lebih-lebih setelah agama Islam memerintahkan kaum muslimin berhaji ke sana.

Dari sejarah perjalanan Hajar dan Ismail inilah terambil sebagian besar cara ibadat haji yang diwajibkan Islam. Misalnya lari (Sa’I) antara Safa dan Marwah tujuh kali dan lain-lain ibadah yang akan kita sebutkan nanti. Dan dari keturunan nabi Ismail pulalah, akhirnya lahir nabi Muhammad Saw. di kota Makkah itu: Doa nabi Ibrahim dikabulkan Allah…!

 








Sembelihan yang Agung

Bagaimana juga, nabi Ibrahim tak pernah lupa terhadap anak dan istrinya yang ditinggalkan di tempat yang sangat jauh, di padang pasir yang tandus, dimana tidak terdapat manusia dan tumbuh-tumbuhan. Ditinggalkannya dengan menyerahkan nasib keduanya hanya kepada Allah semata. Lebih-lebih terhadap anaknya, Ismail, anak yang bertahun-tahun di masa tuanya diidam-idamkannya. Diutusnyalah orang untuk mengetahui keadaan anak dan istrinya. Alangkah gembira dan bahagianya Ibrahim, setiap orang yang diutusnya itu datang membawa khabar bahwa anak dan istrinya ada dalam sehat wal afia. Apalagi di tempat dimana ia tinggalkan itu, timbul sebuah sumber mata airu, yang telah didatangi banyak musafir sehingga agak ramai; Ibrahim bersyukur, berdoa, lalu bersyukur dan berdoa lagi: “Ya Allah, aku meninggalkan anak dan istriku di tempat sepi yang tidak berpenghuni dan tak ada pula buah-buahan. Berilah mereka rizqi berupa air dan buah-buahan, jadikanlah hati manusia tertarik kepadanya; agar mereka tidak hidup dalam kesepian.”

Doa seorang bapak terhadap anak dan istri yang jauh di mata, termasuk doa yang sangat diperhatikan dan dikabulkan Allah. Apalagi yang berdoa itu adalah seorang nabi dan rasul, bapak dan nenek moyang semua nabi dan rasul.

Beberapa tahun sudah terlampaui sejak berpisah. Kerinduan Ibrahim untuk melihat wajah anak dan istri (Hajar) sudah tidak tertahankan lagi. Dengan persetujuan istrinya (Sarah), Ibrahim berangkatlah menuju ke selatan, mencari anak dan istrinya itu.

Ibrahim meninggalkan tempatnya dan kembali ke istrinya yang satunya (Hajar), yang berada di kota suci. Didapatinya, tempat dimana istri dan anaknya ditinggalkannya dahulu itu telah menjadi ramai, tempat manusia berkumpul dan menetap. Tempat itu telah diberi orang nama, yaitu Bakkah atau Makkah. Diketahuinya bahwa istrinya dan anaknyalah yang dianggap orang banyak sebagai pemilik atau penguasa sumber air yang bernama telaga Zamzam itu. Sebab itu, istri, dan anaknya itu mendapat penghormatan dari seluruh penduduk dan pendatang. Kehidupan istri dan anaknya sudah menjadi baik. Disamping sebagai penguasa telaga Zamzam, juga telah memiliki binatang-binatang ternak yang terdiri dari berpuluh-puluh kambing yang dikembangbiakan dan diperah susunya. Ibrahim bertanyalah kepada siapa yang ia temui, dimana adanya anak dan istrinya itu sekarang. Dikatakan orang bahwa keduanya ada di suatu dataran, sedang menggembalakan ternak, yaitu kambing. Ibrahim datangi tempat yang ditunjukkan orang banyak itu. Akhirnya bertemulah Ibrahim dengan anak dan istrinya di suatu tempat yang dinamai sekarang ini Padang Arafah. Pertemuan yang sangat mesra. Maklumlah sedah sekian tahun konon berpisah. Bertemu dalam keadaan sehat wal afiat, gembira dan bahagia. Jauh berbeda dengan saat berpisah beberapa tahun yang silam. Mereka serentak bersama mengucapkan kalimat-kalimat membesarkan Allah, menyucikan dan memuji: “Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu.”

Setelah matahari terbenam, panas terik sudah berganti dengan udara senja. Ibrahim bersama istrinya (Hajar) dan anaknya (Ismail) pulang (ke Makkah), mereka berhenti di suatu tempat yang sekarang dinamai Muzdalifah (dalam al-Qur’an dinamai Masy’aril Haram) dimana mereka tertidur karena lelah. Saat tidur sejenak itulah Ibermimpi bahwa Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya sebagai kurban. Setelah terbangun, ia membisikkan kepada anaknya, Ismail: “Hai anakku, aku bermimpi diperintah Allah untuk menyembelihmu, bagaimanakah pendapatmu?”

Ismail menjawab tanpa ragu: “Wahai Bapakku, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah itu dan aku akan tetap tabah insya Allah.” Kalimat yang tak ada taranya di atas bumi ini. Perintah agar menyembelih putranya ini, sebenarnya sudah dipendam rapat-dapat. Yang harus tahu hanya dirinya dan putranya, karena nabi Ibrahim sangat kasihan kepada istrinya (Hajar) yang baru saja mendapat kebahagiaan dapat berkumpul dengan dirinya, dan tidak ingin bersusah lagi seperti saat ditinggalkan di tanah tandus. Namun hal ini terpaksa diberitahukan kepadanya.

Hajar menghadapi satu situasi lagi, yang mana lebih dahsyat daripada yang lalu, yaitu mimpinya Ibrahim bahwa ia menyembelih anaknya. Yang mana sang ibu (Hajar) itu rela akan qadla’ Allah Swt.

Hajar lalu didatangi oleh setan yang berusaha agar dapat mengeluarkan Hajar dari ketaatannya dan agar Hajar marah dan menentang Ibrahim, demi untuk menolong nanaknya. Namun ia lempar setan itu dengan tujuh batu (yang mana kejadian ini juga dialami oleh Ibrahim dan Ismail). Yang kemudian hal itu menjadi pokok pelemparan tiga jumrah.

Perasaan Hajar, juga dirasakan oleh Ibrahim, bahwa ini adalah satu cobaan yang maha berat dan maha hebat. Sejak muda Ibrahim bercita-cita untuk memperoleh seorang anak. Setelah mendapat anak, dengan susah payah dia mengembara bersama anak itu untuk menjalankan baktinya terhadap Allah. Sekarang ini sudah amat tua, mengharapkan betul akan anak itu untuk menjadi penggantinya. Anak itu diperintahkan Allah untuk disembelihnya dengan tangan sendiri pula.

Keduanya bersikap untuk menjalankan perintah itu di saat itu juga. Keduanya berangkatlah menuju suatu tempat didaerah yang berbukit-bukit, di kaki sebuah gunung, yaitu daerah yang disebut Mina (atau Muna) sekarang ini.

Sebelum sampai yang dituju itu, di tengah jalan keduanya berjumpa seorang manusia yang menanyakan maksud dan tujuannya berdua. Setelah Ibrahim menerangkan bahwa maksudnya ialah untuk menyembelih anaknya itu sebagai kurban kepada Allah, orang itu melarangnya dengan berbagai alasan. Dengan larangan itu, Ibrahim dan Ismail percaya bahwa manusia itu adalah iblis yang menyamar sebagai manusia dan memberi nasehat. Iblis itu dilemparinya dengan batu berulang-ulang, sampai mati, di suatu tempat yang sekarang disebut Jumrat Ula.

Setelah perjalanan diteruskan lagi, dengan jaraj kira-kira hanya 400 meter dari tempat itu, datang pula seorang manusia lain yang juga melarang dan menasehati agar perintah itu jangan dijalankan dengan berbagai alasan pula. Ibrahim dan Ismail kembali melempari orang itu berulang-ulang dengan batu sehingga ia lari karena itulah iblis yang datang menggodanya. Setelah berangkat dan dengan jarak kira-kira 400 meter, datang pula seorang lain. Kembali Ibrahim dan Ismail melemparinya dengan batu, yaitu di tempat yang sekarang ini dinamai Jumrat Aqabah dan yang sebelumnya itu adalah Jumrath Wustha.

Akhirnya Ibrahim dan Ismail sampai di suatu tempat, di kaki sebuah bukit yang tinggi yang sekarang ini dinamai Bukit Malaikat (di Mina), dimana Ibrahim akan melaksanakan perinah Allah dengan menyembelih leher anaknya, Ismail.

Sekadar untuk sedikit meringankan beban penderitaan batin dari kedua manusia besar itu, Ismail mengusulkan kepada bapaknya agar mengikat kedua tangan dan kedua kakinya agar baju yang menutupi badannya dibuka saja, lalu ditutupkan ke wajah (muka)-nya sendiri. Ia usulkan pula agar perintah itu segera saja dijalankan, dengan mengasah pedang lebih dahulu agar lebih tajam, supaya tidak begitu lama akibat yang timbul karena penembelihan ini.

Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada ibu dan bapaknya, Ismail mengusulkan pula agar bajunya nanti diserahkan kepada ibunya agar dapat dicium bila ibunya merindukan dirinya. Baju itulah pula sebagai pusaka untuk ibu yang ditinggalkannya. Sekarang tibalah saatnya untuk melaksanakan penyembelihan itu. Baru saja Ismail merebahkan lehernya di atas batu, dan Ibrahim bersikap mendekatkan mata pedang ke lehernya, tiba-tiba dari atas puncak bukit itu terdengar suara memanggil namanya: “Hai Ibrahim, sungguh engkau sudah siap untuk melaksanakan perintah Allah dalam mimpimu, Kami akan mengganjar kamu setimpal dengan ketaatanmu itu.”

Ibrahim segera menoleh ke tempat datangnya suara itu. Ia melihat satu malaikat turun ke bawah membawa seekor kibasy yang amat bagus, gemuk, sehat. Berjata malaikat itu: “Hai Ibrahim, sembelihlah kibasy ini sebagai ganti anakmu, Ismail, makanlah dagingnya, jadikanlah hari ini hari raya bagimu berdua, dan sedekahkanlah sebagian dagingnya untuk fakir miskin sebagai kurban.”

Darah tertumpah di atas batu membasahi bumi, bukan darah Ismail, tetapi darah seekor kibasy yang gemuk dan sehat.

Begitulah caranya Allah menebus korban Ismail dan kurban Ibrahim. Ditebus Allah dengan satu penyembelihan agung, satu macam penyembelihan yang amat agung maksud dan pelaksanaannya. Terhadap peristiwa ini Allah berfirman di dalam al-Qur’an:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan habif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), lahi yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-orang yang salih.” (Q.S. an-Nahl: 120-122).

Dan Ismail pun mendapat pujian, sebagaimana firman Allah: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh kepada ahlinya untuk mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridlai di sisi Tuhannya.’ (Q.S. Maryam: 54-55).

Setelah peristiwa penyembelihan tersebut, nabi Ibrahim meninggalkan Hajar (istrinya) dan Ismail. Dia kembali kepada istri pertama dan kaumnya. Dia sudah tidak khawatir lagi atas istri dan anaknya yang ditinggalkan, sebab dia sudah menyaksikan kekuasaan Allah yang Maha Besar dan mulia atas keselamatan keduanya, meski mereka tidak ditinggalkan perbekalan yang cukup, nyatanya mereka bisa hidup seperti yang dia saksikan.

Sepeninggal nabi Ibrahim, Hajar dan putranya, Ismail tetap tinggal di daerah tersebut; sebagai seorang penggembala kambing yang sangat dihormati, sebagai seorang yang menguasai sumur/telaga Zamzam. Dan makin lama makin ramai tempat ini didiami oleh manusia sehingga muncullah masyarakat baru di sekitar itu. Kabar inipun diketahui oleh suatu suku bangsa yang tinggal di bagian bawah kota Makkah, yaitu bangsa Jurhum. Mereka lalu berdatangan ke tempat itu ingin turut serta mengambil manfaat dari air Zamzam yang terus mengalir itu.

Ibu nabi Ismail yang menjaga air itupun tidak keberatan. Mereka diperbolehkan sebagai tamu-tamu yang terhormat. Dan mereka pun berlaku dengan baik, tunduk pula kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh ibu Ismail.

Ismail sudah semakin besar juga, hidup di tengah-tengah mereka (suku Jurhum). Akhirnya dia menikah dengan salah seorang wanita keturunan suku Jurhum, kemudian punya anak-anak yang merupakan cikal bakal bangsa Quraisy.

Sedangkan nasib Hajar, dalam buku-buku sejarah tidak diketahui lagi. Kapan ia meninggal dunia, dan berapa umurnya saat meninggal. Yang terang, ia meninggal dunia di Makkah dan dikuburkan di daerah Al-Hijr tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar