Jumat, 23 Oktober 2020

JUNAID AL-BAGHDADI - (97)

 


Abul Qasim Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nahwandi al-Baghdadi dilahirkan di Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya, dan meninggal dunia pada tahun 297 H/910 M. Ia merupakan tokoh sufi terkemuka yang menghabiskan hidupnya hanya untuk beribadah.  Ia juga dikenal sebagai Syekh atau penghulu kaum sufi.

Ayah Syekh Junaid al-Baghdadi adalah seorang pedagang pecah belah. Sedang ibunya ialah saudara kandung perempuan Sarri al-Saqathi. Ia telah belajar kepada Harits al-Muhasibi,  seorang sufi terkemuka di zamannya. Ia seorang berpendidikan yang menguasai ilmu fikih atas mazhab Abi Tsaur. Dalam usia 20 tahun, ia telah  memberikan fatwa dan bahkan jauh sebelum itu pada umur 7 tahun, ketika ia ditanya tentang arti syukur, secara tepat ia menjawab; “Jangan sampai anda berbuat maksiat dengan nikmat yang diberikan Tuhan”.

Dalam kehidupan sehari-harin, di samping sebagai sufi besar yang selalu dikerumuni pecinta ilmu ini ia memberikan pelajaran agama kepada mereka. Junaid juga berusaha melanjutkan usaha dagang orang tuanya.  Sehabis memberikan pelajaran, dia pergi ke pasar membuka toko. Apabila sudah waktu tutup. Tokonya ditutup dan ia kembali ke rumah untuk melaksanakan ibadah sebanyak-banyaknya, hingga konon ia mampu melaksanakan shalat sebanyak 400 rakaat dalam sehari semalamnya.

Junaid benar-benar seorang ahli ibadah yang tidak mengenal rasa lelah. Walaupun dalam keadaan sakit, ia  masih tetap mengerjakan sembahyang fardhu dan sunnat, sekalipun harus dilakukannya dengan berbaring. Di antara shalat dan membaca al-Qur’an itulah akhirnya al-Junaid menghembuskan nafas terakhir. Jasadnya dibawa ke masjid dan dishalati oleh lebih dari 60.000 ummat Islam dan dikuburkan di samping kubur pamannya, Sarri al-Saqathi. Kuburnya selama lebih dari sebulan dalam keadaan ramai diziarahi oleh penziarah siang dan malam.

Ajaran tasawuf al-Junaid bertolak dari dasar dan penegak syariat secara tegar dan tangguh. Hal itu tampak jelas dalam kehidupan dan pelajaran-pelajaran yang diberikannya. Tasawuf bagi al-Junaid tidak lain adalah berbudi pekerti yang baik dan meninggalkan budi pekerti yang buruk. Baik buruknya sesuatu diukur dengan syariat, karenanya tasawuf harus berdasar pada syariat itu sendiri. Baginya, tasawuf yang meninggalkan syariat adalah tercela dan tidak boleh diikuti.

Menurut al-Junaid, amaliah seorang sufi harus memenuhi  tiga rukun amal. Pertama, melazimi zikir yang tidak pernah henti bersama himmah dan kesadaran yang penuh. Kedua, mempertahankan tingkat kegairahan (wajd) yang tinggi. Ketiga, selalu melaksanakan syariat secara tepat dan ketat. Lebih jauh al-Junaid menjelaskan: “Tasawuf kami diambil bukan dari ujar-ujar dan perbincangan, tetapi adalah diambil dari perut yang lapar, meninggalkan dunia dan memutuskan hubungan dengan dunia ramai beserta  segala keindahan  dan sukarianya, karena tasawuf berasal dari kebersihan dan kemurnian hubungan dengan Allah semata”.

Ajaran tauhid Junaid begitu sederhana dan sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh ahli ilmu kalam. Ia menyatakan bahwa tauhid adalah memisahkan Zat yang qadim dari yang hadis (baharu). Sedang arti tauhid bagi al-Junaid adalah: “Mengesakan Allah dengan sesempurn-sempurnannya keesaan.  Allah adalah Maha Esa,  tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berbilang dan tidak bersusun. Tidak ada yang serupa dengan Dia dan Dia tidak menyerupai sesuatu. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat”. Tauhid al-Junaid adalah tauhid berdasarkan tanzih dan taqdis sehingga tauhid itu merupakan ilmu dan pernyataan kita bahwa Dia sendiri saja Yang Maha Esa, Maha Tidak Terbatas. Sedang selain Dia adalah berbilang,  amat terbatas dan baharu.

Beberapa orang murid syekh Junaid  yang menjadi tokoh besar dan terkenal pula dalam dunia tasawuf, seperti Abu Bakar al-Aththaar, Abu Muhammad al-Djurairi dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar