Jumat, 23 Oktober 2020

ABU YAZID AL-BUSTHAMI - (68)

 

 

Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Bustham dilahirkan pada tahun 188 H di Bustham Khurasan, Persia dan meninggal dunia di Bustham pada tahun 261H/ 874. Ia dikenal sebagai salah seorang sufi dan wali terkenal di Persi (Iran) pada abad 3 H.

Al-Busthami berasal dari lingkungan keluarga terhormat dan terpelajar. Ayahnya, Isa bin Surusyan, adalah pemuka masyarakat di Bistam, sedangkan Ibunya dikenal sebagai wanita zahidah (orang yang meninggalkan keduniawian). Kakeknya, Surusyan sebelum memeluk Islam adalah penganut Majusi.

Pada mulanya Al-Busthami mempelajari fikih Mazhab  Hanafi. Kemudian ia mendalami tasawuf, terutama mengenai tauhid dan hakikat (at-tawhid wa al-haqa’ iq) di samping pengetahuan tentang fana. Sebagaian besar kehidupannya sebagai seorang sufi dan abid (orang saleh) dijalaninya di Bustham. Ia terpaksa meniggalkan kota kelahirannya beberapa waktu lamanya untuk menghindari tekanan ulama mutakallim (teolog) yang memusuhinya.

Al-Busthami tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pengalaman tasawufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawuf klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah (Risalah Qusyairiyyah), Kasyf al-Mahjub (Menyingkap Tabir), Tazkirah al-Auliya’ (Peringatan Para Wali), dan al-Luma’ (Yang Cemerlang).

Al-Busthami dipandang sebagai seorang sufi pertama yang memunculkan ajaran fana` dan baka` untuk mencapai ittihad (persatuan) dengan Tuhan. Dengan fana, seseorang akan meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, sedangkan dengan baka` ia tetap bersama Tuhan.

Menurut Abu Yazid Al-Busthami, wali Allah itu ada tiga macam, yaitu seorang zahid karena zuhudnya, seorang ‘abid karena Ibadanya, dan seorang ‘alim karena keilmuannya. Dan dia sendiri menjalani jalan yang pertama. Selama 30 tahun ia berkelana di padang pasir Syria, hidup sebagai seorang zahid, sedikit makan, sedikit minum, dan sedikit tidur.

Abu Yazid  pernah ditanya, “ Dengan apa kami mencapai makri’at mu !”. Jawabnya, “Dengan perut yang lapar dan tubuh yang jelek”.

Pendapat Abu Yazid tentang karamah dan kewalian, “Jika kamu meliat seseorang yang telah diberi karamah sampai dia bisa terbang di udara sekalipun, maka janganlah kamu lekas tertipu dengannya, sehingga kamu dapat menilai kesungguhannya dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dalam menjaga batas-batas hukum-Nya, dan dalam melaksanakan syariat-Nya”. Pada kesempatan lain, dia pernah bercerita, “Saya pernah  bercerita, “Saya pernah pergi  mengunjungi orang yang terkenal dengan kewaliannya. Dia terkenal dengan kezuhudannya, lalu saya datang mengunjunginya. Ketika saya lihat dia keluar dari rumah dan masuk masjid, dia meludah ke arah kiblat, maka saya berpaling dan tidak mengucapkan  salam kepadanya, karena dia tidak dapat dipercaya dan kurang perpegang teguh dengan adab-adab Rasulullah. Jika demikian, bagaimana mungkin kewaliannya dapat dipercaya”.

Dalam ajaran tasawuf Abu Yazid  terkandung falsafah hulul dan ittihad, yang kadang-kadang diungkapkannya dalam cerita-cerita yang mengandung ibarat (metaforis), misalnya ia mengatakan, “Ular tak dapat dilihat zatnya, karena ia terbungkus dengan sifatnya (kulitnya ). Apabila ular itu terpisah dari kulitnya, barulah kelihatan ular yang sebenarnya. Lantas ular itu dapat mengatakan : Akulah ular. Tuhan merupakan suatu Zat, sedangkan manusia tidak dapat berkata bahwa ia ada, karena hanya merupakan sifat belaka, sama halnya dengan kulit ular”.

Tasawuf Al-Bustami dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya. Mereka  membentuk satu aliran tarekat yang bernama Thaifuriyah. Nama itu diambil dari nisbah al-Bustami, yaitu Thaifur. Pengaruh tarekat ini masih terasa dan dapat disaksikan di beberapa dunia Islam, seperti di Zousfana, Maghrib (meliputi Maroko, Aljazair, dan Tunisia), dan di Chittagong, Banglandesh. Mereka membangun tempat-tempat suci untuk memuliakan Abu Yazid Al-Busthami.

Makam al-Bustami yang terletak di tengah kota Bistam dijadikan obyek ziarah masyarakat yang mempercayainya sebagai seorang wali atau orang suci. Pada tahun 713 H/ 1313 M Sultan Mongul, Muhamad Khudabanda, membangun sebuah kubah di atas makam al-Bustami untuk memenuhi saran penasehat agama Sultan, yaitu Syekh Syarafuddin, yang mengaku masih keturunan sang wali tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar