Jundab bin Junadah, Abu Dzar al-Ghifari lahir di desa Ghifar – suatu kelompok yang pekerjaan tetapnya sebagai perampok – dan meninggal di Madinah pada tangga 8 Dzulhijjah 32 H/ 652 M. Ia adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang mempelopori ekonomi Islam berdasar pada prinsip-prinsip egaliter (pemerataan kekayaan), selain itu ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang paling jujur, sosialis sejati, lebih dari 1000 tahun sebelum Karl Marx.
Pada dasarnya, Abu Dzar memiliki hati yang baik. Kerusakan dan
derita korban yang disebabkan oleh serangannya kemudian menjadi suatu titik
balik dalam perjalanan hidupnya. Ia bukan saja menyesali perbuatan jahatnya,
tetapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu
menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab alias Abu Dzar
al-Ghiffari meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama ibu dan saudara lelakinya Anis, Abu Dzar al-Ghiffar hijrah
ke Nejed atas. Di sini menetap salah seorang paman dari pihak ibunya. Inilah
hijrah Abu Dzar yang pertama dalam mencari kebenaran dan kebajikan. Di tempat
inipun ia tidak bisa tinggal lama. Ide-idenya yang revolusioner menimbulkan
kebencian orang-orang sesuku, yang kemudian mengadukannya kepada sang paman.
Kini giliran rumah pamannya yang terpaksa ia tinggalkan, mengungsi ke sebuah
kampung dekat Mekah.
Keislaman Abu Dzar al-Ghifari bermula dari saudara lelakinya, Anis
yang pulang dari Mekah membawa kabar tentang datangnya fajar baru: agama
Islam. Pada waktu itu ajaran Nabi Muhammad telah mengguncangkan Mekah dan
membangkitkan gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab. Mendengar hal itu,
Abu Dzar yang telah lama merindukan kebenaran langsung tertarik kepada
Rasulullah dan ingin bertemu dengan beliau. Ia pergi ke Mekah sebulan lebih
lamanya mempelajari dengan seksama perbuatan dan ajaran Nabi. Setelah beberapa
saat menunggu, ia dapat bertemu dengan beliau dan saat itu juga menyatakan
keislamannya.
Setelah menerima beberapa pelajaran tentang Islam, ia ditugasi Nabi
mengajarkan agama Islam di kalangan sukunya sendiri. Ia pulang ke kampung
halamannya dan sangat berhasil dalam tugasnya itu. Bukan hanya ibu dan saudara
lelakinya, Anis, tapi hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil
diislamkannya. Ia tercatat sebagai salah seorang penyiar agama Islam yang
pertama dan terkemuka.
Nabi Muhammad sangat menghargai perjuangan dan kegigihan Abu Dzar
al-Ghiffar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Kemudian ia meninggalkan
Madinah untuk terjun dalam peperangan dengan pakaian compang-camping. Ia
diangkat sebagai Imam dan Administrator kota itu..Pada waktu akan meninggal,
Nabi memanggil Abu Dzar dan sambil memeluknya lalu berkata, “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya.
Ia tidak akan berubah walaupun aku meninggal dunia nantinya”. Ucapan Nabi
ternyata benar. Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur
hidupya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah
ketiga ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta.
Abu Dzar dikenal gigih dalam mempertahankan prinsip egaliter Islam.
Ia menentnag keras ide menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya telah
bertentangan dengan semangat Islam. Ia tidak dapat diajak berdamai berkenaan
dengan tumbuhnya kapitalisme di kalangan kaum muslimin di Syiria yang
diperintah Muawiyah. Menurut pendapatnya, adalah kewajiban orang Islam sejati
menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Abu Dzar hidup dengan cara yang dianggapnya benar dan menjalankan
sendiri apa yang diajarkannya. Ia bersikap tanpa kompromi terhadap kapitalisme,
terhadap orang yang berkedudukan tinggi sekalipun. Ajaran-ajarannya tersebut
tidak mendapat tantangan selama pemerintahan dua khalifah, yaitu Abu Bakar dan
Umar. Ia hidup tenteram dan dihormati orang. Kesulitan timbul pada masa
pemerintahan khalifah ketiga, di mana ia menyaksikan Gubernur Muawiyah bergaya
hidup mewah di Syiria. Bahkan Muawiyah telah memusatkan kekuasaannya dengan
bantuan kelas atas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah
menumpuk harta secara melimpah ruah. Ajaran egaliter Abu Dzar telah membuat
bangkitnya massa melawan mereka. Ia jadi duri dalam daging bagi pemerintahan
setempat.
Muawiyah berusaha keras agar Abu Dzar tidak meneruskan ajarannya,
tapi sang penganjur egaliterisme tetap tegar pada prinsipnya. Muawiyah kemudian
mengatur sebuah diskusi antara Abu Dzar dan ahli-ahli agama Islam, tapi
pendapat ahli itu tidak mempengaruhinya. Muawiyah melarang rakyat berhubungan
atau mendengarkan ajarannya, tetapi ternyata rakyat berduyun-duyun meminta
nasehat Abu Dzar. Akhirnya Muawiyah mengadu pada Khalifah Usman. Ia mengatakan
bahwa Abu Dzar mengajarkan kebencian kelas atas di Syiria, hal yang dianggapnya
dapat membawa akibat yang serius.
Abu Dzar segera dipanggil menghadap Khalifah di Madinah. Ia pergi
memenuhinya, dan sewaktu ia masih jauh di luar kota, penduduk Madinah keluar
menyongsong kedatangannya. Sahabat Nabi itu menerima ucapan selamat datang yang
hangat.
Di Madinah, Abu Dzar juga tidak dapat hidup dengan tenteram.
Sebagian orang-orang kaya di kota mengkhawatirkan aktivitasnya yang
menganjurkan pemerataan penyaluran harta kekayaan.
Akhirnya Khalifah menyelenggarakan diskusi tentang masalah itu,
yang mempertemukan Abu Dzar dengan Ka’ab al-Ahbar, seorang terpelajar. Dalam
kesempatan itu, Kaab al-Ahbar mempertanyakan apa yang dinginkan dengan
mempertahankan hukum warisan dalam yurisprudensi muslim, padahal Islam tidak
menginginkan penumpukan harta. Masalah ini sebenarnya berada diluar pokok
persoalan. Seperti yang diduga, diskusi tidak membawa hasil. Usman kemudian
meminta kepada Abu Dzar meninggalkan Madinah untuk tinggal di Rabza, sebuah
kampung kecil yang terletak di jalur jalan kafilah Irak – Madinah, dan di sana
ia meninggal dunia pada 8 Dzulhijjah 32 H/ 652 M.
Demikian akhir hidup sahabat Nabi yang terpercaya itu, yang dengan
gigih mengajarkan dan melaksanakan sosialisme yag sejati, lebih dari seribu
tahun sebelum Karl Marx. Hidupnya dan sampai matinya ia teguh mempertahankan
prinsip yang diyakininya: menolak penumpukan harta kekayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar