Kamis, 22 Oktober 2020

AMINAH BINTI ZUHRAH, Ibunda Nabi Muhammad SAW - (38)

  

 

Nasab Aminah

     Aminah hidup di lingkungan yang paling mulia, dikalangan  nenek-moyang yang paling baik, kemurnian keturunan, berkumpul dengan ketinggian bangsanya. Beliau salah satu keturunan dari penghulu keturunan bani Zuhroh dari  suku  besar Quraysy. Aminah merupakan gadis pingitan yang tak bisa kemana-mana. Dengan keluarga Abdul Muttholib, beliau sudah mengenalnya, terutama Abdullah yang diwaktu kecil merupakan teman bermainnya. Antara keduanya adalah saudara yang berbeda kakek, tapi tidak menjadikan mereka harus berjauhan dalam hubungan kekeluargaan.

     Kakek Aminah adalah Zuhroh, saudara sekandung dengan Qushay, kakek Abdullah. Hubungan kedua suku tersebut sangat akrab seperti dua saudara saja yang lama terbina. Dalam segala hal, kedua-duanya saling membantu. Persahabatan dan persaudaraan itu dimulai semenjak terjadi peristiwa tuntutan keluarga Abdul Manaf untuk memperoleh hak-haknya sebagai pengelola Ka'bah dari keluarga Abdu-Dar. Tuntutan keluarga Abdul Manaf itu hampir saja terjadi pertempuran.  Kedua-duanya saling mencari dukungan dari kabilah lain. Diantara yang mendukung Abdul Manaf adalah keturunan Zuhrah. Meskipun tidak terjadi pertempuran, namun dukungan itu masih tetap yaitu dengan wujud persahabatan dan saling dukung, bahkan agar supaya saling mendukung keduanya mendekatkan dalam perumahanya. Demikian pula ketika terjadi peristiwa "Hulful Fudhal" keduanya saling bekerja sama menegakkan keadilan dari kesewenang-wenangan para pembesar Quraisy. Keakraban itu berlangsung sampai kepada keturunan Abdul Muthalib. Dikalangan keturunan Zuhrah inilah, lahir Aminah binti Wahab ibn Abdu Manaf ibnu Zuhro ibnu Kilab ibnu Murrah, yang telah mendapat kemuliaan dari kaumnya. Nabi merasa sangat bangga dan bahagia dengan keturunannya tersebut.  Beliau pernah berkata "Allah senantiasa memindahkan saya dari tulang sulbi  bapak-bapak yang baik sampai ke rahim ibu-ibu yang suci bersih dan terdidik. Kalau saja suatu keturunan bercabang dua, maka Allah menempatkan daku dari cabang yang baik diantara keduannya".                       

Dalam surat At-taubah, dijelaskan, yang artinya  :

  "Sungguh telah datang kepadamu, seorang rasul yang paling mulia diantara kamu" .

 

   Pada masa kanak-kanaknya, Aminah  sudah mengenal putera pamanya, yaitu Abdullah bin Abdul Muthalib sebagai salah seorang dari teman-teman sebayanya, sesama keturunan suku besar Quraisy. Keluarga Hasyim adalah keluarga yang paling dekat dengan keturunan Zuhrah. Kedua keturunan tersebut dikumpulkan dalam wujud kasih sayang sejak dulu, yang tidak pernah putus- putusnya sampai kelahiran nabi Muhammad. Keduanya juga sering dipertemukan pada saat masih belum dewasa, yaitu ditempat pertemuan-pertemuan Qabilah Quraisy, karena Abdul Muthalib sebagai penghulu keturunan Hasyim dan Wahab adalah penghulu keturunan Zuhrah. Untuk menjaganya, kedua keturunan saling kunjung-mengunjungi dalam suasana kasih sayang dan memusyawarakan dalam setiap ada  perkara yang dihadapi oleh suku Quraisy.

 

Aminah dilamar  Sayyid Abdullah Bin Abdul Muthalib

    Pada waktu itu, Abdul Muthalib dipercaya sebagai wali kota Makkah. Penunjukannya sebagai wali kota Makkah ini merupakan jabatan  yang sangat istimewa dan penghormatan, yang banyak diminati oleh pembesar-pembesar Makkah. Karena itu Abdul Muthalib harus kerja keras atas pekerjaan yang dipercayakan kepada dirinya tersebut. Dalam tugasnya, dia diserahi mengurusi seluruh kebutuhan yang ada pada saat itu; pengurusan terhadap rumah suci, Ka'bah. Pekerjaan yang beliau tekuni tersebut  membawa hasil yang sangat baik, karena kegigihan dan kesungguhannya, dan kepercayaan rakyatnya. Namun Abdul Muthalib tetap manusia biasa yang setiap saat akan berkurang tenaga, pikiran dan semangatnya. Oleh karena itu, dia mulai merasa berat mengurusi pekerjaan-pekerjaan tersebut. Memang dia punya saudara yang banyak, namun  tempat tinggal mereka berjauhan, sehingga Abdul Muthalib tidak bisa mengharap terlalu banyak pada bantuan mereka. Sedangkan saat itu dia hanya punya anak satu yaitu Harits, padahal tugas yang sedang diembannya adalah sangat berat, oleh karena itu, Abdul Muthalib selalu berusaha, memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar berkenan memberi putera yang banyak, yang dapat diajak untuk bekerja dengan diserta nadzar yang ikhlas, yaitu manakala Tuhan memberi keturunan sepuluh orang maka salah satunya akan disembelih di dekat Ka'bah.

Tiga puluh tahun kemudian, Allah mengabulkan doa'anya. Satu demi satu lahir putera-puterinya sampai genap sepuluh orang yang telah siap membelanya setiap saat. Diantara puteranya adalah Abdullah, putera paling kacil. Dia adalah anak yang dapat kemulyaan dikalangan kaumnya, lebih dari kemulyaan yang diperoleh kakek-neneknya, sehingga ia sedemikian disayang dan mempunyai pengaruh yang besar di kalangan kaumnya, karena ketinggian akal budinya yang sangat terpuji.

Menginjak dewasa, Abdullah sangat disenangi dan dikagumi kaumnya, bukan hanya karena budi pekertinya yang baik, tapi juga karena  kemulyaan dan kebangsawanannya. Kaumnya merasa heran  kenapa pemuda Abdullah tidak termasuk dalam rombongan  pemuda yang berlomba-lomba melamar "Aminah", bungah kaum Quraisy ?,  padahal tidak kalah dengan teman-temannya dalam segala-galanya. Tidak luput juga keluarga Wahab, mereka heran kenapa  pemuda Abdullah tidak turut melamar Aminah, padahal jika Abdullah datang melamar Aminah, pasti akan diterimanya. Keheranan tersebut terjawab, mana kala mereka teringat akan Nadhar yang pernah diucapkan Abdul Mutholib, yaitu ia akan menyembelih salah seorang putera-puteranya  didekat Ka'bah. Nadhar tersebut merupakan keharusan untuk dilaksanakan sekalipun orang-orang Quraisy banyak yang melupakan nadhar tersebut, namun keluarga Wahab masih tetap ingat, karena hubungannya yang erat dengan  keluarga  Abdul Mutholib.

Setengah  riwayaat menceritakan, ketika Abdul Mutholib diangkat menjadi Wali kota Makkah, beliau menerima tugas-tugas warisan yang mulia, diantaranya yaitu mengurusi air untuk kebutuhan para jama'ah haji ( Siqoyah ). Beliau menyadari bahwa masalah air adalah  masalah yang menjadi problem bagi para  jama'ah haji. Oleh karena itu beliau sering merenungkan kesulitan tersebut.  Dalam renungannya, beliau teringat akan sumur "Zam-zam", sumber mata air yang telah menyelamatkan kakeknya , Ismail dari kematian,  Ia juga teringat akan cerita dari nenek ke ayah, dan selalu diulang-ulangi; cerita tentang Kabilah Jurhum yang dahulu pernah berkuasa  di Makkah, lalu kekuasaan tersebut pindak ke Kabilah Khuzai'ah. Dan meninggalkan Makkah, kabilah Jurhum   menimbuni  sumur "Zam-am".  Oleh karena itu, Abdul Mutholib sangat menginginkan, karunia Tuhan tersebut  dapat ditemukan kembali. Keinginan tersebut bertambah kuat, ketika dalam tidurnya bermimpi, bahwa cita-citanya akan berhasil.

Pagi harinya Abdul Mutholib berangkat ke Ka'bah membawa paculnya, bersama puteranya Harits. Keduanya bekerja  tidak kenal lelah, sampai akhirnya pekerjaan penggalian mendekati patung Asaf dan Nailah. Tiba-tiba kaum Quraisy  datang  beramai-ramai  untuk menghalanginya. karena kedua patung tersebut  sangat berharga dan selalu mereka gunakan untuk menyuguhkan sesaji dan sesembahan. Melihat  reaksi kaum Quraisy itu, Abdul Muthalib tetap meneruskan pekerjaan sambil memerintahkan puteranya untuk menjaga, jangan sampai mereka mengganggu pekerjaannya. Kaum Quraisy tetap pada pendiriannya sambil mengejek Abdul Muthalib sebagai orang yang tidak banyak keturunannya. Mendengar itu Abdul Muthalib bersumpah dengan disertai nadhar; kalau saja Allah membirinya sepuluh putera, maka salah satunya itu akan disembilih di dekat Ka'bah. Tidak lama kemudian, Abdul Muthalib menghentikan pekerjaannya dan bertakbir, karena menemukan Sumur Zamzam yang lama diinginkannya. Selalin itu, Allah mengabulkan doa dan sumpahnya, sehingga satu persatu putera-puteranya lahir, termasuk Abdullah yang terkecil dan jumlahnya semua sepuluh.

Tepatnya pada bulan Jumadil Ula tahun 568 Masehi, semua penduduk Makkah ramai-ramai memperbincangkan Abdul Muthalib yang akan membawa putera-puteranya ke dekat Ka'bah untuk diundi. Detik yang mendebarkan tersebut dirasakan sangat berat, satu persatu dari kesepuluh puteranya maju mendapat giliran. Penduduk Makkah yang menyaksikan tragedi secara langsung tersebut hanya  diam dan mebisu, yang ada hanya ucapan do'a pengharapan.

Tidak terkecuali Aminah yang telah mendengar khabar dari pelayan dekatnya mengenai pelaksanaan undian penentuan yang akan di sembelih. Aminah  terus menerus berdo'a dengan harap-harap cemas, semoga undian itu tidak jatuh kepada Abdullah sebagai orang yang dipilih oleh Tuhan pemelihara Ka'bah untuk menepati Nadhar Abdul Muthalib.

Tiba-tiba tersiar berita mendadak,  rupaya Tuhan pemelihara Ka'bah telah menentukan pilihan Abdullah untuk disembelih. Khabar ini sudah menyebar ke seluruh pelosok negeri Makkah, termasuk sampai ke perkemahan keturunan Zuhrah, khususnya Aminah. Ia tertegun sesaat, dan rasanya ingin pergi ke Makkah melihat pelaksanaan nadhar, namun ia menyadari dirinya sedang dalam pingitan orang tuanya. Andaikata ke sana, toh ia tidak akan bisa berbuat lebih banyak untuk menyelamatkan Abdullah, karena vonis sudah di tetapkan oleh Abdul Muthalib. Ia tak habis pikir bagaimana hal ini harus menimpah Abdullah, satu-satunya orang yang menjadi harapannya, tidak terkecuali para puteri-putri suku Quraisy. Abdullah adalah hiasan pemuda-pemuda Makkah. Di samping itu juga Abdullah adalah putera yang yang sangat disayangi oleh Abdul Muthalib dan orang-orang Quraisy seluruhnya.

Abdul Muthalib yang sudah tua tersebut berusaha menekan  perasaan hatinya. Dia memegang tangan puteranya, Abdullah sambil membawa pisau, lalu menghadap kepada patung Asaf dan Nailah untuk menyembelihnya di dekat Ka'bah.

    Ketika Abdul Muthalib bersiap-siap hendak menyembelih puteranya, serentak orang-orang Quraisy datang dari berbagai penjuru seraya menegur Abdul Muthalib. Namun teguran tersebut tidak diindahkannya, sebab nadzar tersebut harus dilaksanakan. Penentangan orang-orang Quraisy itu hampir seluruhnya. Diantara mereka berkata, " hai Abdul Muthalib ! kalau kamu laksanakan nadzar tersebut, bagaimana kelak ?. Apakah tidak mungkin akan lebih banyak orang-orang tua sesudah kamu yang akan melaksanakan sepertimu". Terutama Mughirah al-Makhzumi, saudara iparnya. Dia memegang erat tangan Abdul Muthalib sambil berkata " hai Abdul Muthalib !, kalau memang harus ditebus dengan harta, asalkan Abdullah tidak disembelih, maka saya siap menggantinya seberapa banyaknya ". Dan diantara mereka juga ada yang mengusulkan kepada Abdul Muthalib agar dia menangguhkan penyembelihan itu dan disuruh menanyakan kepada seorang dukun, apakah nadzar tersebut dapat diganti, tanpa kemarahan Sang Pemilik Ka'bah ?. Akhirnya Abdul Muthalib menyetujui usul kaumnya. Lalu dia  dan para keluarga serta pembesar-pembesar Quraisy pergi ke seorang dukun yang bertempat tinggal di Khaibar, memohon keputusan.

Sesampai di Kahibar, sang dukun berpesan, agar menunggu untuk beberapa hari, karena dia harus mempersiapkan sesuatunya, termasuk juga  harus puasa dan lain-lain. Sambil menunggu, Abdul Muthalib dan pengantar-pengantarnya memasang kemah yang telah dipersiapkan. Di sana,  mereka telah meninggalkan kebiasaan bersenang-senang, hiruk pikuk pergaulan dan persaingan. Mereka hanya selalu memanjatkan do'a-do'a, mengharap kepada Tuhan semoga Abdullah bisa selamat. Begitu juga penduduk Makkah, hampir tiap malam, memanjatkan do'a-do'a. Semua musik yang biasa dibunyikan , terpaksa dihentikan. Mereka setiap saat menajamkan pendengaran dan pandangan ke arah utara, kota Khaibar, kalau-kalau datang khabar dari sana. Kaum muda-mudi Makkah, di malam hari yang  gelap itu juga demikian, berdo'a di dekat Ka'bah yang suci demi keselamatan Abdullah.

     Dua puluh hari kemudian, sang dukun memanggil Abdul Muthalib dan para pengantar untuk mendengarkan hasil keputusannya.  pada prinsipnya sang Pemilik Ka'bah memberi izin penggantian penyembelihan Abdullah. Sang dukun berkata " Sekarang kembalilah kalian semua, dan mengadakan undian didepan Ka'bah, dengan sekali undian korbannya adalah 10 Onta". Setelah banyak menerima pesan dan nasehat dari sang dukun, semua rombongan kembali ke Makkah, melaksaanakan semua pesan- pesannya.

Di Makkah, keadaan yang dulunya ceria, penuh dengan hiruk pikuk orang tua dan anak-anak muda yang bermain dan bercanda, telah berubah menjadi sunyi,  sepi. Yang terlihat hanyalah orang-orang yang selalu merapatkan dirinya di tirai Ka'bah, rumah sakral tersebut.  Siang dan malam mengharap kepada Pemilik Ka'bah akan keselamatan pemuda Abdullah yang sangat dicintainya tersebut. Namun kesunyian dan ketegangan penduduk Makkah itu berakhir, dikala terlihat dari kejauhan, arah utara, debu membumbung ke atas karena ditimbulkan serombongan besar sedang menuju ke arah Makkah. Budak-budak pria nampak naik ke tempat yang tinggi melihat rombongan yang sedang menuju ke Makkah. Rombongan itu semakin mendekati kota Makkah dan meneruskan perjalanannya menuju ke Ka'bah. Mereka berdo'a bersama, sebagian yang lain menuju ke rumah-rumah untuk mengumpulkan onta dan menggiringnya ke  arah Baitullah yang suci. Setelah semuanya terkumpul dan syarat-syarat seperti yang dimintakan oleh sang dukun terpenuhi, maka dilaksanakanlah upacara pengundian sebagai ganti penyembelihan Abdullah dengan memakai piring, yang setiap piringnya 10 onta sebagai penebusan kepada sang pemilik Ka'bah, sampai akhirnya, undian tersebut genap 10 kali, maka dengan demikian onta yang harus dikorbankan untuk gantinya adalah sebanyak 100 onta. Dan selesailah tragedi yang sangat menegangkan ini, yaitu digantinya nyawa Abdullah dengan 100 ekor onta.

     Di perkampungan keturunan Zuhrah, Aminah sedang asyik mendengar khabar dari orang suruhannya menceritakan mengenai kejadian-kejadian selama dia ikut rombongan ke Khaibar dan kemudian sekembalinya ke Makkah sampai kepada kejadian pelaksanaan pengundian dengan mengorbankan 100 ekor onta, hampir tidak ada yang tidak diceritakan oleh sang pesuruhnya. Dan hampir saja cerita itu diakhiri, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang semakin dekat; seisi rumah spontan tegak berdiri sambil mengamati, ke mana sebenarnya rombongan itu menuju. Tampaklah beberapa orang keturunan Hasyim, dan kaum Qurays; dengan diawali Abdul Muthalib yang berjalan di muka, menggandeng Abdullah, puteranya, menuju  rumah keluarga Wahab, penghulu kuturunan Zuhrah.

Aminah lekas-lekas ingin menemui ayahnya, agar sang ayah sudi menanyakkan keselamatan Abdullah. Namun di depan pintu, ayahnya sudah lebih dahulu berdiri di depan pintu rumah, sambil mengucapkan selamat datang kepada para tamu yang terhorrmat itu. Dalam pikiran Wahab gerangan apakah yang menjadikan keluarga Hasyim itu datang dan mengunjungi rumahnya itu ?..

Pertemuan yang tidak disangka-sangka itu berlangsung sangat akrab. Dimulai Abdul Muthalib bercerita mengenai awal mula terjadinya nadhar, dan Abdullahlah orang yang tergolong masuk dalam undian yang akan dikorbankan di dekat Ka'bah, sampai kepada peristiwa penebusan Abdullah diganti dengan 100 onta. Setelah itu, Abdul Muthalib mengutarakan maksud kedatangannya bersama rombongan ke rumah keturunan Zuhrah ini, yaitu hendak melamar Aminah untuk Pemuda Abdullah. Kedua tuan rumah itu terkejut mendengar penuturan Abdul Muthalib yang baru saja ia ucapkan yaitu ingin melamar Aminah untuk Abdullah. Bagaimana tidak, sejak pertama bercerita sudah didengarkan dengan khusu' tanpa yang terlewatkan, namun tiba-tiba mereka menyebut kata- kata  lamaran. Beliau kaget juga senang, kedua tuan rumah itu langsung masuk ke kamar puterinya dengan meninggalkan tamu-tamunya, hanya ingin memberi tahu kepada puterinya  maksud kedatangan para tamu. Baru kemudian, kedunya sadar, bahwa sang tamu sedang ditinggalkan. Tanpa pikir panjang, keduanya menerima lamaran itu.

 







Pernikahan Aminah dengan Abdullah bin Abdul Mutholib

   Setelah para tamu pulang, satu persatu wanita bani Zuhrah datang untuk menyampaikan ucapan selamat bahagia atas lamaran pemuda keturunan Hasyim kepadanya. Setiap kali wanita itu datang, mereka selalu menceritakan, bahwa mereka sudah lama mendambahkan  datangnya kesempatan seperti yang di alami oleh Aminah. Mereka juga bercerita, bahwa seringnya mereka mondar-mandir dari perumahan keturunan Zuhrah ke Ka'bah dengan harapan dapat bertemu dan bercakap-cakap serta membuat tertarik pemuda Abdullah. Aminah merasa heran mendengar percakapan para tamu wanita yang berkunjung ke rumahnya itu. Tidak hanya wanita keturunan Zuhrah saja yang demikian, bahkan para wanita keturunan Quraisypun kecewa semuanya, karena mereka sudah lama menunggu saat-saat seperti yang diharapkan Aminah, namun tak kunjung datang.

     Selesai mereka bercerita mengenai Abdullah yang terkenal sebagai pemuda berwajah bagus, berbadan tegap berkepribadian sangat menarik, juga pemuda yang paling populer di kota Makkah, maka mulailah Aminah berfikir tentang pemuda yang baru saja terbebas dari penyembelihan. Aminah baru menyadari, kenapa Abdullah tidak sedari dulu melamar dirinya. Aminah juga masih bertanya-tanya, mengapa begitu cepat, kenapa Abdullah tidak menunggu 2 hari sampai satu minggu dari kejadian penebasan itu ?. Akhirnya semua dapat dijawab sendiri, bahwa sebenarnya Abdullah memang sudah lama punya perhatian khusus terhadap  Aminah. Oleh karena itu dia  cepat-cepat melamarnya, setelah  bebas melaksanakan nadhar ayahnya. Alangkah lamanya Abdullah memikirkan Aminah  dan  bagaimanakah penderitaan bathinya, yang terpaksa dia pendam dengan diam dan menunggu. Pertanyaan dan lamunannya  akhirnya berhenti ketika terdengar suara orang bekerja, mempersiapkan pesta perkawinannya.

Pesta perkawinan pun dimulai, dengan perayaan yang sederhana dan meriah. Undangan banyak yang datang. Selesai pesta pernikahan, Abdullah menetap 3 hari di rumah pengantin puteri. Pada hari keempatnya tibalah Aminah harus meninggalkan rumah keluarganya untuk pindah kerumah suaminya. Mau tidak mau Aminah harus meninggalkan Bapak-Ibunya,yang sudah lama mengasuh dan mendidiknya. Ia menuju ke rumah suaminya, menyongsong masa depan baru. Hatinya merasa tertusuk tapi Ia mendapat penawarnya, yaitu Abdullah teman hidup didalam suatu bahtera rumah tangga.

 

Berita Gembira dan Perpisahan

     Masa-masa pesta pernikahan dilaluinya berdua. Dua sejoli mulai memasuki dunia kehidupan yang tenang dan tentram, tiada suara kegaduhan, yang ada hanya canda ria dan kebahagiaan yang terbayang.

     Suatu hari, Aminah bermimpi seolah-olah ada cahaya yang memancar dari tubuhnya, hingga dapat melihat istana Bushara di Syam. Kemudian ia mendengar suara yang mengatakan kepadanya " Engkau telah menghamilkan seorang termulia   dikalangan Umat ini." Mimpi tersebut merupakan kabar gembira bagi semuanya, khususnya Aminah. Ia teringat  berita  Sauda binti Zuhrah bin Kilab, seorang anak perempuan yang ketika keluar  dari kandungan ibunya nyaris ditanam hidup-hidup oleh orang tuanya, namun ketika sedang menggali lubang ada suara "Jangan kau tanam bayi itu, biarkan dia hidup sebab dia akan menjadi orang ternama di kemudian hari ". Setelah dewasa,   ia menjadi seorang ahli tenung Quraisy terkenal. Dia pernah berkata kepada keturunan Zuhroh " Bahwa satu diantara keturunanya, ada seorang puteri yang akan melahirkan seorang pemimpin. lalu ia melihat satu persatu untuk diteliti, sampai akhirnya tiba giliran pada Aminah. Sauda berkata " Inikah orangnya yang akan melahirkan seorang pimpinan."

     Tiba saat perpisahan, ketika genderang kafilah dagang ditabuh. Abdullah berangkat bersama rombongan menuju negeri Syam. Dengan tekad bulat, dan bertawakkal kepada Allah, Abdullah meninggalkan negeri Makkah yang sangat dicintai itu untuk melaksanakan kewajiban sebagai orang yang mempunyai tanggungjawab dalam masyarakat. Dengan wajah sedih, dan iba, Aminah melepas suaminya yang belum usai berbulan madu itu. Begitu juga Abdullah, walaupun hatinya merasa berat berpisah dengan istrinya, namun dia tetap menghibur dirinya dan istrinya, supaya tidak terlalu dipersoalkan, "kepergian itu hanya sebentar, setelah itu, saya  akan kembali lagi dan bisa bertemu kembali seperti biasa", kata Abdullah, "bayangkan saja  diriku, seolah-olah di sampingmu, karena yang pergi itu hanya jasad, sedangkan jiwa dan hatiku senantiasa mendampingimu". Aminah hanya menunduk sedih sambil melepas kepergian sang suami berdagang ke negeri Syam.

Dengan ayunan langkah pasti, Abdullah meninggalkan Aminah seorang diri, yang telah melepas kepergiannya sampai akhirnya tidak terlihat badannya. Dan ketika Abdullah pergi Aminah telah hamil, mengandung orang yang termulia dan pemimpin yang sebesar-besarnya, diantara sekalian para Rasulullah yang pernah diutus Tuhan di dunia dalam memimpin seluruh umat manusia.  Karena itu, semua anggota keluarga berusaha menghibur Aminah dan mengisi kesunyian hatinya dengan berbagai tutur kata yang manis, sebab kalau keadaan tersebut berlangsung lama, dikhawatirlan akan mengganggu kesehatan dirinya dan bayi yang ada dalam kandungan. Hiburan pun tidak cukup bagi Aminah melupakannya, justru semakin menambah kesedihan, yang ada hanya rasa khawatir dan rindu. Sampai-sampai keadaan itu terbawa Aminah ke dalam alam mimpi. Suatu hari, dalam tidurnya, Aminah bermimpi sedang didatangi seseorang. Orang tersebut berkata, " Apakah kamu hamil ?". Saat itu Aminah menjawab, "Aku tidak tahu". Kemudian  orang itu berkata lagi, "Engkau sedang mengandung orang yang termulia di kalangan umat ini dan ia seorang Nabi". Ketika itu hari senin, dan sejak saat itu Aminah baru tahu kalau dirinya sedang mengandung. Mimpi tersebut sebagai penawar kesedihannya yang telah ditinggal suami. Aminah ingin selekasnya bertemu dengan Abdullah, menceritakan kehamilannya. Namun,  sudah dua bulan Aminah belum mendapat informasi kapan kembalinya rombongan dagang.

     Penantian yang cukup melelahkan itu dipecahkan dengan sampainya kabar, bahwa tidak lama lagi, kafilah dagang akan kembali ke Makkah. Karena itu, Aminah mempersiapkan diri menyambut kedatangan suaminya. Rombongan yang dinanti-nanti pun sampai di Makkah. Tapi dalam rombongan itu tidak terlihat Abdullah, makanya Aminah bertanya-tanya, "Apakah suaminya langsung ke Ka'bah untuk thowaf ?.... atau langsung ke rumah orang tuanya terlebih dahulu ?.. atau lainnya, baru kemudian pulang". Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab, setelah suara hiruk pikuk kafilah dagang berlalu.

 







Abdullah Meninggal Dunia

Suara hiruk pikuk tersebut berganti sunyi kembali. Dalam  kesunyiannya, sayup-sayup tendengar langkah seseorang menuju ke sebuah rumah. Aminah terus menajamkan telingah dan pandangannya ke pintu muka. Ketika pintu dibuka, ternyata bukan Abdullah yang nampak, melainkan Abdul Muttholib, ayah mertuanya bersama Wahab, ayah kandungnya dengan disertai beberapa keluarga dekatnya. Setelah mereka masuk, ayahnya berkata, " sudahlah Aminah tidak perlu dipikirkan, ketahuilah,  setelah saya cari dalam rombongan, ternyata tidak aku menemui suamimu,  Abdullah dalam rombongan, menurut berita, dia sedang terganggu kesehatannya". Lalu Abdul Mutthalib menimpali, "Hanya masuk angin, tak usah khawatir, dan sekarang Harits sedang menyusul untuk membawanya pulang". Kedatangan orang tua dan mertua, beserta keluarganya dapat menghapus sementara kesediahan yang ada  padanya. Aminah terus bedo'a atas kesembuhan  suaminya, sehingga bisa berkumpul kembali.

Diceritakan, bahwa rombongan kafilah dagang itu pulang dari syam  melewati kota Yasrib. Bagi yang mempunyai keluarga di sana, menyempatkan diri mengunjunginya, tak terkecuali Abdullah. Dia mengunjungi familinya dari kakek pihak ibu, bani Najjar di kota Yasrib. Setelah rombongan akan meneruskan perjalanan ke Makkah, kesehatan Abdullah terganggu, karenanya dia ditinggal di kota Yasrib. Tidak jelas apa sakit Abdullah saat itu. Tapi yang jelas, panjangnya perjalanan yang di tempuh Abdullah itulah sebagai sebab sakit, sampai akhirnya meninggal dunia.

Berita meninggalnya Abdullah sangat mencengangkan semua orang, sebab pemuda Abdullah adalah kebanggaan dan sesuatu yang berharga. Sampai-sampai nyawanya dihargai dengan 100 onta. Ternyata takdir itulah yang menentukan, bahwa  Abdullah harus pulang ke Tuhan Yang Maha Esa. Ya, Abdullah telah meninggal dunia, meninggalkan ayah, mertua, istri dan semua keluarga dan penduduk Makkah. Menurut cerita, bahwa Abdullah telah di makamkan di Yasrib. Setelah penguburan Abdullah, Harits pulang ke Makkah, membawa harta kekayaan Abdullah. Semuanya terdiri dari 5 ekor onta, beberapa kambing dan seorang wanita (hamba) Ummu Aiman, orang Habsyi.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana sedihnya Abdul Muthalib, seluruh familinya dan penduduk Makkah, ketika Harits datang hanya membawa harta milik Abdullah, tanpa bersama Abdullah. Hanya putranya yang masih dalam kandungan Aminahlah, satu- satunya yang bisa memberikan harapan untuk mengurangi kesediha. Begitu juga dengan Aminah, beliau sudah dua bulan menunggu kedatangan suaminya yang masih pengantin baru, tapi yang datang bukannya Abdullah, melainkan berita duka yang dibawa oleh Al-Harits.

Selama beberapa hari Aminah tidak dapat menahan air matanya yang terus membanjir hingga kedua belah matanya nampak bengkak. Kadang-kadang ia tidak percaya kalau Abdullah meninggal, tetapi setelah merenung apakah mungkin Harits akan berkata bohong, bahkan kabar tersebut disampaikan langsung oleh ayahnya Abdul Muthalib. Ia tidak menduga bahwa suaminya tidak kembali lagi. Rasa-rasanya ia ingin menjerit dan meronta, tapi karena dilandasi keiimanan, akhirnya Aminah menyerahkan  semuanya kepada takdir Allah.  Aminah hanya dapat mengambil hikmah dari kematian Abdullah, yaitu untuk memberi  kesempatan kepadanya didalam menitipkan janin yang ada dalam kandungannya, karena itu lambat laun ia menjadi tenang. Kepedihanya semakin berkurang dan ia tinggal mulai memikirkan puteranya yang masih dalam kandungan.

 

Peristiwa Pasukan Bergajah Menyerang Ka'bah

     Berita kehamilan Aminah tersebar luas dikalangan penduduk Makkah. Wanita Quraisy banyak yang datang memberi selamat bahagia, kerena mendengar kabar tentang diterimanya berita ghoib akan lahirnya seorang termulia di dunia. Orang disemenanjung Arabiyah mengetahui akan lahirnya seorang nabi dari keturunan Hasyim. Bagi Aminah berita tersebut adalah berita yang tak asing baginya, sebab sebelumnya  Aminah sering kali mendengar akan apa yang pernah dikatakan oleh saudara perempuannya Waroqoh bin Nufail, seorang ahli nujum namanya Fatimah. Dia pernah menafsirkan berpindahnya cahaya dari Abdullah ke Aminah.

Meskipun ia penuh harap bahagia akan melahirkan seorang putra termulia di dunia, bahkan seorang nabi akhir zaman, namun Aminah tetap merasa sedih karena suaminya tidak berada disisinya. Hiburan satu-satunya adalah gerakan janin yang masih dalam kandungannya.  Menjelang  beberapa minggu kelahiran putranya,  datanglah Abdul Muthalib memberitahu agar Aminah berkemas-kemas untuk mengungsi menyelamatkan diri keluar kota Makkah. Karena dikewatirkan akan keganasan tentara Abrahah yang sedang menuju ke Makkah.

Adapun sebab-sebab Abrahah menyerbu Makkah, dan hendak menghancurkan Ka'bah diantaranya :

Pertama: Kedudukan Makkah Yang Setrategis.  Ketika itu, negri Yaman telah diperintah oleh seorang raja yang beragama Yahudi, namanya Zu-Nuwas, seorang raja keturunan Arab. Dia seorang raja yang terkenal pandai memerintah, akan tetapi karena hasutan-hasutan guru agama Yahudi sehingga dia tidak memberikan kemerdekaan beragama. Baginya adalah agama Yahudi sebagai agama yang diakui dan menjadi agama negara, daan bagi yang tidak  menerima, akan diusir jika perlu dibunuh. Kebetulan agama yang ada di Yaman selain agama  Yahud  adalah agama Nasrani. Oleh karena itu para pengikut  Nasrani dikejar-kejar  dan banyak sekali yang dibunuh.

Kabar kekejaman yang terjadi di Yaman tersebut sampai ditelinga raja Roma, yang beragama Kristen. Akhirnya raja Roma memerintahkan sekutunya yang berada di Ethiopia, supaya  menduduki Yaman. Tak lama kemudian berangkatlah dari Ethopia 70.000 pasukan menyebrang lautan merah menuju Yaman, dan langsung menyerbu kerajaan Yaman.  Karena sedikitnya dalam jumlah pasukan di pihak Yaman, akhirnya raja Zu-Nawas dan tentaranya kalah. Maka berpindahlah kekuasaan pemerintahan yang beragama Yahudi kepada pemerintahan  yang  beragama  Kristen, dan direncanakan ke seluruh jazirah  Arabiyah,  khususnya Makkah, karena daerah Makkah adalah daerah yang sangat setrategis untuk jalur perdagangan antar  negara, yaitu Yaman dan Syam juga Irak serta Persia. Dalam pada itu, karena daya tarik terhadap peranan Ka'bah sebagai tempat suci  bagi orang  Arabiyah sejak berabad-abad lamanya,   sehingga penduduk Makkah menjadi makmur, hidup secara bercukupan.  Melihat peranan Ka'bah atas kota Makkah, mereka ingin membuat tempat ibadah untuk menandingi dalam segala hal. Tempat ibadah itu diberi nama Al-Qulles, yang bangunannya dibuat dari bahan- bahan yang khusus didatangkan dari berbagai negara. Pada tempat-tempat tertentu telah dilapisi dengan emas dan perak, yang semuanya  untuk menghiasi rumah ibadah tersebut. Siang dan malam, Al-Qulles terus menerus mengeluarkan aroma yang sangat harum. Pada mulanya, orang-orang sering dan banyak yang mendatanginya, namun pada akhirnya, yang mendatangi tempat iabadah tersebut bisa dihitung dengan jari, terutama setelah diketahui maksud pembuatannya, praktis tidak bisa menarik orang-orang untuk datang ke Al-Qulles. Selain itu, masyarakat sudah benci terhadap bangsa penjajah, tentara Abrahah.

Dengan kegagalan tersebut, berarti Abrahah tidak bisa menandingi Ka'bah dan memindahkan setrategi Makkah ke San'a  (Yaman). Abrahah juga sempat menjadi marah dan ingin menyerbu Makkah, namun dia tidak mempunyai alasan yang tepat, akhirnya rencana tersebut ditunda.

Kedua: Penghinaan Terhadap Al-Qulles: Setelah orang-orang  arab mengetahui maksud pembuatan tempat ibadah Al-Qulles, maka orang-orang arab marah, di samping mereka sudah benci, juga karena sifat fanatik terhadap agamanya, lalu ada orang arab yang secara diam-diam datang ke Yaman, ia masuk ke dalam Al- Qulles di malam hari. Di dalam, ia buang air besar dan mengecet beberapa tempat yang penting dengan kotoranya. Pekerjaan itu tidak ada yang melihat, kecuali penjaga Al-Qulles yang pada waktu itu sedang tugas jaga. Peristiwa penghinaan itu sampai pada Abrahah, apalagi yang melakukannya adalah orang Arab yang mencinta Ka'bah di Makkah, maka bangkitlah kemarahan Abrahah. Saat seperti inilah yang  ditunggu-tunggu oleh Abrahah sejak dulu, untuk menghancurkan Ka'bah.

Abrahah memberangkatkan pasukannya menuju ke Makkah, dengan disertai 20.000 pasukan. Pasukan  besar  itu  langsung di pimpin Abrahah dengan mengendarai seekor gajah besar yang didatangkan dari Ethiopia, namanya Mahmbud. Disamping itu, pasukannya juga ada yang berkendaraan gajah. Kalau tidak ada seorang Arab yang berkhianat kepada tanah airnya, sukar bagi Abrahah sampai di Makkah, dan  harus menghadapi perlawanan dari suku-suku Arab, mereka juga harus berputar-putar dulu dipadang pasir yang luas dan tandus. Pengkhianat tersebut bernama Abu Ra-ghal. Dia yang membawa dan menunjukan jalan bagi pasukan Abrahah ke Makkah. Karena penghianatan itu, ketika meninggal, kuburanya telah ditandai orang sebagai pengkhianat negara.

Sesampai di Makkah Abrahah mengutus Hurathah Al Himyar agar menjumpai penguasa Makkah untuk menjelaskan maksud kedatangannya ke Makkah; bukan untuk memerangi penduduk Makkah, akan tetapi ingin menghancurkan Ka'bah. Utusan tersebut menamui Abdul Muthalib dan memintanya datang ke kemah Abrahah bersama pembesar Qurais  lainnya. Di dalam kemah itu,  terjadi dialog antara keduannya. Abdul Muthalib menginginkan supaya 200 onta yang di rampas tentara Abrahah dikembalikan. Permintaan Abdul Muthalib itu mengherankan Abrahah, sehingga dia berkata, "hai Abdul Muthalib, kenapa kamu pentingkan ontamu, tidak Ka'bah yang merupakan tempat ibadah yang sejak lama disembah nenek moyangmu ?"  Abdul Muthalib menjawab dengan tenang, "wahai Abrahah, sesungguhnya onta-onta itu ada pemiliknya yaitu saya, oleh karena itu, sudah sewajarnya kami minta kembali, tapi kalau Ka'bah adalah kepunyaan Allah, maka yang berhak meminta adalah bukan saya, tetapi Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, dan Dia-lah yang akan mencegah dan mempertahankanya !." Dengan congkaknya Abrahah berkata ,"Tidak ada sesuatu yang bisa mencegah kemauanku !." Abdul Muthalib menjawab , "Silahkan tuan menghancurkan Ka'bah kalau berani". Kemudian Abdul Muttahalib dan rombongannya kembali ke Makkah. Kepada penduduk Makkah Abdul Muthalib memberitahukan apa yang menjadi niat  Abrahah. Ia berseru kapada penduduk Makkah, supaya lekas keluar dari kota, mengungsi ketempat-tempat yang aman dibukit- bukit, pegunungan-pegunungan guna menghindari kekejaman tentara Abrahah.

Setelah memberi pengumuman-pengumuman dan petunjuk-petunjuk, lalu Abdul  Muthalib disertai beberapa pembesar Qurasy menuju Ka'bah. Mereka mengadukan halnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pemilik Ka'bah, sebab mereka tidak berdaya melawan Pasukan Abrahah. Abdul Muthalib memimpin rombongan itu, berdoa dengan khusu' dan tawadhu' di  malam yang gelap gulita, berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;

     " Ya Allah hamba-Mu mempertahankan untuknya, mohon Engkau mempertahan Ka'bah",

      " Janganlah  mereka menyerang dan mengalahkan kekuatan-Mu",

      " Dan jika Engkau memberikan mereka  menghancurkan   Qiblat kami, maka itu terserah kepada-Mu".

Setelah Makkah kosong, Abrahah tetap menyiapkan pasukannya yang berjumlah 20.000 memasuki Makkah. Pada waktu itu ia berkendaraan gajah yang paling besar dan dimukanya beberapa pasukan  yang berkedaraan gajah juga. Menurut satu riwayat, bahwa ketika Abrahah telah siap-siap menyerbu Makkah, menyusuplah ke dalam angkatan perang,  seorang Arab yang bernama Nufail bin Habib ia melewati gajah yang paling besar (Mahmaud) seraya berkata,  "Duduklah engkau atau kembali ke neger Yaman, sebab engkau berada di tanah Haram". Kemudian Nufail kembali ke perbukitan untuk bersembunyi, sedangkan gajah besar (Mahmaud) kala itu langsung duduk tidak mampu berdiri lagi, begitu juga dengan gajah-gajah yang lain, semuanya duduk. Dan ketika pasukan hendak diberangkatkan kembali,  ternyata gajah besar dan gajah-gajah lainnya tidak segera berdiri, meskipun sudah  dipukul dengan besi, tetap saja sang gajah duduk. Tapi kalau gajah itu di hadapkan kearah selatan (Yaman) atau kearah utara (Syiria), gajah-gajah tersebut berjalan tergopoh-gopoh, dan kalau di hadapkan ke Ka'bah kembali, gajah-gajah itu duduk, meskipun sudah dipukul beberapa kali oleh tentara Abrahah.

Hal tersebut membikin bingung pasukan Abrahah. Di saat bingung itu, tiba-tiba datang burung-burung dalam jumlah besar seperti burung layang-layang dari pinggir laut. Masing-masing membawa tiga buah batu sebesar kacang. Yang satu dibawa dengan paruhnya dan yang dua berada pada kedua kakinya. Batu-batu itu dijatuhkan ke arah pasukan Abraha. Bagi yang terkena segera binasa dengan cepat. Memang tidak semua pasukan terkena batu tersebut, tetapi jatuhnya batu itu membawa hawa yang sangat panas. Mereka yang terkena mereka terkana semburan hawa yang ditimbulkan dari burung itu, akan berubah menjadi penyakit barbahaya, penyakit cacar. Penyakit itu semakin lama semakin besar, sehingga membuat pasukan Abrahah menjadi takut. Tetapi mereka sudah terlambat, karena penyakit itu sudah meyerang semua pasukan, tidak terkecuali Abrahah. Diceritakan bahwa Abrahah bisa sampai di Yaman dalam rupa yang tidak bisa dikenal oleh siapapun, karena hampir sekujur tubuhnya penuh dengan darah dan nanah yang keluar. Jari-jarinya satu persatu lepas. Sewaktu meninggal dunia, jantungnya pecah dan banyak mengeluarkan darah dari mulut juga hidung. Semua kejadian itu dilihat oleh orang Makkah dari balik bukit, akan tetapi tidak seorangpun  orang Makkah yang berada di bukit itu terkena penyakit. Sungguh ajaib peristiwa yang mereka saksikan itu, dan hal ini semakin menambah kepercayaan orang Makkah akan keutamaan dan kemulyaan Ka'bah. Kejadian yang sangat dahsyat tersebut dikenal orang Arab dengan "Tahun Gajah". Dalam Al- qur'an, Allah telah mengabadikan-Nya pada surat Al-Fiil, ayat 1-5

"Tetkala engkau (hai Muhammad), bagaimana Allah, Tuhanmu bertindak terhadap pasukan bergajah. Bukankah Allah membuat maksud jahat mereka menjadi sia-sia ? lalu Allah mengirimkan burung berbondong-bondong di atas mereka, yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang panas terbakar ? kemudian Allah membuat mereka seperti dedauanan hancur di makan ulat"

 







Aminah Melahirkan Bayinya

     Sulit bagi Aminah, harus melupakan kepergian suaminya  yang sangat dicintainya. Kesedihan yang dialami Aminah ternyata membuat resah seluruh keluarganya, dan juga penduduk Makkah. Mereka ingin menghiburnya dengan berbagai cara, namun tetap saja Aminah merasa bersedih.  Keadaan itu dapat berubah manakala Allah memberi ketenangan kepadanya, sehingga yang terpikir adalah persiapan menyongsong bayi dalam perutnya. Sampai akhirnya, Abdul Mutholib datang untuk memberi khabar, agar Aminah bersiap-siap keluar dari Makkah bersama penduduk Makkah yang lain, menghindari serangan pasukan Abrahah Al- Habsyi dari Yaman. Setelah itu, Aminah tinggal menunggu jemputan ayah mertuanya. Dan saat menunggu,  Aminah mendengar sayup-satup suara hiruk pikuk yang tidak teratur, sampai akhirnya suara itu berhenti dan tidak lama berselang, datang utusan Abdul Mutholib, memberi khabar, bahwa penduduk Makkah semuanya selamat dari kekejaman tentara Abrahah.    

Aminah merasa bahagia begitu mendengar atas hancur leburnya tentara Abrahah. Dengan memanjatkan puji syukur kehadrat Allah, bahwa Makkah selamat, seperti yang beliau inginkan.  

Tidak lama setelah hari musnahnya pasukan Abrahah, tersiar khabar gembira tentang lahirnya putra Aminah, tepat tanggal 12 Robi'ul Awal tahun Gajah atau bertepatan dengan tanggal 20 April 570 M. Sebelum kelahiran putranya, Aminah selalu didatangi mimpi-mimpi di malam terang bulan. Beliau mendengar dalam mimpinya, suara-suara yang menerangkan, bahwa sudah saatnya beliau akan melahirkan seorang pemimpin umat ini. suara itu juga memberi pesan agar di saat melahirkan, membaca  :

"Saya mohon berlindung kepada Tuhan Yang Maha Esa terhadap anak ini, semoga dia dilindungi oleh Tuhan dari kejahatan orang yang dengki". Dan menamainya "Muhammad"

     Bertepatan malam Senin, 12 Robi'ul Awal tahun Gajah, waktu subuh, dengan  ditemani pelayannya, Barakah Ummu Aiman dan Fatimah Ats-Tsaqofiyah, ibu Usman ibn Al Ash, beliau merasa takut  sekali, tapi sebentar kemudian merasakan adanya cahaya yang menyinari penjuru rumahnya. Beliau melihat dengan jelas, serombongan wanita yang mengelilingi tempat tidurnya, sambil memandang dengan penuh kasih sayang. Mulanya Aminah mengira, bahwa wanita-wanita itu adalah keturunan Hasyim, namun sejenak kemudian, Aminah mengenalinya, bahwa mereka itu adalah Maryam bin Murra, ibu nabi Isa, Asiyah istri Firaun dan Hajar istri nabi Ibrahim, ibu nabi Ismail, seketika rasa takut  yang membayanginya segera hilang, dan tepat waktu fajar mulai bersinar, beliau melahirkan putranya. Sejenak kemudian, bayangan itu hilang dari depan Aminah dan tahu-tahu bayinya sudah ada disampingnya.

Menurut salah  satu riwayat, setelah Abdul Mutholib mendengar cucunya lahir, dia pun segera datang mengunjunginya. Abdul Muthalib memandang cucunya dengan sepuas-puasnya, sambil telingannya mendengar cerita dan penuturan Aminah; mengenai mimpi-mimpinya sampai bisikan-bisikan yang supaya bayinya diberi nama "Muhammad". Setelah Aminah selesai bercerita, lalu Abdul Muthalib mengemban cucunya yang kecil itu keluar dari rumah dan dibawanya ke Ka'bah sambil berthowaf seraya berdoa "semoga cucunya dipelihara oleh Allah". Selanjutnya Abdul Muthalib mengembalikan bayi itu kepada sang Ibu.

 







Beberapa Kejadian Menyambut Kelahiran  Seorang Bayi Calon Nabi dan Rasul     

Aminah Binti Wahab  menceritakan,  ketika malam kelahiran bayi Muhammad, dirinya dilanda ketakutan yang luar biasa, tapi sebentar kemudian merasakan adanya cahaya yang cemerlang, menyinari penjuru rumahnya. Pada mulanya, beliau mengira, sesungguhnya mereka adalah ibu-ibu keturunan Hasyim, beliau juga lupa kalau mau melahirkan. Sejenak kamudian beliau mengerti, kalau mereka adalah ibu-ibu yang terhormat, meskipun mereka tidak diberi tahu terlebih  dahulu, dan patut dijadikan suri tauladan. Diantara mereka adalah Maryam Binti Murrah, ibu nabi Isa, Asiyah istri Firaun, dan Hajar ibu nabi Ismail. Dengan kedatangan ibu-ibu tersebut, ketakutan Aminah seketika hilang.                

Fatimah Ats-Tsaqofiyyah  menceritakan," Aku hadir dan menyaksikan sendiri kelahiran Muhammad Saw. ketika itu aku melihat cahaya terang menyinari seisi rumah tempat beliau dilahirkan, kecuali itu aku telah menyaksikan beberapa bintang bersinar turun mendekat, hingga aku merasa seolah-olah bintang-bintang itu hendak menjatuhi diriku".

Tsuwaibah Al-Aslamiyah menceritakan, bahwa kelahiran bayi Muhammad ini disambut dengan kegembiraan yang penuh dari keturunan Hasyim. Seperti yang dialaminya, ketika dirinya memberi tahu kepada tuannya Abdul Uzza (Abu Lahab) tentang kelahiran Muhammad, sepontan tuannya memerdekan.

Selain itu, pada waktu lahirnya bayi Muhamamad Saw. penjagaan dilangit ditambah dan ditolak syaitan-syaitan yang biasa datang ke bumi untuk mencari khabar, kalau hendak ke  bumi mereka akan dilempar, dirajam dengan batu-batu yang panas. Juga bintang-bintang di langit telah menunjukan arah tempat lahirnya bayi Muhammad Saw. Kota Mekkah, tanah Haram dalam keadaan terang benderang karena cahaya bintang-bintang tersebut, dan cahaya-cahaya itu juga sampai kearah Syiria, dan cahaya itu dilihat oleh mereka yang ada di luar kota Makkah. Bersama itu juga, Kubah Istana raja Kisra di Persia pecah berantakan, telah jatuh 14 teras-terasnya yang tinggi, sedangkan Tahta Kesra itu pecah karena bencana yang datang. Api yang biasa disembah di kerajaan Persia tersebut tiba-tiba padam, sebagai  isyarat adanya peristiwa besar, dan memang benar bahwa peristiwa tersebut adalah lahirnya bayi Muhammad.

Pada hari yang ke tujuh  Abdul Muthalib mengundang orang-orang Quraisy dengan meenyembelih onta sebagai syukuran dan penghormatan atas lahirnya sang cucu, yang telah banyak disebutkan dalam kitab-kitab tentang tanda kenabian akhir zaman. Dalam pertemuan syukuran tersebut, orang-orang Quraisy bertanya, kepada Abdul Mutthalib, kenapa menamai cucunya dengan nama yang telah menyimpang dari nenek moyangnya yaitu "Muhammad". Pertanyaan itu muncul, karena nama Muhammad belum populer di kalangan bangsa arab waktu itu, untuk itu Abdul Mutthalib menjawab "saya ingin, supaya dia kelak menjadi orang yang terpuji di bumi ini dan di langit sana". Mengenai nama Muhammad ini merupakan hal sangat istimewa, dimana Allah telah memelihara nama ini sedemikian rupa, sehingga tidak ada antara bangsa arab dan bangsa-bangsa lain yang mempunyai nama Muhammad. Dan ketika nama itu dimunculkan oleh Allah, bahwa orang yang bernama Muhammad kelak menjadi nab akhir zaman, maka serentak mereka ingin menamai anaknya "Muhammad", dengan harapan agar anaknyalah yang akan menjadi nabi. Ketika itu yang kebetulan bayi yang bernama Muhammad ada tiga, diantaranya adalah, Muhammad ibnu Sofyan ibnu Mujazyi, Muhammad ibnu Uhailah ibnu Hallaj dan Muhammad ibnu Hamran ibnu Robi'ah. Secara bersamaan pula,  baahwa  ketiga ayah mereka meninggal dunia dengan meninggalkan istri-istrinya yang sedag hamil. Sebelum meninggal mereka berwasiat, kalau kelak anaknya laki- laki supaya memberi nama Muhammad.

Demikian itulah hal ihwal kelahiran bayi Muhammad yang ternyata banyak membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Membawa manusia dari alam kegelapan, jahiliyah menuju ke alam terang benderang dengan dipenuhi rasa iman kepada Allah dan islam sampai sekarang. Maka tidak heran apabila Abdul Muthalib, sang kakek merayakan dengan menyembelih onta untuk penduduk Makkah, maksud itu tidak lain adalah ingin memberi selamat kepada Muhammad, sang pembawa cahaya kebenaran.

 

Bayi Muhammad Dalam Asuhan Wanita Pelosok Pegunungan

Setelah kelahiran bayinya, ibu Aminah merasa, bahwa telah menyelesaikan tugasnya, yaitu melahirkan puteranya yang telah dijanjikan akan memperoleh kemuliaan hari esok. Kemudian Aminah membiarkan dirinya hanyut dalam lamunan, mengenang dan memunculkan kenangannya ketika bersama sang suami, akan tetapi keadaan ini tidak mengizinkan, sebab teringat lagi akan kewajibannya sebagai seorang ibu, yaitu menyusui dan merawat. Penyusuan kepada bayinya hanya berlangsung bebarapa hari saja, karena air susunya menjadi kering. Semuanya ini dikarenakan kesedihannya yang berkepanjangan. Untuk itu ibu Aminah menyerahkan penyusuannya kepada Tsuwaibah, budak pamannya, Abul Uzza, sambil menunggu datangnya wanita-wanita dari desa yang sudah biasa menyusukan anak-anak orang kota.

Sudah lama berlangsung adat kebiasaan di Makkah,  yaitu mengirim anak yang baru lahir untuk disusukan kepada orang lain yang tinggal di pedesaan, karena iklim di Makkah tidak memungkinkan bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, apalagi masih bayi. Di pedesaan, hawanya yang dingin dan sejuk, tidak panas dan bising seperti Makkah, sehingga mereka menjadi  bayi yang sehat dan  kuat. Bayi tersebut dikirim ke sana rata-rata berumur antara satu sampai dua bulan. Di sana, sang bayi disusui dengan air susu sang ibu asuhnya sendiri, bukan susu ternaknya.

Berita kelahiran cucu Abdul Mutthalib tersebut telah diketahui oleh serombongan wanita yang datang bersama suaminya masing-masing. Setelah dua bulan nabi  Muhammad lahir, ibu Aminah sangat sedih melihat wanita-wanita desa itu hanya melewati rumahnya, tanpa mau menjenguk, dan menanyakannya. Dan lebih sedih lagi ketika terdengar oleh Aminah bahwa wanita- wanita tersebut hendak pulang ke desanya masing-masing. Aminah menyadari, bahwa bayinya adalah anak yatim, padahal mereka telah mengutamakan bayi-bayi dari keluarga yang dapat diharapkan mendapat upah yang lumayan, sedangkan bayi Muhammad tidak berbapak. Memang neneknya adalah orang yang terpandang di Makkah, akan tetapi bukan orang yang berpunya seperti pemimpin-pemimpin Quraisy kebanyakan. Bisa dimaklumi kenapa mereka, para wanita desa tersebut tidak mau mengambil cucu Abdul Muthalib, karena mereka turun gunung ke kota Makkah untuk mencari nafkah. Oleh karena itu mereka hanya melewati rumah Aminah, meskipun mengetahui bahwa di dalam rumah tersebut ada bayi yang baharu saja lahir, dan memerlukan seorang pengasuh untuk menyusukannya. Ketika  semua wanita pegunungan itu sudah mendapat anak yang akan di bawanya kembali, terkecuali seorang wanita yang bernama Halimah binti Abu Dzu-'Aib as-Sa'diyah , istri Haris ibnu Abdul Uzza, salah seorang keturunan bani Sa'ad ibnu Bakr ibnu Hawazin.

Dia bersma  suaminya sudah berkeliling dari rumah-kerumah di Makkah,  mencari bayi yang bapak-ibunya dapat memberi bayaran yang baik dan sederhana. Namun ketika semua rombongannya sudah hampir kembali, hanya dia sendiri yang belum mengambil seorang bayi. Karena malu tidak membawa kembali seorang bayi, maka dia dengan terpaksa mengambil cucu Abdul Mutthalib tersebut, yaitu bayi Muhammad.

Setengah  riwayat mengatakan, Halimah dan suaminya termasuk keluarga yang cukup menderita dan terbelakang sekali dalam hal harta-benda. Keduanya keluar dengan disertai anaknya yang masih bayi meninggalkan desanya bersama wanita-wanita dari bani Sa'ad ibnu Bakar, mencari bayi yang akan mereka susukan. Dia dan suaminya keluar dengan menunggang seekor Khimar betina yang kurus, juga telah membawa seekor onta yang sudah tua, yang mana onta tersebut sudah tidak dapat lagi mengeluarkan setespun air susu. Ketika dia dan rombongannya sampai di Makkah, dia sudah ditawari untuk menyusui bayi Muhammad, akan  tetapi tawaran itu ditolaknya, karena mengetahui bahwa bayi Muhammad adalah bayi tidak berbapak, anak yatim. Lalu dia mencoba mencari ke rumah lainnya mencari bayi yang sekiranya dapat diharapkan sekedar imbalan.

Setelah kesana-kemari mencari, ternyata Halimah tidak mendapatkan bayi yang dapat dibawanya  kembali untuk disusukan. Dengan perasaan malu, jika kembali dengan tanpa membawa seorang bayi, sedangkan teman- temannya membawa seorang bayi, maka dia berkata kepada suaminya : "sungguh, saya tidak merasa senang, kalau saya kembali tanpa membawa seorang bayi. Sungguh, saya akan pergi mengambil bayi yatim tadi, dan akan saya bawa dia ". Suaminya menjawab : "tidak apa-apa !" ambillah dia !, mudah-mudahan Tuhan menjadikan bayi itu membawa keberkahan untuk kita".

Halimah pergi ke  rumah  Aminah dan mengambil bai Muhammad, lalu diletakkan di atas pangkuannya, sambil mendekatkan mulutnya ke dadanya. Tiba-tiba air susunya keluar dengan deras, sehingga bayi Muhammad dapat menyusu dengan sepuas-puasnya sampai kenyang, begitu juga anaknya yang dia bawa serta, yang tadinya menangis seketika menjadi diam karena sudah menjadi kenyang, lalu keduanya pun tidur dengan lelapnya. Padahal sebelumnya, suami-istri tersebut tidak dapat tidur semalaman gara-gara tangisan anaknya   yang kelaparan. Kejadian ini sangat mengherankan keduanya, dan semakin heran manakala ketika suaminya menengok ontanya, maka nampaklah susunya membesar penuh isi. Kemudian suaminya memerah untuk diminum berdua sampai keduanya merasa kenyang dan puas. Keduanya lalu tidur dengan pulas. Pagi-pagi Halimah bangun, suaminya berkata. " ketahuilah hai Halimah !. Demi Allah, sungguh engkau tadi sudah mengambil bayi yang membawa berkat". Keduanya semakin heran, ketika keduanya meneruskan perjalanan. Halimah dengan mengendarai Khimar betina, sambil memangku bayi Muhammad dan bayinya. Ternyata khimar yang dia naiki tersebut berjalan dengan cepatnya, melebihi dari khimar-khimar yang dikendarai teman-teman satu rombongannya, sehingga sempat membikin heran mereka "alangkah bahagianya engkau wahai Halimah !, pelan-pelanlah sedikit ! tidak perlu cepat-cepat ! kata mereka. " pasti ada apa-apanya dengan Halimah ! " kata yang  lain.        

Akhirnya rombongan tersebut sampai di kampung halamannya, desa  Bani Sa'ad. Semua penduduk Bani Sa'ad mengetahui, bahwa daerahnya adalah daerah yang paling tandus,  dibandingkan dengan daerah-daerah lainya. Akan tetapi itu semua tidak berlaku bagi keluarga Halimah, terutama setelah Muhammad berada di rumahnya. Kambing-kambingnya dilepas pagi-pagi, dan sore harinya pulang dalam keadaan penuh air susunya, lalu diperahlah air susu tersebut untuk keperluan sehari-hari dan sebagian dijualnya, padahal sepanjang musim paceklik itu para penduduk tidak ada yang memerah kambing-kambingnya walaupun setetes air susu. Untuk itu ada sebagian dari penduduk bani Sa'ad yang iri terhadap  Halimah. Bagaimana tidak iri, mereka semuanya benar-benar berada dalam keadaan kesulitan segalanya, karena musim paceklik yang berkepanjangan melanda daerahnya,  Bani Sa'ad. Melihat kenyataan tersebut,  ada diantara mereka yang berkata terhadap kambing-kambing piaraannya, " Aduh celakalah kamu ! Kenapa kamu tidak seperti kambing-kambing milik Halimah, yang setiap pulang penuh dengan air susu". Namun tetap saja bahwa kambing-kambing tersebut pulang dalam keadaan kempes susunya. Dan juga mereka banyak yang menjadi heran terhadap keluarga Halimah. Dulu sebelum kedatangan nabi Muhammad, termasuk salah satu keluarga yang paling menderita, dan tiba tiba menjadi orang yang paling bahagia, karena keluarga Halimah tidak terlihat adanya kesusahan yang ada padanya di mata mereka.

Demikianlah rahasia Allah yang tidak banyak di ketahui oleh penduduk bani Sa'ad tentang adanya seorang calon nabi akhir zaman yang sedang berada di salah satu penduduk bani Sa'ad.  Keadaan yang demikian itu berlangsung sampai dua tahun dan kemudian Halimah menyapih Muhammad selama dua tahun itu.

Sedangkan keadaan Aminah sangat sedih ketika ia harus melepas putra satu-satunya, penghibur hatinya, buah hatinya. Perasaan itu dirasakan hampir dua tahun.  Sebenarnya beliau sangat berat berpisah dengan putra tunggalnya tersebut, namun keadaan dirinya yang tidak memungkinkan, dalam keadaan kurus dan air susunya tidak dapat keluar, untuk menyusui sang putra. Sebenarnya Aminah merasa keberatan dan ingin menolak, karena teringat akan perbuatan ibu-ibu pengasuh yang datang ke rumahnya lalu  keluar lagi. Sakit rasanya melihat para wanita-wanita tersebut yang meninggalkan begitu saja setelah mengetahui keadaan bayinya. Ibu Aminah sudah beralasan menolak maksud Halimah mangambil Muhammad sambil disertai suara tangis karena harus berpisah dengan putranya. Penolakan Aminah itu sudah dibantu oleh budaknya, Barokah Ummul Aiman, wanita Habsy yang berusia 24 tahun, yang seperasaan dengan Aminah dan sangat sayang kepada Muhammad. Akan tetapi Halimah terus menerus melihat Muhammad yang ada dalam pangkuan sang ibunya.  Halimah semakin tertarik dan cinta kepada Muhammad, lalu dengan sepontan ingin mendekati Muhammad dan menggendongnya untuk didekatkan ke dadanya. Bayi  Muhammad yang kecil itu merabah susu Halimah. Melihat ini, seperti kabiasaan wanita yang sedang menyusukan, Halimah langsung tanggap lalu menyusukan Muhammad yang kecil tersebut. Dengan enaknya beliau terus mengisapnya seperti biasa ketika menyusu kepada ibunya. Penyusuan yang dilakukan nabi Muhammad tersebut menarik hati Halimah, tidak menyakitkan bahkan dia semakin segar. Bayi Muhammad menyusu terus sampai puas.

Aminah ketika itu  tidak mencegah, dan akan senang apabila putranya suka menyusu pada Halimah. Oleh karena itu, setelah ada tanda-tanda kecocokan, kemudian Halimah memohon kepada Aminah supaya Muhammad bisa dibawa untuk diasuh dipegunungan bani Sa'ad. Aminah hanya bisa manjawab " bawalah dan susuilah, semoga kamu mendapat kebaikan dengan menyusuinya. Ketahuilah wahai ibu ! ketika saya (Aminah) mengandung selama 9 bulan, tiada berat bagiku, bahkan terasa enteng". Aminah pun kemudian bercerita saat dirinya mengandung dan di saat akan melahirkannya, adanya beberapa peristiwa  dan beberapa bisikan yang menyatakan bahwa bayinya adalah bayi yang kelak akan menjadi seorang yang terpandang dan termulia dimuka bumi ini. Sebenarnya Aminah ingin bercerita lebih banyak mengenai bayinya itu, namun terpaksa Aminah menghentikanya, mengingat semakin derasnya air mata yang bercucuran. Setelah mendengarkan keterangan sang ibu, hati Halimah semakin tertarik, dan tidak tahu kenapa dia semakin tertarik kepada Muhammad. Yang jelas Halimah sudah berubah niatnya di dalam mengasuh nabi, tidak mengharapkan lagi upah sebagaimana yang biasa dilakukan teman-temanya tersebut

Tidak terasa oleh Aminah, bahwa perpisahan tersebut telah berlangsung dua tahun. Tiba-tiba perasaan duka cita itu muncul kembali, karena kesepian ditinggal putranya, pergi kedaerah pegunungan bani Sa'ad. Dan duka cita itu bisa hilang ketika Aminah teringat akan masa disapihnya sang putra sudah dekat, sang putra akan dikembalikan kepada sang ibu. Untuk menghilangkan duka cita itu, beliau mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan putranya.

Aminah merasa,  bahwa kembalinya Halimah telah terlambat dalam membawa putranya. Rasa-rasanya Aminah ingin mengutus seseorang untuk pergi ke desa Bani Sa'ad, menyusul putranya, karena sudah cukup lama, dua tahun berpisah. Untunglah Halimah datang dengan membawa Muhammad yang ditunggu-tunggu. Begitu melihat putranya, Aminah langsung memeluk erat-erat, seakan-akan tidak ingin berpisah lagi. Setelah puas, barulah anak itu dilepasnya, kemudian sang ibu memandang dan menatap putranya dengan rasa kagum, karena nampak jelas tanda-tanda yang menunjukan, bahwa putranya sangat sehat, bagus, dan cepat besar.

Setelah Aminah puas melepas kerinduan kepada putranya, baru Halimah menceritakan berbagai hal mengenai perjalanannya selama mengasuh Muhammad. Dia juga bercerita mengenai cocoknya iklim pedesaan untuk perkembangan seorang anak kecil, dan sangat tidak cocoknya udara perkotaan untuk perkembangan seorang anak kecil. Halimah terus bercerita, sementara Aminah mendengankan dengan separuh perhatian, karena dia sibuk berbicara dengan putranya yang baru saja kembali. Dan tiba saatnya, Halimah memberanikan diri, menyampaikan dengan terus terang akan keinginannya untuk meminta kepada Aminah, supaya Muhammad dibiarkan turut bersamanya kembali ke desa sampai besar. Halimah khawatir kalau-kalau Muhammad sakit terkena udara Makkah yang sangat panas dan sangat bising itu.

Aminah yang pengasih tersebut seperti tidak percaya kepada pendengarannya. Beliau menoleh ke Halimah dengan sikap marah, bagaimana mungkin ia harus berpisah lagi dengan putranya untuk kedua kalinya, padahal putranya itu satu-satunya yang bisa menghilangkan kesedihan yang berkepanjangan, semenjak ditinggal sang suami.

Halimah mengetahui akan kemarahan Aminah, namun dia tetap berusaha mendapatkan dengan mengambil hatinya, agar Muhammad bisa dibawa ke desa, dengan alasan bahwa Muhammad belum siap hidup di alam yang panas dan penuh bising seperti Makkah. Alasan-alasan Halimah tersebut telah menggugah hati Aminah, lalu beliau memandang putranya kembali dan ternyata udara pedesaan benar-benar membuat putranya menjadi sehat dan kuat. Beliau merenungi nasib anaknya, yang harus dimenangkan, mengutamakan kebaikan putranya.

Akhirnya ibu Aminah memberangkatkan putranya ke desa untuk yang kedua kalinya. Beliau hanya bisa mengucapkan "Selamat jalan" kepada putranya dan orang yang menggendongnya, Halimah, yang menyusuinya. Dia hanya bisa menyaksikan putranya dibawa untuk yang kedua kalinya ke desa oleh Halimah, dengan harapan kelak Muhammad menjadi seorang pemuda yang cerdas, tangkas, sehat dan kuat. Halimah merasa senang dan gembira, ketika sang ibu Aminah mengabulkan permohonannya, membawa kembali  Muhammad ke desanya. Dan tidak terasa  bagi semuannya, lima tahun telah berlalu. Muhammad menjadi pemuda yang tampan, tegap, pikiran dan tubuhnya penuh dengan semangat untuk bekerja. Ia dapat berjalan sebelum teman-teman sebayanya dapat berjalan. Ia dapat dengan cepat berbicara dibanding dengan teman-teman seusianya. Setelah lima tahun, Muhammad diserahkan kepada ibunya, Aminah di Makkah.

 








Beberapa Kejadian Selama Bayi Muhammad diasuh Halimah

1. Operasi Dan Pembersihan Dada. Setengah riwayat mengatakan, setelah Muhammad dibawa ke pegunungan bani Sa'ad oleh Halimah yang ke dua kalinya,   telah terjadi peristiwa yang sangat berharga bagi Muhammad  dalam persiapanya sebagai calon utusan Allah, yaitu pembedahan dan pembersihan dada. Ketika itu, beliau sedang bermain dengan anak ibu Halimah, tiba-tiba saudaranya (anak Halimah) kembali ke rumah dengan berlari-lari, dan berkata kepada bapak-ibunya , " Saudaraku dari Quraisy itu telah diambil dua orang berbaju putih, dibaringkan, perutnya dibedah, sambil dibolak-balik". Halimah dan suaminya segera menjumpainya, begitu mendengar berita tersebut. Sesampai di sana, keduanya mendapati nabi Muhammad sedang berdiri dengan wajah pucat pasi. Lalu Halimah memeluknya, begitu juga suaminya, keduanya bertanya, "kenapa kamu nak ?". Beliau menjawab, "Aku didatangi dua orang berbaju putih, aku dibaringkan, lalu perutku dibedah, kedua laki-laki itu mencari sesuatu di dalamnya, aku tak tahu apa yang dicarinya". Setelah itu, Aminah dan suaminya membawa kembali ke rumah, keduanya ketakutan, kalau-kalau anak itu kesurupan, maka cepat-cepat keduanya membawa nabi Muhammad ke rumah.

Sesampai di rumah, suaminya berkata, "Wahai Halimah, saya khawatir kalau-kalau anak itu terkena musibah, oleh karena itu cepat- cepat kamu bawa dia kembali kepada orang tuanya, sebelum benar musibah itu terjadi". Halimah membawa nabi Muhammad ke Makkah, untuk diserahkan kepada orang tuanya. Ketika anak itu diserahkan, Aminah berkata, "Wahai Halimah, saya heran baru saja kamu membawa anakku, tapi kenapa kamu serahkan kembali ?!". Jawab Halimah "Wahai Aminah sudah waktunya saya harus mengembalikan anak ini kepadamu, sebab saya takut kalau-kalau akan terjadi sesuatu terhadapnya". Jawaban itu tidak memuaskan hati Aminah, maka ia  terus mendesaknya, kenapa Halimah takut akan kejadian-kejadian. Akhirnya Halimah bercerita mengenai kejadian  yang dialami anak asuhnya ini, mulai dari awal sampai akhir. Aminah mendengarkan cerita Halimah tanpa rasa khawatir, lalu Aminah bertanya, "Apakah kamu mengkhewatirkan, kalau putraku akan digoda oleh syaitan ?. "Ya, saya takut, kalau-kalau Muhammad telah digoda syaitan", jawab Halimah. Aminah berkata, "Tidak, demi Allah, Muhammad tidak akan dapat digoda oleh syaitan. Maukah kamu saya beri kabar, tentang diri Muhammad, baik sebelum lahir sampai dia lahir". "Baiklah saya akan senang hati mendengarkanya", kata Halimah. lalu Aminah pun bercerita,  " Ketika mengandungnya, saya bermimpi melihat cahaya terang benderang keluar dari diriku, dan menyinari istana Persia dan Syam". Dan selama mengandungnya saya belum pernah merasakan berat, oleh karena itu janganlah kamu takut akan kejadian-kejadian yang dapat mencelakannya, sebab Muhammad pasti terjaga keamanannya. Dan sekarang bawalah dia ke desamu, agar kelak menjadi pemuda yang sehat". Demikianlah, akhirnya Halimah  membawa nabi Muhammad kembali ke desa, maka Halimah membawa nabi Muhammad Ke rumahnya di pegunungan bani Sa'ad, sampai beliau berusia 5 tahun dan diserahkan kapada Aminah, ibu nabi Muhammad.

2. Niat Jahat Terhadap Nabi Muhammad. Khabar akan datangnya seorang nabi akhir zaman,  sudah lama terdengar baik oleh para pemeluk agama Nasrani maupun oleh pemeluk agama Yahudi yang tercantum di dalam kitab agama keduanya. Keduanya menghendaki agar nabi tersebut lahir dari golongan atau bangsanya. Dan ketika mereka mengetahui bahwa nabi akhir zaman yang ditunggu-tunggunya lahir bukan dari golongan atau bangsanya, maka diam-diam kedua bangsa itu merasa tersinggung dan merasa akan jatuh derajatnya, sebab kalau benar-benar bukan dari bangsanya maka mereka harus tunduk dan siap diperintah nabi bukan dari bangsanya. Karena sebab kemulyaan bangsanya itulah, mereka mencari nabi akhir zaman yang baru lahir tersebut untuk dibunuh atau diajak kompromi. Seperti orang-orang Yahudi, bahwa mereka juga mencari-cari akan lahirnya seorang bayi yang diyakini kelak menjadi nabi akhir zaman dengan berkeliling ke pelosok tanah Arab.

      Menurut salah satu riwayat, bahwa serombongan kaum  Yahudi  telah berpapasan  dengan Halimah dan suaminya serta rombongan dari keluargabani Saidah yang baru saja mengambil bayi-bayi milik penduduk Makkah. Mereka mengamati bayi yang berada digendongan Halimah. Akhirnya  mereka jadi tertarik, apalagi waktu itu Halimah sambil cerita mengenai keberkahan semenjak dia mengambil bayi Muhammad, sehingga salah satu dari mereka berkata kepada yang lain. "Mari kita bunuh saja anak ini !". Untunglah pada saat mereka bertanya, " Apakah dia ini anak yatim ?". Halimah segera manjawab, " dia bukan anak yatim, tapi anak saya". Seketika orang-orang Yahudi pergi dari hadapan Halimah dan suaminya, sambil berkata, "Sekiranya dia anak yatim pasti akan kami bunuh,".

Peristiwa percobaan pembunuhan terhadap nabi Muhammad tersebut terulang kembali, manakala Halimah hendak menyerahkan nabi  Muhammad kepada ibunya untuk yang kedua kali, bertepatan dengan pembedahan nabi Muhammad. Tetapi Setelah pembedahan itu, Halimah merasa khawatir kalau-kalu Muhammad terkena penyakit, lalu dia cepat-cepat mengembalikan putra asuhnya kepada Aminah di Makkah. Dalam perjalanan ke Makkah dia bertemu dengan orang-orang Nasrani dari Ethiopia. Mereka sangat tertarik begitu melihat nabi Muhammad, lalu menghampiri Halimah, sambil berkata kepada yang lainya, "Marilah kita ambil anak ini, lalu kita persembahkan kepada raja !". Halimah yang merasa bertanggungjawab atas keselamatan nabi Muhammad, lalu melarikan diri cepat-cepat kembali ke kampungnya, dengan harapan kalau mereka mengejar, maka kaumnya akan membelanya. Dengan rasa gembira, Halimah menyelamatkan putradan tidak dikejar lagi oleh orang-orang Nasrani.

3. Hilang di Dalam Perjalanan Pulang. Sewaktu Halimah  mengembalikan nabi kepada ibunya di Makkah, dalam perjalanan itu, Halimah mengalami suatu peristiwa, yaitu hilangnya nabi Muhammad. Walau pun sudah dicari kemana-mana, tetapi tidak ditemukan, sehingga hal itu diberitahukan kepada Abdul Mutholib,  sang kakek. Kemudian Abdul Mutholib pergi ke Makkah, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya cucunya dikembalikan kepadanya. Kejadian hilangnya nabi Muhammad ini mengundang perhatian penduduk Makkah, mereka juga ikut mencari Nabi Muhammad. Tidak lama berselang, nabi Muhammad ditemukan oleh dua orang; Waroqoh Bin Nufail dan temanya.  Keduanya mengantarkanya kepada  Abdul Mutholib. Rasa syukur Abdul Mutholib atas ditemukanya nabi, yang lantas dibawa ke Ka'bah, sambil berdo'a, semoga Tuhan melindungi cucunya, setelah itu nabi Muhammad diserahkan kepada ibunya. Sejak itu nabi Muhammad tinggal bersama ibunya dengan pengawasan kakeknya Abdul Mutholib.

 

Aminah Meninggal Dunia

Rasa puas dan bahagia bagi ibu Halimah sekeluarga terpenuhi, karena lima tahun hidup penuh keberkahan yang terbawa oleh adanya putra Aminah, bayi Muhammad hidup bersamanya. Dan sudah saatnya Halimah mengembalikan bayi  Muhammad kepangkuan ibunya di Makkah. Kedatangan Halimah dan bayi Muhammad disambut dengan hati gembira, terutama bagi sang ibu Aminah, yang hampir lima tahun hidup dengan tanpa kegembiraan, semenjak sepeninggal suaminya, Abdullah dan kepergian putranya, Muhammad ke pegunungan bani Sa'ad. Dengan kembalinya Muhammad kepangkuanya, Aminah merasa terobati luka kesedihan yang terpendam selama 6 tahun, karena itu ibu Aminah tidak putus-putusnya bercerita kapada putra tunggalnya tentang ayahnya yang sudah berpulang, ketika dia masih dalam kandungan, juga mengenai sifat-sifat sang ayah, berita penebusanya, dan bagaimana ayahnya menjadi tumpuan harapan yang besar.  Segala kasih sayang Aminah dicurahkan semuannya kepada nabi, baik penjagaan maupun pemeliharaan, karena Muhammad adalah satu-satunya harapan dan tempat menggantungkan cita-cita sang ibu. Selama hampir satu tahun, bayi Muhammad hidup bersama sang ibu Aminah. Dengan pemeliharaan dan penjagaan Allah, maka nampak gejala-gejala kedewasaannya yang cepat. Aminah melihat pada putranya yang berumur kurang dari enam tahun, sudah nampak gejala-gejala orang besar, maka sang ibu tidak henti- hentinya bercerita mengenai sang ayah dan keluarga- keluarganya, yang merupakan orang-orang terhormat dikalangan kaumnya.

       Tepat di musim panas, dimana rombongan dagang sudah biasa berangkat berdagang menuju ke Syam, Aminah berniat mengajak putranya untuk mewujudkan keinginannya yang selama enam tahun dipendam dalam hati, pergi ke Yasrib untuk berziarah ke makam suaminya, Abdullah bin Abdul Mutholib. Ajakan sang ibu tersebut disambut dengan rasa gembira. Di samping berziarah kemakam suaminya, Aminah akan berkenalan dan berjumpa dengan sanak saudara dari sang kakek yang tinggal di Yasrib. Ibu Aminah menyadari, bahwa perjalanan yang akan dijalani adalah sangat berat, terutama bagi anak Muhammad karena keduanya akanmenempuh perjalanan sejauh kurang lebih 45 KM,  akan tetapi keinginan berziarah ke makam suaminyalah yang menjadi sebab kunjunganya. Beberapa hari kemudian rombongan dagang kafilah Quraisy berangkat ke Syam. Maka Aminah bersama putranya dan Ummu Aimah bergabung dengan Kafilah yang mulai bergerak ke arah utara.

Makin lama Aminah berjalan,  semakin jauh jua ia meninggalkan Makkah.  Ia meninggalkan kampung halaman, ayah-bundanya dan lingkungan kerabatnya. Perjalan yang memakan waktu berhari-hari tersebut dihabiskan Aminah dengan bayang-bayang Abdullah, sang suami yang sudah berbaring sejak 6 tahun yang silam. Disaat para kafilah sedang tidur malam, Aminah duduk membelai-belai putranya dan memeluknya, sambil melinangkan air mata. Alam pikiranya melayang-layang ketempat tujuan, ingin cepat sampai. Hancur luluh hati Aminah memikirkan nasib Abdullah, dirinya dan putranya. Lamunan dan bayangan-bayangan itu hilang ketika kafilah telah sampai didekat gunung Uhud, tidak lama kemudian Aminah, putranya dan Ummu Aiman tiba di Yasrib, menginjakan kaki di atas tanah tempat Abdullah merantau ke alam baka.

Sesampai  di Yasrib, kafilah beristirahat sebentar sambil menambah perbekalan yang diperlukan dalam perjalanan lebih lanjut. Lalu rombongan kafilah mulai bergerak lagi meninggalkan Aminah dan putranya ditengah keluarga bani An-Najjar menuju syam.

Sepeninggal rombongan, Aminah tinggal beberapa saat di Yasrib, berpuas diri menumpahkan air matanya didekat makam Abdullah. Sebenarnya Aminah ingin tinggal disana untuk salama-lamanya, akan tetapi hal itu tidak mungkin ia lakukan, karena putranya adalah keturunan bani Hasyim dan dirinya adalah bukan penduduk asli Yasrib. Dan setelah tiba waktunya  kembali ke Makkah, pada hari yang ditentukan, Aminah berangkat bersama rombongan dagang yang hendak ke Makkah. Ketika mereka berada di tengah-tengah padang sahara, tiba-tiba bertiup angin kencang, menampar rombongan yang sedang dalam perjalanan, dengan disertai temperatur suhu udara yang sangat panas, sehingga dapat membakar kulit-kulit manusia. Selain itu, badai  telah menerbangkan pasir-pasir di sekeliling mereka, bagai bunga api yang menyala-nyala. Oleh karena itu, perjalanan terpaksa dihentikan beberapa hari, menunggu teduhnya angin puyuh itu. Setelah reda, barulah perjalanan dimulai kembali. Bersamaan dengan itu,  Aminah merasa badannya sangat lemah, tidak kuat, akibat beratnya beban menahan siksa batin, ditinggal sang suami.

Aminah hanya dapat merasakan lemah seluruh tubuhnya, merasakan hendak menyusul suaminya, namun perasaan itu ditekannya kuat-kuat, karena hatinya telah tertambat pada puteranya yang memerlukan didikan dan bimbingan. Akhirnya Aminah tidak mampu menolak takdir Allah, Tuhan Penguasa Alam Semesta, kembali ke hadirat-Nya pada saat memeluk puteranya, Muhammad yang baru berumur 6 tahun. Nabi Muhammad waktu itu belum memgetahui, bahwa ibunya sudah meninggal, dan baru bengetahui ketika Ummu Aiman memberi penjelasan akan kemangkatan ibunya. Tiada kata-kata yang terucap dari mulut Ummu Aiman dan Muhammad, kecuali isak tangis sambil memeluk ibu Aminah.   Muhammad  hanya mampu memandang sang ibu yang sudah mulai dibungkus oleh Ummu Aiman dengan kain seadanya, setelah itu beliau mengikuti pelayannya dengan menundukkan muka dan menyerah. Keduanya membawa mayat Aminah menuju ke desa Abwa' untuk dipersiapkan ke pembaringannya yang terahir.  Ketika jenazah hendak dimakamkan, tiba-tiba Muhammad menangis sambil merangkul tubuh ibunya, seakan-akan tidak ingin ibunya di tanam. Para pelayat yang menyaksikannya, menjadi terisak-isak, karena merasa kasihan dan terharu. Anak itu dibiarkan untuk sesaat memeluk ibunya, baru kemudian dibujuk dengan lemah- lembut lalu menjauhkannya dari ibunya; seterusnya mereka membaringkan ibu Aminah ke dalam liang lahat.

    Peristiwa meninggalnya Aminah, bagi  Muhammad merupakan penderitaan yang pahit. Begitu keluaga  yang ada di Makkah, khususnya Abdul Muthlib dan keluarga dekatnya merasa kehilangan dan kasihan. Bagaimana tidak kasihan, sebab Aminah harus meninggalkan puteranya dalam keadaan yatim piatu. Inilah takdir Allah yang menghendaki Aminah harus pergi meninggalkan putera dan keluarga dekatnya, menyusul sang suami, Abdullah. Peristiwa ini satu dari perjalanan nabi Muhhamad yang harus dilaluinya sebagai calon pesuruh Allah. Pada prinsipnya, Tuhan Yang Maha Esa hendak melepaskan sekalian pengaruh dalam diri Muhammad akan didikan ayah-Ibunya. Dan Tuhan sendiri yang hendak mendidik nabi Muhammad, supaya siap memikul tugas-tugas-Nya yang sangat berat dan besar.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar