Kamis, 22 Oktober 2020

MARYAM, Ibunda Nabi Isa Al-Masih - (37)

 

 

Nasab Maryam binti Imran

Allah Swt. Telah memilih pemimpin dan petunjuk bagi hamba-hamba-Nya, dimana merekalah yang akan menyelamatkan dan mengangkat manusia dari lembah kesyirikan. Perintis-perintis tersebut laksana rantai yang saling mengkait. Mereka dipilih untuk menerima risalah Ilahi, salah satunya adalah keluarga Imran, yang menurunkan seorang wanita shalihah bernama Maryam.

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (yaitu) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Ali ‘Imran: 33-34)

Tidak diragukan lagi, bahwa keturunan/nasab Maryam adalah nasab yang bai, ayah dan kakeknya adalah keluarga yang ditakdirkan Allah sebagai keluarga yang beriman kepada Allah. Dan salah satunya adalah Maryam yang kemudian menurunkan seorang nabi yaitu Isa al-Masih.

Sebelum Maryam dilahirkan, ayah dan ibunya tergolong keluarga yang taat beribadah kepada Allah. Padahal, itu, merupakan masa yang penuh dengan kecemasan dalam pemerintahan. Moral penduduk sangat bejatnya, begitu juga dengan para penguasanya. Hal ini dikarenakan, mereka (Bani Israil) sudah keluar batas nalurinya, baik dengan agamanya, maupun perilaku ahlaknya.

Imran dan istrinya sudah lama menjadi suami istri namun keduanya belum dikaruniai seorang anakpun, oleh karena itu keduanya tetap mengharapkan kepada Allah dengan doa-doa yang tiada berhenti dipanjatkan.

Siang menjadi angan-angan, malam menjadi buah mimpi, sehingga sudi dan rela hatinya mengorbankan apa saja yang ada padanya asal saja dia dapat beroleh seorang anak yang terdiri dari darah dagingnya sendiri. Anak, sekali lagi anak dan seterusnya anaklah yang menjadi impian dan idamannya sepanjang masa.

Siang berganti malam, malam berganti bulan, bulan berganti tahun dan sudah berpuluh-puluh tahun konon lamanya, cita-cita ini menjadi cita-cita saja, namun keduanya belum juga beroleh yang dicita-citakannya. Hatinya mulai kesal, rasa putus asa mulai bertunas dalam kalbunya karena umur yang dicapainya ini rasanya tak memungkinkan lagi untuk beroleh anak, pikirnya. Tidaklah berarti bahwa cita-citanya itu telah padam. Malah bertambah hebat dan bernyala-nyala juga. Keduanya hanya menghadapkan muka dan seluruh jiwa raganya kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang menjadikan langit dan bumi. Berdoalah kedunya dengan khusyuk agar kiranya Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih, yang mendengar segala doa, yang sanggup membuat apa kehendak-Nya, mengaruniainya jua seorang anak.

Untuk menguatkan doanya ini, Imran dengan istrinya sepakat bernazar, berjanji kepada Allah, tempat meminta itu, bahwa bila doanya ini terkabul, anak yang diperolehnya itu, akan didermakan bulat-bulat tanpa syarat untuk Rumah Suci Baitulmaqdis, sebagai abdi Allah dan pengawal Rumah Suci itu. Tidak akan dipekerjakan, selain untuk mengabdikan diri dan menyembah Allah semata di tempat suci itu.

Allah mendengar dan mengabulkan doa suami istri yang sudah tua itu. Keduanya menjadi girang dan senang hatinya. Dunia yang mulanya gelap gulita dan lapuk dalam pandangannya, penuh dengan cahaya terang benderang. Hilang rasanya segala pandangan gelap dan kegelisahan hatinya selama ini.

Duduklah sang istri di amping suami (‘Imran) dan menerangkan apa yang terasa dalam kandungannya itu. Dari mata suaminya yang sudah tua itu terpancarlah cahaya kegembiraan yang kilau-mengilau, diiringi oleh beberapa tetes air mata tanda kegembiraan yang tak terhingga hebatnya.

Tetapi…, riang dan sedih tidak ada yang kekal di atas dunia ini. Dalam keadaan riang gembira yang penuh nikmat itu, seakan-akan berada dalam mimpi, menunggu-nunggu kelahiran seorang putra yang sudah lama dicita-citakan itu, tiba-tiba kegembiraan dan kenikmatan perasaan itu berganti dengan rasa sedih dan pilu karena suaminya yang tua dan dicintainya itu berpulang ke rahmatullah, menemui Allah, sebelum sempat melihat anak yang ditunggu-tunggu dan diidam-idamkannya itu.

Tinggallah perempuan tua itu seorang diri. Diselubungi oleh perasaan sedih dan pilu, ditinggalkan suami yang sangat dicintainya, sekalipun dalam dadanya penuh harap dan gembira, bersemi pula memenuhi kalbunya menanti-nanti kelahiran sang bayi kandungannya, yang sudah sekian lama diidam-idamkannya.








 

Maryam dilahirkan

Belum pernah kiranya manusia di dunia ini yang diserang rasa sedih dan pilu bersamaan waktunya dengan perasaan gembira dan nikmat, seperti perempuan tua, janda ‘Imran ini. Dan dengan perasaan sedih bercampur gembira dan harap itu, dia merasakan bahwa dia sudah dekat dengan bersalin. Segala sesuatu disiapkannya, lalu lahirlah bayi yang dikandungnya. Namun dia terkejut, karena yang dilahirkan ternyata bayi perempuan. Dia memohon maaf kepada Allah – Allah Maha Mengetahui. Karena perasaannya keseluruhan bersama bayi laki-laki yang kiranya dapat untuk berkhidmat di tempat peribadatan. Tidak menyangkal sumpah dan nazarnya. Kemudian dia menyatakan kepada Allah bahwa dia telah memberi nama bagi bayi perempuan yang lahir dengan benteng penjagaan Allah yang kokoh itu dengan turunannya, agar dijauhkan dari godaan dan bisikan setan.

“Ingatlah, ketika istri ‘Imran berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang salih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Maka tatkala istri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang perempuan dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkan itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku melindungkannya serta anak-anak keturunannya kepada (pemelihara) Engkau daripada setan yang terkutuk.” (Q.S. Ali ‘Imran: 35-36).

Nazar mereka diterima oleh Allah, doa mereka dikabulkan dan diberkahi anak tersebut sebagai tanda jasa bagi dua orang tua yang taat dan patuh, dan dijaganyalah mereka itu dengan ‘inayahnya.

Dia sudah menazarkan anaknya yang bernama Maryam itu untuk menjadi abdi di Rumah Suci. Tetapi dapatkah gerangan seorang perempuan menjadi abdi di Tempat Suci? Bukabkah perempuan itu tidak disamakan dengan laki-laki? Dia sangat khawatir dan gelisah, kesedihan dan kegelisahan yang tidak kurang hebatnya dari kesedihan dan kegelisahannya di kala suaminya meninggal dunia.

Tetapi apakah daya, selain memohon dan menyerah ke hadirat Allah, berdoa petang dan pagi dengan tak putus-putusnya, agar anaknya diterima Allah menjadi abdi Rumah Suci, seperti yang dinazarkannya itu. Semua doanya itu dijawab Allah dengan jawaban yang sebaik-baiknya. Kepadanya diilhamkan Allah bahwa nazarnya itu akan dikabulkan Allah, anaknya itu akan diterima sebagai abdi di Tempat Suci Batulmaqdis.

 

Maryam menjadi penghuni Baitul Maqdis

Dengan diam-diam, pada suatu malam anaknya yang masih kecil itupun dibungkusnya baik-baik dengan kain, digendongnya dan dia lalu berjalan menuju Baitul Maqdis, tempat Suci. DI tempat Suci itu ditemuinya semua pendeta yang menjadi pegawai Tempat Suci itu. Kepada pendeta-pendeta itu dia berkata: “Anak perempuan ini aku serahkan kepada Tuan-Tuan, karena saya sudah bernazar untuk menyerahkan anakku ini menjadi abdi Rumah Suci ini.”

Alangkah tabah hati perempuan ini. Dia baru saja kehilangan suami, sekarang anaknya yang hanya seorang, yang diidam-idamkan dan dicita-citakannya berpuluh tahun lamanya itu,diserahkannya pula untuk Tempat Suci memenuhi nazarnya; karena taat akan janji dan nazar yang sudah diucapkannya ke hadirat Allah Swt.

Dia segera pulang ke rumahnya, meninggalkan anak kandungnya. Bukan air mata yang tercurah dari matanya setiap dia teringan akan anaknya, atau dia mendengar berita yang dibawa orang lalu tentang keadaan anaknya itu, tetapi dia bersyukur memuji Allah dengan hati yang tenang dan sabar. Tidak pernah dia mengeluh dan menyesal.

Maryam sekarang berada di tengah-tengah para pendeta di Tempat Suci Baitul Maqdis. Masing-masing pendeta ingin agar dia sendirilah yang menjadi pengasuh dan pemelihara Maryam. Berbagai alasan yang mereka kemukakan, untuk mendapatkan keinginannya terhadap Maryam. Ada yang berkata karena berdekatan kampung dengan Maryam, ada pula yang mengemukakan alasan karena berdekatan hubungan kekeluargaan dan famili, ada pula alasan lain yang mengatakan bahwa bapak Maryam itu adalah guru dan pemimpinannya sendiri. Timbullah pertengkaran antar pendeta dengan pendeta, untuk mendapatkan Maryam yang masih bayi itu .

Yang paling keras dan kuat alasannya diantara para pendeta itu ialah seorang tua yang bernama Zakaria (Nabi Zakaria): “Serahkanlah pengasuhan dan pemeliharaan Maryam kepada saya”, kata Zakaria “sayalah yang paling berhak menjaga dan mengasuhnya, karena sayalah yang paling dekat hubungan kefamilian dengannya, karena saya adalah suami dari bibinya Maryam.”

Pendeta-pendeta yang lain pun tidak kurang-kurangnya mengemukakan alasan-alasan mereka pula, sehingga pertengkaran dan perdebatan semakin sengit, soal jawab semakin hebat. Semua ingin menjadi pengasuh Maryam, semua ingin memberikan baktinya terhadap Allah Swt.

Karena tidak seorang jua diantara para pendeta itu yang mau mengalah, akhirnya mereka bersepakat akan mengadu peruntungan masing-masing dengan undian. Mereka lalu berangkat menuju salah sebuah sungai, dimana mereka akan melemparkan potlotnya masing-masing ke sungai itu dengan perjanjian, potlot siapa yang tak tenggelam, maka dialah yang berhak menjadi pengasuh Maryam.

Setelah undian itu dilakukan, maka terbuktilah bahwa potlot Zakaria saja yang tak tenggelam, maka para pendeta itupun relalah sekarang menyerahkan Maryam kepada Zakaria, untuk diasuh dan dibesarkan. Zakaria seorang tua yang belum pernah mempunyai anak, cintanya terhadap Maryam bukan alang kepalang. Segala sesuatu yang dapat menggembirakan hati Maryam, disediakan sebaik-baiknya dan secukup-cukupnya. Segala keperluan Maryam, dia sendirilah yang mengurusnya, baik urusan yang kecil-kecil, apalagi urusan besar-besar. Seorang manusia lain, siapapun, tidak diizinkan menghampiri Maryam.

“Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang kami wahyukan kepada kamu (Muhammad); padahal kamu tidak hadir bersama mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa diantara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.” (Q.S. Ali ‘Imran: 44).

Maryam ditempatkannya di salah sebuah bilik yang besar, di tingkat atas dalam Rumah Suci itu, sedang di bawah bilik itu adalah mihrab nabi Zakaria sendiri, dimana nabi Zakaria setiap waktu beribadah dan mengajar agama kepada setiap orang yang datang belajar kepadanya. Tidak seorang pun juga manusia dapat masuk ke dalam bilik Maryam, dengan tidak melalui tangga di mihrabnya itu, sedang tangga itu dijaganya sebaik-baiknya dan serapi-rapinya.

Zakaria merasa senang dan tak pernah merasa lelah menjaga dan mengasuh Maryam serapi itu, karena hal itu berarti menjalankan amanat Allah. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun lamanya, sehingga keadaan Maryam semakin lama semakin besar juga.








 

Kejadian Aneh

Kemudian dijamin dan dipeliharalah Maryam oleh Zakaria, yang mana tampak olehnya pada diri Maryam tanda-tanda teguh dalam beribadah serta berkahnya yang melimpah kepada orang-orang sekelilingnya.

Pada suatu seketika Zakaria seperti biasa masuk mihrab dan menemui Maryam di kamarnya. Tiba-tiba dia melihat makanan terletak di pintu masuk kamar Maryam. Alangkah terkejutnya dia melihat makanan itu, siapakah gerangan yang telah membawa makanan itu ke dalam kamar Maryam dengan tiada seizin dan setahu Zakaria sendiri?

Zakaria amat gelisah memikirkan kejadian ajaib itu, tetapi untuk sementara dibiarkan saja. Tetapi dia berjaga-jaga, kalau-kalau ada orang masuk dengan cara sembunyi-sembunyi. Keesokan harinya dia masuk pula ke kamar Maryam dan didapatinya pula di tempat itu makanan yang baru lagi, lain dari makanan yang sebelumnya. Penjagaan makin diperkuatnya. Lusanya kembali dia melihat makanan yang baru lagi, sudah tersedia pula dengan baiknya di kamar Maryam.

Kecurigaan Zakaria terhadap manusia lainnya mulai berkurang, tetapi keheranannya semakin menghebat, sebab dia sudah tahu benar, tidak seorang manusia pun yang datang dan masuk ke ditu, seperti kecurugaannya semula. Berkaitan dengan hal tersebut, dia menemui Maryam dan bertanya: “Hai Maryam, dari manakah datangnya makanan itu, sedang pintu tetap tertutup dan tak seorang juga yang dapat masuk kemari membawa makanan?.

Maryam menjawab dengan tenang: “Makanan itu adalah dari Allah, Allah memberi rizqi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan tak berhisab.”

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk menemui Maryam di mihrab ia dapati makanan di sisinya. Zakaria bertanya: “Hai Maryam dari mana kamu peroleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Q.S. Ali ‘Imran: 37).

Mendengar jawaban Maryam yang tegas dan tenang itu, barulah Zakaria insaf, bahwa Allah sudah menentukan Maryam yang dia jaga itu menjadi seorang hamba-Nya yang luar biasa, mempunyai keududkan dan martabat penting di sisi Allah, yang belum pernah dicapai dan diduduki oleh perempuan lain di atas dunia ini.

Kasih dan sayang Zakaria terhadap Maryam berubah menjadi penghormatan dan pengkhidmatan yang semakin lama semakin bertambah dan mendalam jua, sehingga penjagaan dan pemeliharaannya semakin teliti dan hati-hati dari yang sudah-dudah. Cita-cita baru mulai bersemi dengan kokoh sekali di hati Zakaria. Zakaria yang sudah tua dan tak bertenaga lagi itu, kini semakin ingin untuk beroleh seorang anak yang keluar dari sulbinya sendiri. Bukan hanya semata-mata ingin beranak, tetapi cita-cita yang jauh lebih agung dan luhur, ialah agar anak yang dicita-citakannya itu dapat meneruskan perjuangan suci menghadapi suasana baru yang akan ditimbulkan oleh Maryam, karena dia sendiri sekarang sudah tua dan sudah dekat kepada akhir hayatnya. Nabi Zakaria lalu berdoa kepada Allah tentang cita-citanya.

“(yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada Hamba-Nya Zakaria. Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’kub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridlai.” (Q.S. Maryam: 2-6).

“Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: Ya Tuhanku aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (Q.S. Ali ‘Imran: 38).

Allah pun tidak menolak doa dan permintaan seorang yang tua yang penuh berkahnya ini, beserta istrinya yang salihah yang ihlas dalam menyembah Allah. Maka Allah mengaruniai mereka seorang putra yang diberi nama Yahya. Sebagaimana diterangkan AL-Qr’an, “Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Tuhannya: Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah pewaris yang Paling Baik. Maka kami perkenankan doanya, dan kami anugerahkan Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Q.S. Anbiya’: 89-90).

Allah Swt mengutus malaikat dengan membawa kabar gembira kepada orang tua itu. Kabar gembira tersebut adalah Yahya yang akan lahir, yang mmepunyai keistimewaan dalam sifat-sifat dan ahlaknya. Serta mempunyai jiwa kepemimpinan di kalangan kaumnya. Terjaga dari dosa-dosa, dan tercantum namanya dalam rangkaian para nabi.

“Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab (katanya): Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadikan ikutan, menahan diri (dari pengaruh hawa nafsu) dan seorang Nabi dari keturunan orang-orang salih.” (Q.S. Ali ‘Imran: 39).

 







Peristiwa besar

Maryam tetap tinggal di tempatnya, semakin besar dan besar juga, dengan hati yang penuh takwa dengan ibadah yang tulus ihlas. Namanya mulai dikenal setiap orang, sebagai seorang putrid yang suci murni, yang terjauh dari segala dosa dan noda. Dia menjadi buah bibir, menjadi contoh dan kata-kata julukan segenap umat yang hidup di masanya itu.

Pada suatu hari Maryam sedang beribadah di tempatnya seperti kebiasannya, tiba-tiba di hadapannya berdiri seorang laki-laki. Alangkah terkejut dan terperanjatnya, karena selama hidup dan selama dia berada di tempat itu, belum pernah dia mendapat kunjungan seorang laki-laki selain Zakariya.

Maryam tampaknya mau berpaling dan menghindarkan diri, karena menurut perkiraan Maryam laki-laki adalah seorang jahat yang berniat buruk terhadap dirinya, sedang dia sendiri adalah seorang suci dan penuh iman. Maryam berlindung diri kepada Allah dengan berkata: “Sesungguhnya saya berlindung kepada Allah dari kejahatan engkau, kiranya engkau seorang yang takut kepada Allah.”

“Maryam berkata: Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” (Q.S. Maryam:18)

Allah memilih Maryam dari semua wanita untuk mukjizat itu, sedangkan para malaikat itu menganjurkan kepada Maryam untuk taat kepada Allah, lebih dari itu.

“Dia (ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: Hai Maryam sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama dengan orang-orang yang ruku’.” (Q.S. Maryam: 42-43).

Kemudian malaikat-malaikat itu mempersiapkan mukjizat dan memberi kabar gembira kepada Maryam, bahwasannya ia akan melahirkan seorang putra bernama Isa yang mana wujudnya dengan kalimat Allah, adapun namanya adalah al-Masih dikarenakan banyaknya berjalan di atas bumi ini, banyaknya berpuasa, lebih-lebih puasa tidak banyak bicara, dan menyembuhkan penyakit yang menimpa jasad dan ruh, dan dibatasi julukannya dengan “Anak Maryam”, bukan anak Tuhan.

“(Ingatlah), ketika malaikat berkata: Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari pada-Nya, namanya Al-Masih Isa Putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan akherat dan salah seorang diantara orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah salah seorang diantara orang-orang yang salih.” (Q.S. Maryam: 45-46).

Maryam terheran-heran; bagaimana hal ini akan terjadi, sedang tidak ada persetubuhan dari laki-laki, sedangkan ia sendiri tidak menginginkan kawin. Karena sesungguhnya jiwanya sudah larut di dalam ketaatan kepada Allah. Namun itu adalah kehendak Allah Swt. Tak ada pencegah bagi qadha’-Nya, dan tidak ada yang mengomentari jelek dalam urusan-Nya.

“Maryam berkata: Ya Tuhanku: betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku berlum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.” Allah berfirman (dengan perantara Jibril) Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak mengqadha’ sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: Jadilah, Maka jadilah dia.” (Q.S. Ali ‘Imran: 47).

Maryam adalah seorang gadis yang suci, tak seorang laki-lakipun mendekatinya, lalu bagaimana ia akan mendapatkan anak. Seolah-olah Maryam lupa akan gejala-gejala yang tampak baginya tentang mukjizat dan kabar-kabar gembira yang datangnya dari Allah. Di sini malaikat itu menjawabnya “Akan terjadi hal tersebut, tanpa ia disentuh kejahatan, dengan cara yang mudah dan ringan.” Dan demikianlah kehendak Allah.

“Ia (Jibril) berkata: Sesungguhnya aku ini hanyalah utusan Allah, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci!” Maryam berkata: “Bagaimaan akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina, Jibril berkata: “Demikianlah”, Tuhanmu berfirman: “Hal itu mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang akan diputuskan.” (Q.S. Maryam: )

Sehabis jawaban itu, malikat itupun lenyap dari pandangan Maryam, tidak diketahui kemana perginya. Tinggallah sekarang Maryam seorang diri keheranan memikirkan apa yang sudah dilihat dan didengarnya itu. Dan mulailah dia khawatir lagi, kekhawatiran yang lain pula sifatnya dari kekhawatirannya semula tadi. Sudah pasti orang banyak akan ribut dan riuh, bila mereka mendengar bahwa Maryam hamil. Apalagi kalau melahirkan anak tanpa suami. Pikiran ini sangat mengguncangkan perasaan Maryam, sebab ini bukanlah masalah kecil bagi seorang yang suci murni seperti Maryam. Badannya gemetar memikirkan bagaimana akhirnya kejadian ini.

Maryam benar-benar merasakan sesuatu dalam kandungannya. Untuk menghindarkan apa yang akan terjadi seperti yang dikhawatirkannya itu. Maryam yang memutuskan hendak menjauhkan diri keluar kota, yang sunyi sepi. Maksudnya itu dilaksanakannya dengan mengambil satu tempat jauh di desa, dimana dia tinggal seorang diri, sedih bercampur takut, memikirkan kejadian yang akan terjadi bila dia sudah melahirkan bayi dalam kandungannya, bayi yang tak berbapak.

“Maka Maryam mengandungnya, lalu menyisihkan diri dengan kandungannya ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa bersandar pada pohon kurma ia berkata: Aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi orang yang tak berarti lagi dilupakan.” (Q.S. Maryam: 22-23).

Beberapa bulan berlalu, kandungan Maryam  makin mendekati waktu bersalin. Semakin dekat waktunya bersalin itu semakin hebat pula penderitaan batinnya, sehingga makan dan minum tak terasa enak lagi. Makanan dimakannya berasa sekam, air diminumnya berasa duri.

 











Kesedihan yang memuncak

Di dalam sebuah pondok, di desa yang jauh terpencil, Maryam menyembunyikan diri dari pandangan dan pendengaran orang banyak, agar rahasia ajaib yang berada di tubuhnya jangan sampai diketahui orang banyak, tidak dilihat sebuah mata dan tidak didengar sebuah telinga pun. Setelah terasa betul oleh Maryam, bahwa waktu yang ditunggu-tunggunya itu sudah dekat, tanda-tanda dia akan melahirkan seorang anak telah cukup, maka saat itulah kesedihan hatinya, kekhawatiran dan ketakwaannya memuncak sehebat-hebatnya. Ketika itulah dia mengeluh sambil berkata: “Maha Penyantun Engkau, ya Tuhanku. Takdir apakah gerangan yang akan terjadi, kejadian apakah yang akan terjadi di balik malam yang gelap ini?”

 

Maryam melahirkan bayi Isa al-Masih

Setelah Maryam merasakan bahwa tak lama lagi ia akan melahirkan, ditinggalkannya pondok tempat untuk mengasingkan diri itu. Dia berjalan meninggalkan desa yang terpencil itu, mencari tempat yang lebih sunyi dan sepi. Di suatu tempat, di padang pasir, di bawah sebatang kurma, dia berhenti. Di situlah dia duduk seorang diri menantikan takdir, tidak ada kawan dan bidan atau tabib yang akan menolong. Dalam keadaan demikian, di bawah langit terbuka, di tengah padang pasir yang luas, dengan tidak ditemani seorang manusia pun, selain bertemankan iman dan takwa, tibalah saat yang ditunggu-tunggunya. Lahirlah seorang bayi laki-laki ke atas dunia yang luas dan terbuka ini, seorang bayi yang akan menjadi manusia suci berpengaruh besar.

Dengan perasaan terharu dan cemas serta sedih dipandanganyalah wajah bayinya yang baru lahir itu. Dengan keadaan tubuh yang lesu lunglai bekas bersalin, pikiran dan perasaan yang semakin diliputi cemas dan khawatir, timbullah berbagai kegelisahan batin yang tak berbeda, sehingga dia mengeluh: “Aduhai, nasibku ini. Lebih baik kiranya aku mati sebelum ini, tentu aku dilupakan menusia selupa-lupanya.”

Pikiran Maryam menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Badannya lesu, lemas segala sendi dan tulang-tulangnya, ditambah lagi dengan rasa lapar dan dahaga yang tak terkirakan hebatnya sehabis melahirkan bayinya itu. Dia lalu menyandarkan diri ke pokok kurma yang kering itu, sambil memangku bayinya dengan kedua tangannya yang lemas itu.

Baru saja matanya tertuju ke wajah bayinya, tiba-tiba Maryam mendengar suara yang jelas dan dekat, memanggilnya: “Hai Maryam, janganlah engkau terlalu berduka cita. Sesungguhnya Allah sudah mengadakan di dekatmu sebuah anak sungai yang kecil dan goncangkanlah batang kurma yang engkau sandari itu, niscaya akan berguguranlah buah-buahan yang sudah masak. Maka makanlah dan tenangkanlah hatimu. Lantas kalau engkau ditanya seseorang, maka berkatalah kepadanya: ‘Aku bernazar kepada Allah Yang Maha Pengasih bahwa aku akan diam, tidak akan berkata-kata kepada siapapun di hari ini.” Setelah mendengar suara itu, Maryam melihat tanah yang berada di sisinya retak dan dari retakan itu mengalir air yang amat jernih, merupakan anak sungai yang kecil, tepat seperti yang didengarnya dari suara tadi.

Maryam mengalihkan pandangannya ke arah batang kurma yang disandarinya itu. Di atas pohon kurma itu jelas dilihatnya buah-buahan kurma yang sudah masak. Dengan tangannya yang masih lemah dan tidak berdaya, dicobanya menggerakkan batang kurma yang kokoh itu. Batang kurma itu bergerak dengan kerasnya sehingga buah-buahanya yang masak itu berguguran di dekatnya.

Dimakannya buah dan diminumnya air jernih itu. Dengan demikian hilanglah lapar dan dahaganya, badannya berangsur-angsur menjadi kuat dan segar kembali, pikirannya mulai tenang pula.

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon kurma itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu, jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (Q.S. Maryam: 24-26).

Matanya tak puas-puasnya memandang wajah bayinya yang baru lahir. Luar biasa keadaan dan hal ihwalnya. Pandangannya ke wajah bayi itulah satu-satunya yang dapat menghibur hatinya yang duka sehingga agak tentram, sedang badannya semakin kuat juga. Lalu dia memutuskan kembali ke desa tempat dia mengasingkan diri, meninggalkan tempat dia bersalin yang sekarang ini dinamakan orang Baitullaham (Bethlehem), artinya tempat lahir. Mulailah orang yang tak jauh dari rumahnya itu mengetahui kabar kelahiran bayinya. Tak lama kemudian, kabar itupun tersiarlah dengan cepatnya ke seluruh pelosok negeri.

 









Bayi Maryam dapat berbicara

Orang-orang lalu datang berduyun-duyun, dari jauh dan dekat, ingin menyaksikan sendiri kabar yang luar biasa itu. Maryam dihujani orang banyak dengan pertanyaan-pertanyaa. Dia tidak menjawab hanya berkata seperti apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya, bahwa dia berpuasa dan bernazar tidak akan bercakap-cakap sehari itu.

Bermacam-macam pendapat orang banyak tentang kejadian yang menimpa Maryam. Ada yang terheran-heran atas keluarbiasaan kejaidan itu. Ada pula yang memandang kejadian itu sebagai tanda kesucian dan kebesaran Maryam. Tetapi banyak pula yang mengejek dengan berbagai tuduhan seperti yang telah dikhawatirkan Maryam sendiri. Semua itu didengarkan dan dibiarkan saja dengan sabar dan tenang, sesuai dengan petunjuk Allah kepadanya. Ada pula yang mengejek: “Hai saudara Harun, bapakmu bukanlah orang yang jahat, sedang ibumupun bukan perempuan jalang! Dari manakah engkau peroleh anak ini?”

“Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang sangat munkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah orang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (Q.S. Maryam: 27-28).

Banyak lagi pertanyaan yang mengejek dan kasar yang dihadapkan kepada Maryam. Akhirnya Maryam berdiri mengambil bayinya, lalu berkata kepada mereka: “Ini adalah anakku, tanyakanlah kepadanya hakekat kejadian yang sebenarnya, yang Tuan-Tuan tanyakan itu.”. Mereka  heran dan tercengang mendengar jawaban Maryam yang tak masuk akal itu. Mereka lalu berkata: “Bagaimanakah kami dapat berbicara dengan bayi yang masih dalam ayunan itu?”

“Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan.” (Q.S. Maryam: 29).

Sungguh Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya, memberi mukjizat yang sebesar-besarnya kepada bayi yang bernama Isa al-Masih itu. Di saat itulah bayi Isa as yang masih kecil itu berkata dengan terang kepada orang banyak: “Sesungguhnya aku ini seorang hamba Allah, akan diberi-Nya sebuah Kitab (Injil) dan dijadikan-Nya aku seorang nabi. Dijadikan-Nya aku seorang yang berguna buat manusia dimana aku berada, diwasiatkan-Nya kepadaku berbuat dan mengerjakan salat, mengeluarkan zakat selama aku hidup. Dan aku berbakti kepada ibuku, tidaklah aku dijadikan Allah seorang yang sombong dan durhaka. Selamatlah diriku ketika aku dilahirkan, ketika aku mati dan ketika aku kembali hidup.

“Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (Q.S. Maryam: 30-31

“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Q.S. Maryam: 32-33).

Maryam telah keluar dan lolos dari ujiannya yang mendebarkan itu. Akhirnya kedua orang ini (Maryam dan anaknya) dijadikan barakah dan mukjizat yang berjalan di bumi ini. “Dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. Lalu Maryam mengasuh anaknya itu. Namun mereka yang menyimpang dan menyeleweng, selalu mengejar-ngejar sambil mengejek dan menyindir-nyindir, sehingga terpaksa Maryam lari ke satu tempat yang aman dari mereka itu.

“Dan kami melindungi mereka di suatu tanah yang tinggi yang datar yang banyak terdapat padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.” (Q.S. al-Mukminun: 50). Dan hiduplah Isa bersama ibunya sebagaimana manusia lainnya hidup.

“Al-Masih putera Maryam ini hanyalah seorang rasul, dan ibunya adalah orang yang sangat benar, kedua-keduanya biasa makan-makanan.” (Q.S. al-Maidah: 75).

Keistimewaan Maryam yang utama adalah,  Ia adalah hamba Allah yang dipilih untuk menerangkan mukjizat dan menyampaikan risalahnya.

“Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaannya Allah) untuk Bani Israel.” (Q.S. az-Zukhruf: 59).

Maryam disifatkan di dalam al-Qur’an sebagai wanita yang “siddiqah”, yang percaya akan apa yang dibawa oleh Rasul, dan apa yang tertulis pada kitab-kitab suci. Percaya dan beriman terhadap apam yang dibawa oleh puteranya. Ini berarti menolak sifat ketuhanan kepadanya. Sedangkan martabat “siddiq” adalah satu martabat yang paling tinggi disifatkan terhadap seorang mukmin selain nabi. Firman Allah Swt.:

“Dan barang sisapa yang mentaati Allah dan Rasulnya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para sadiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang salih. Dan mereka itulah orang-orang yang sebaik-baiknya.” (Q.S. an-Nisa’: 69).

Kemudian al-Qur’an tidak menyebutkan kepada kita, sesuatu tentang Maryam, yang keluar batas ini. Lalu kita juga tidak mengetahui apakah Maryam meninggal sebelum Isa diangkat ke langit atau sesudahnya, atau kemudian ia kawin atau tidak. Namun yang nyata dan jelas Maryam adalah satu contoh sosok wanita yang mulia, taqwa, suci dan salihah yang perlu diteladani oleh kaum wanita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar