Jumat, 23 Oktober 2020

NURUDDIN AL-JAMI’ - (95)

 


Nuruddin Abdurrahman bin Ahmad bin Syamsuddin adalah salah seorang tokoh sufi terkemuka, dilahirkan di Kharjad, di daerah Jam, Khurasan, pada tahun 817 H/1414, dan meninggal duni di Herat pada tahun 898 H/1494 M.

Sejak kecil, Nuruddin al-Jami’ telah menunjukkan kecerdasannya, lebih-lebih setelah belajar dan dibimbing oleh ayahnya dan diteruskan dengan belajar kepada beberapa ulama di daerahnya. Dengan kecerdasannya itu,  ia segera menguasai berbagai bidang ilmu keislaman termasuk di dalamnya tafsir, hadis, fikih, filsafat, bahasa, dan seni. Diantara ulama-ulama yang menjadi gurunya itu adalah Syekh Sa’aduddin al-Kasyghari, murid guru besar Syekh Baharuddin al-Naqsyabandi (pendiri tarekat Naqsyabandiyah). Setelah selesai belajar ia segera memasuki dunia kerohanian dengan ilmu pengetahuan yang luas hingga akhirnya berkembang menjadi sufi dan penyair besar Persia sepanjang masa.

Meskipun hidup Nuruddin al-Jami’  penuh kesederhanaan, namun kemasyhurannya di bidang tasawuf dan sastra tersebar ke berbagai penjuru negeri Islam dan mendapat sambutan dari berbagai kalangan untuk belajar kepadanya. Ia memberikan pelajaran kepada  murid-muridnya yang semakin lama bertambah banyak dan hal itu membuatnya lebih tekun memberikan pelajaran. Disamping memberikan pelajaran, ia juga tekun menulis. Diantara tulisan-tulisannya adalah: Silsilat al-Zahab (puisi),  Salaman Wa Absal (puisi), Laila Wa Majnun (puisi),  Syarah Fushus al-Hikam,  Naqd al-Nushus,  al-Durar, al-Fakhirah Fi al-Tashawuf Wa al-Hikam, Tuhfat al-Ahrar, Yusuf Wa Zulaikha (puisi),  Lawami’,  Nafahat al-Uns, dan lain-lain.

Pemikiran tasawuf al-Jami’ bertolak dari pemikiran yang sederhana yaitu kemampuan jiwa (nafs). Sebagaimana diketahui, bahwa jiwa terbagi kepada tiga tingkatan: pertama nafs al-ammarah, kedua nafs al-Lawwamah, dan ketiga nafs al-mutma’innah. Manusia akan memasuki tingkat-tingkat tersebut secara sempurna melalui kesungguhan dan latihan (mujahadah dan riyadhah) dalam tasawuf. Apabila berhasil dalam menempuh tingkat-tingkat tersebut, maka manusia akan sampai kepada kesempurnaan (insane kamil). Apabila gagal dan tetap pada tingkat pertama saja maka manusia demikian amat merugi.

Melalui jiwa yang suci dan murni dengan kecemerlangannya mampu mendekati keindahan dan kecemerlangan abadi.

Demikian al-Jami’, memandang perjalanan sufi melalui jiwa yang bersih, tumbuh dengan cinta (mahabbah), meningkat dalam keindahan (al-Jamal) dan kesempurnaan (al-Kamal) yang menjadi dambaan abadi insani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar