Selasa, 27 Oktober 2020

SUNAN BONANG DAN WALISONGO - (118)


Pengertian. Menurut pemahaman yang berkembang dalam ‘urf (kebiasaan) di Jawa, istilah “Walisongo” diartikan sebagai sembilan orang penyebar terpenting agama Islam di Jawa. Mereka dipandang sebagai orang yang dikasihi, sangat dekat hubungannya dengan Allah, dan diyakini mempero-leh karomah berupa tenaga-tenaga ghaib, kekuatan batin yang sangat hebat, berilmu sangat tinggi, dan sakti berjaya kawijayan.

Menurut pendapat yang lain, Walisongo bukan berarti berjumlah sembilan orang, tetapi bisa jadi lebih dari sembilan orang, atau kurang dari itu. Karena kata “songo”, menurut komentar Prof. K.H.R. Mohammad Adnan, merupakan perubahan atau kerancuan dari kata “sana” , berasal dari bahasa arab “ثناء  “ (Tsana’) yang berarti “mulia, terpuji”. Karenanya, istilah yang tepat adalah Walisana, yang berarti “Wali-wali yang terpuji dan mulia”. Dengan demikian, jumlah mereka tentu lebih dari sembilan orang.

Pendapat di atas diperkuat oleh R.Tanoyo. Hanya saja menurutnya, Sana bukan berasal dari bahasa arab (tsana’), tapi dari bahasa jawa kuno yang berarti tempat, daerah atau wilayah. Dengan demikian, Walisana berarti Wali bagi suatu tempat atau wilayah. Dalam kaitannya dengan ini, para wali juga disebut “Sunan”, kependekan dari kata Susuhunan atau Sinuhun, yang berarti orang yang dijunjung, dimuliakan atau dihormati. Misalnya Sunan Ampel, seorang wali yang dijunjung dan dihormati di Ampel Surabaya.

Menurut R. Tanoyo, istilah Walisana  dipopulerkan oleh Sunan Giri II sebagai judul bukunya, Kitab Walisana. Didalam kitab ini dijelaskan, bahwa Waliyullah  penyebar utama Islam di Jawa berjumlah 8 orang, yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Majagung, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati. Selain ke-8 orang ini, masih ada lagi Wali yang berstatus sebagai wakil yang disebut Wali Nukba atau Wali Nawbah, yang jumlahnya sangat banyak. Di antaranya Sunan Ngudung, Sunan Muria, Raden Santri (Sunan Gresik), Reden Patah (Sunan Bintara), Sunan Tembayat, Sunan Geseng, Sunan Perapen dan lain-lain.

Sementara menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, MA didalam bukunya, Kisah Wali Songo, yang dinukil dari kitab Kanzul Ulum, karya Ibnu Bathuhah, lantas disempurnakan oleh Syekh Maulana Al-Maghrabi bahwa istilah Walisongo adalah nama dari lembaga Dakwah atau Dewan Muballigh di Jawa yang beranggotakan sembilan orang  pengurus. Lembaga ini melakukan tiga kali sidang penggantian Pengurus, yakni tahun 1404 M, 1436 M dan 1463.  Ditambahkan oleh KH Dachlan Abdul Qahhar, Lembaga ini mengadakan sidang yang keempat tahun 1466 M dan kelima saat menangani kasus Seh Siti Jenar..


PERIODESASI WALISONGO

Walisongo Periode Pertama. Timbulnya Lembaga Muballigh ini berawal dari kepedulian Sultan Muhammad I

dari dinasti Turki Usmani terhadap perkembangan Islam di Jawa. Sultan kirim surat kepada para ulama Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya meminta kepada  mereka yang berilmu tinggi dan memiliki karamah agar bersedia menjadi Muballigh di Tanah Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama, lantas mengadakan sidang pertama untuk menentukan langkah-langkah strategi dakwah, pembagian tugas sesuai dengan bidang keahliannya, dan pembagian wilayahnya. Kesembilan ulama tersebut adalah 1) Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M di Gresik); 2) Maulana Ishaq;  3) Maulana Ahmad Jumadil Kubra (makamnya di Trowulan Mojokerto);  4) Maulana Muhammad al-Maghrabi (w. 1465 M di Jatinom Klaten);  5) Maulana Malik Israil (w. 1435 M di Gunung Santri Cilegon);  6) Maulana Muhammad Ali Akbar (w. 1435 M di Gunung Santri Cilegon);  7) Maulana Hasanuddin (w. 1462 M di samping masjid Banten lama);  8) Maulana Aliyuddin (w. 1462 M di samping masjid Banten lama);  9) Syekh Subakir (w. 1462 di Persia).

Walisongo periode kedua, mengadakan sidang ke-2 tahun  1436 M. Keputusannya:  melengkapi komposisi pengurus : 1) Sunan Ampel, mengganti Maulana Malik Ibrahim yang wafat;  2) Sunan Kudus mengganti Maulana Malik Israil yang wafat;  3) Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati), mengganti  Ali Akbar yg wafat.

Walisongo periode ketiga : mengadakan sidang ketiga tahun 1463. Hasilnya melengkapi kepengurusan dengan memasukkan 1) Sunan Giri, menggantikan Maulana Ishaq yang pindah ke Pasai;  2) Sunan Bonang, menggantikan Maulana Hasanuddin yang wafat;  3) Sunan Kalijaga, menggantikan posisi Syekh Subakir yang kembali ke Persia;  4) Sunan Drajat, menggantikan Maulana Aliyuddin yang wafat.  

Walisongo perode keempat : memasukkan 1) Raden Patah, menggantikan Maulana Ahmad Jumadil Kubra yang wafat; dan 2) Fathullah Khan yang menggantikan Maulana Muhammad al-Maghrabi yang wafat.  

Walisongo periode kelima : masuk nama Sunan Muria. Tidak dijelaskan menggantikan siapa, tetapi besar kemungkinan menggantikan Raden Patah yang menjadi Sultan Demak. Walisongo periode ini juga memutuskan sikap (menghukum) atas diri Sekh Siti Jenar.

Lepas dari benar-tidaknya pendapat di atas, Walisongo yang disepakati para ahli sejarah dan nama mereka sudah terkenal luas di masyarakat, serta makam mereka saat ini ramai diziarahi  kaum muslimin, berjumlah sembilan orang  : 1) Maulana Malik Ibrahim;  2) Sunan Ampel;  3) Sunan Giri;  4) Sunan Bonang;  5) Sunan Drajat;  6) Sunan Kalijaga;  7) Sunan Muria;  8) Sunan Kudus; dan 9) Sunan Gunungjati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar