Jumat, 23 Oktober 2020

SUNAN BONANG, RADEN MAKHDUM IBRAHIM - (65)

 

Sunan Bonang yang bernama asli Raden Makhdum Ibrahim dilahirkan di Tuban (Riwayat lain mengatakan ia lahir di Ampel Denta Surabaya) pada tahun 1465 M dan wafat di Tuban pada tahun 1524 M. Ia merupakan putra Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila putra Arya Teja III Bupati Tuban, dan merupakan saudara sepupu Sunan Kalijaga. Silsilah nasabnya sama dengan silsilah Sunan Ampel di atas.

Sejak kecil ia mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya bersama-sama dengan para santri lain yang mondok di pesantren ayahnya. Setelah usianya cukup besar, ia bersama-sama dengan Raden Paku (Sunan Giri) diperintah oleh Sunan Ampel untuk berangkat haji ke Makkah dan sambil mempelajari ilmu agama di sana. Sebelumnya, keduanya singgah di Pasai Aceh untuk memperdalam ilmu agama, khususnya tasawwuf, kepada Syekh Maulana Ishak, seorang ulama besar yang pernah berdakwah di wilayah kerajaan Blambangan, yang masih saudara sepupu ayahnya, dan juga menjadi ayah dari Sunan Giri sendiri. Sekembali dari Makkah, ia langsung ke Aceh dan meneruskan menuntut ilmu disana. Karena kecerdasannya, ia memperoleh ilmu yang sangat luas dan dalam, sehingga ia dijuluki oleh gurunya dengan Prabu Hanyakrawati yang berkuasa dalam soal-soal Sesuluking Ngelmi lan Agami.. Setelah cukup, ia kembali ke kota kelahirannya yang kemudian, oleh Sunan Ampel, ia di beri tugas untuk mengembangkan Islam dan mendirikan pondok pesantren di desa Bonang Tuban, Jawa Timur. Santri-santri yang menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah Nusantara.

Sunan Bonang memperistri Dewi Hirah anak dari R. Jakandar dari Madura dengan Dewi Nawangsari. Dari perkawinannya ini ia memperoleh seorang putri yang bernama Dewi Ruhil, yang nantinya diperistri oleh Sunan Kudus. (Tarikhul Awliya’, KH Bisri Musthafa).

Aktifitas Sunan Bonang diperkirakan antara tahun 1475 M sampai 1525 M. Selama kurun waktu tersebut, peranannua cukup besar, baik di bidang dakwah Islamiyah, tasawwuf, sosial kemasyarakatan, maupun kenegaraan.

Di bidang Dakwah Islamiyah, Sunan Bonang sangat bersemangat dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, khususnya di Tuban. Sama halnya dengan Sunan Ampel, ayahnya, ia mendirikan pesantren di Tuban untuk membimbing para pemuda dan pemudi muslim dan menyiapkan kader-kader muballigh. Di dalam kitab Suluk Wujil yang diperkirakan disusun oleh tiga murid Sunan Bonang menceritakan pada bait 74-84, bahwa ia menyuruh santri putra yang bernama Wujil agar memanggil salah satu santri putri bernama Satpada yang tinggal di asrama putri, untuk diajak berdialog dalam masalah pemahaman terhadap ajaran Manunggaling kawula-Gusti. Ia dinilai sebagai wali yang sangat berjasa mengubah jalan hidup seorang penjahat kelas kakap, Raden Syahid, menjadi seorang wali yang taat dan masyhur dengan julukan Sunan Kalijaga. Di samping itu, Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah, putra raja majapahit Prabu Brawijaya V, yang kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan “Suluk Sunan Bonang” atau “Primbon Sunan Bonang”. Isi buku tersebut berbentuk prosa ala Jawa Tengah, kalimatnya sangan banyak dipengaruhi bahasa Arab, dan sampai sekarang antara lain masih tersimpan di Universitas Leiden, Negeri Belanda.

Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam berdakwah selalu menyesuaikann diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang dan musik gamelan. Para wali tersebut memanfaatkan pertunjukan wayang sebagai media dan metode dakwah Islam, dengan menyisipkan nafas keislaman kedalamnya, seperti kepercayaan terhadap para dewa yang cukup sakti dalam cerita pewayangan diganti dan diidentifikasikan sebagai para malaikat dan para Nabi, bahkan dikatakan bahwa para dewa tersebut adalah keturunan Nabi Adam. Hal ini dimaksudkan untuk menanamkan suatu keyakinan atau kepercayaan kepada masyarakat jawa yang mayoritas beragama Hindu-Budha, bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah Esa, Tunggal, tidak ada duanya; sedangkan para dewa adalah bukan “tuhan”, akan tetapi sekedar sebagai makhluk-Nya. Mereka menciptakan lagu atau tembang sendiri-sendiri yang berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi  dengan Syahadatain (Ucapan Dua Kalimat Syahadat); gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah Sekaten, yang berasal dari Syahadatain. Misalnya Sunan Giri menciptakan tembang  Asmaradana dan Pucung; Sunan Kalijaga tembang Dandanggula; Sunan Kudus  tembang Maskumambang dan Mijil; Sunan Muria tembang Sinom dan Kinanti; dan Sunan Drajat tembang Pangkur. Dan Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah.

Di bidang tasawwuf, barangkali Sunan Bonang merupakan satu-satunya Walisongo yang dapat diketahui secara jelas pokok-pokok ajaran tauhid dan tasawwufnya, serta dapat dijadikan sebagai sumber rujukan. Drs Wiji Saksono dalam bukunya, Mengislamkan Tanah Jawa : Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, mengatakan, bahwa dari kesembilan Walisongo tersebut, hanya Sunan Bonang yang hingga kini dapat diketahui dengan jelas pokok-pokok ajarannya dan dapat dijadikan sebagai pegangan atau sumber rujukan. Sementara ajaran Walisongo yang lain dinilai masih sangat samar dan belum terungkapkan. Banyak sekali orang yang berusaha mengungkap ajaran mereka melalui kisah-kisah, sebagaimana yang tertulis didalam buku-buku babad dan tersiar dari mulut ke mulut, akan tetapi masih belum dapat dipandang sebagai sejarah dalam pengertian yang sebenarnya.

Meski hanya ajaran dan wejangan Sunan Bonang saja yang telah jelas dan tegas dapat diketahui keshahihannya, kaum muslimin perlu merasa bersyukur karena Sunan Bonang-lah yang paling representatif mewakili ajaran Walisongo yang lain, sehingga dengan mengetahui ajarannya itu kita akan dapat mengetahui ajaran Walisongo yang lain. Hal ini didukung dengan beberapa alasan : Pertama, Sunan Bonang secara resmi sangat berkompeten di antara Walisongo untuk memberikan wejangan keilmuan dan keagamaan, sesuai dengan gelar yang disandangnya, Prabu Hanyakrawati, yang berkuasa dalam soal-soal sesuluking ngelmi lan agami. Kedua, Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel bersama-sama dengan Sunan Drajat, teman satu almamater dengan Sunan Giri karena  sama-sama berguru kepada Sekh Maulana Ishak di Pasai. Selain itu, Sunan Bonang adalah guru pertama Sunan Kalijaga. Dengan mengetahui ajaran Sunan Bonang, maka kita dapat menggambarkan ajaran dari Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat dan Sunan Kalijaga. Ketiga, Sunan Gunungjati adalah anak sekaligus murid Sekh Maulana Ishak, sementara Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah satu perguruan dengan Sunan Gunungjati di Pasai, maka sedikit banyak ajaran Sunan Gunungjati dapat diketahui lewat ajaran Sunan Bonang

Ajarannya tentang tasawwuf Sunan Bonang dapat diketahui melalui 3 buku karyanya, sebagai berikut : 

Pertama, dari karyanya yang terkenal dengan sebutan “Buku Bonang”, karena di akhir tulisan tercantum nama Pangeran ing Bonang sebagai penulisnya. Naskah aslinya ditemukan oleh pedagang Belanda bernama Van Dulmen di daerah Tuban dan disimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda pada tahun 1597 M, yang kemudian dijadikan sebagai bahan tesis oleh DR B.J.O. Schrieke pada tahun 1916 dengan judul “Het Boek van Bonang”. Isinya menyangkut masalah ilmu tauhid dan tasawwuf menurut ajaran imam Al-Ghazali dan faham Ahlussunnah waljamaah, dengan memakai bahasa prosa Jawa Tengahan (pertengahan antara bahasa jawa kuno dan jawa modern) . 

Buku kedua yang diperkirakan hasil karya Sunan Bonang adalah berbentuk kitab Primbon, yang kemudian terkenal dengan sebutan Primbon Abad ke-16. Naskah aslinya ditemukan bersama-sama dengan Buku Bonang oleh pedagang Belanda tersebut di daerah yang sama (Tuban), yang kemudian dijadikan sebagai tesis oleh DR J.G.H. Gunning pada tahun 1881 di Universitas Leiden dengan Judul Een Javaansche Geschrift uit de 16 de Eeuw. Isinya hampir sama dengan Buku Bonang, yakni ajaran ilmu tauhid dan tasawwuf menurut faham Ahlussunnah wal jamaah, hanya saja naskah Primbon ini dimulai dari halaman 15 sampai 74, sedangkan halaman 1 sampai 14 hilang dan didalamnya tidak secara tegas menyebutkan nama penulisnya. Meskipun tidak secara tegas ditulis oleh Sunan Bonang, namun dapat dipandang sebagai ajaran Sunan Bonang, atau sekurang-kurangnya sebagai ajaran pawa wali yang berkembang luas pada jaman Sunan Bonang. 

Buku ketiga yang kemudian dikenal dengan judul Suluk Wujil dalam bentuk tulisan tembang (puisi jawa),  merupakan tulisan tiga murid Sunan Bonang, sebagai hasil catatan mereka terhadap pengajaran yang diberikan oleh Sunan Bonang. Isinya menyangkut ajaran tentang ilmu tasawwuf yang berpuncak pada ajaran Manunggaling kawula-Gusti menurut pemahaman Sunan Bonang, yakni persatuan manusia dengan Tuhan dalam rasa lan karsa (perasaan dan kehendak), bukan persatuan dalam bentuk fisik yang sebenarnya, atau bukan seperti pemahaman aliran wahdatul wujud (monisme dan panteisme). Pemikiran Sunan Bonang  secara ringkas tentang tasawwuf dan ketuhanan, ia ungkapkan sendiri, sebagaimana yang dikutip oleh Solichin Salam dalam bukunya Sekitar Walisongo, sebagai berikut : “Adapun pendirian saya ialah, bahwa iman, tauhid dan makrifat merupakan pengetahuan yang sempurna. Sekiranya orang hanya mengenal makrifat saja, itu belum cukup. Sebab ia masih anshaf (setengah-setengah) dalam masalah ini. Yang saya maksudkan adalah, kesempurnaan baru dapat dicapai hanya dengan terus menerus mengabdi (beribadah) kepada Tuhan. Seseorang tidak menentukan geraknya sendiri, dan juga tidak menentukan kemauannya sendiri. Tiap orang adalah ibarat buta, tuli dan gagu. Semua gerak-geriknya ditentukan oleh Allah”.

Untuk lebih jelasnya, ajaran Sunan Bonang ini akan dikupas lebih luas dan dalam pada akhir tulisan ini, dibawah judul  “Ajaran-ajaran pokok Walisongo”.

Di bidang sosial kemasyarakatan dan kenegaraan, Sunan Bonang tidak perlu diragukan lagi dedikasinya sebagai pendukung setia kerajaan Islam Demak. Pada waktu pendirian Masjid Agung Demak, ia bersama-sama dengan para Wali ikut mendirikannya. Di antaranya, ia diberi tugas membuat salah satu sakaguru yang terletak di bagian barat laut.

Kegiatan dakwah Sunan Bonang dipusatkan di sekitar Jawa Timur, terutama daerah Tuban, dengan basis pesantren sebagai wadah mendidik kader. Dalam aktivitas dakwahnya, ia mengganti nama dewa-dewa dengan nama malaikat dalam Islam dengan maksud agar penganut Hindu dan Budha mudah diajak masuk agama Islam. 

Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan nafas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah SWT, dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi dengan Syahadatain (Ucapan Dua Kalimat Syahadat); gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah Sekaten, yang berasal dari Syahadatain. Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah.


Sikap Sunan BonangTerhadap Tradisi Masyarakat.

Sunan Kalijaga termasuk kelompok Walisongo yang sangat toleran dan tidak  langsung bersikap antipati ter-hadap tradisi lama yang kental dengan nilai kesyirikan, kehinduan dan kepercayaan lama yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat. Misalnya, tradisi kenduren atau selametan yang pada jaman pra islam berbentuk ritual pengiriman sesajen kepada leluhur yang sudah mati dengan diiringi pembacaan mantra-mantra tertentu, diusulkan Sunan Kalijaga kepada permusyawaratan Wali songo agar tetap dipertahankan keberadaannya, setelah terlebih dahulu dimuati dengan nilai-nilai aqidah islam dan diberi makna baru (reinterpretasi) agar tidak terjerumus kedalam bentuk kesyirikan. Bacaan mantera diganti dengan ayat-ayat suci  Al-Qur’an, kalimat thayyibah (tahlil) dan doa-doa Islam, disertai niat agar pahala membacanya dihadiahkan Allah kepada orang yang mati. Adapun sesajen yang dipersiapkan untuk dikirim kepada para leluhur atau arwah yang sudah wafat,  yang biasanya berupa berbagai macam jajan pasar dan makanan kesu-kaannya, tidak lagi diberikan/disajikan kepada yang orang yang mati, tetapi diganti dengan “berkat” (makanan ‘oleh-oleh’) untuk diberikan dan disedekahkan kepada orang yang hidup, terutama kepada orang yang diundang mengi-kuti kenduren, dengan niat semoga pahala sedekah ter-sebut diberikan Allah kepada orang yang mati. Sementara sesajen penting yang berupa aneka ragam  jajan pasar diganti dengan tiga jenis makanan : ketan, kolak dan apem dengan diberi makna baru. Ketiga nama makanan tersebut diambil dari bahasa arab yang diucapkan secara keliru oleh masyarakat jawa. Kata “ketan dari bahasa arab “Khatha-an” yang berarti kesalahan atau dosa; “kolak dari bahasa arab “qaala” yang berarti berkata atau berdoa; dan “apem” dari kata “Afwun” yang berarti ampunan. Dari ketiga nama makanan tersebut terkandung suatu ajaran, bahwa manusia tidak dapat lepas dari dosa dan salah. Oleh karena itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah untuk memohon ampunan-Nya. Semula usulan tersebut diten-tang oleh kelompok Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat. Namun dengan dukungan dari Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria dan Sunan Gunungjati, serta didukung dengan dalil-dalil islami dan alasan yang rasional, akhirnya kelompok Sunan Ampel menyetujuinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar