Jumat, 23 Oktober 2020

SUNAN AMPEL, RADEN RAHMATULLOH - (58)

 AMPEL, SUNAN

Sunan Ampel adalah julukan dari Raden Ahmad Rahmatullah atau Raden Rahmat. Ia dikenal sebagai salah seorang Wali Sanga dan penerus cita-cita serta perjuangan Maulana Malik Ibrahim, dan terkenal sebagai perencana pertama kerajaan Islam di Jawa. Ia lahir di negeri Campa sekitar tahun 1401 M dan wafat di Ampel Surabaya pada tahun 1481 M. Mengenai Negeri Campa sendiri menurut C. Raffles berada di “Jeumpa” Aceh, dan menurut sumber lain berdasarkan prasasti dari Po Sah  dan Buku Encyclopaedia van Nederlandche Indie, bahwa Campa berada di Hindia Belakang, yakni kawasan kecil Kamboja Timur di teluk Siam. Ayahnya bernama  Ibrahim Asmarakandi (as-Samarkand, dari Samarkand makamnya di desa Nggesik Tuban) bin Jamaluddin al-Husain bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Abdullah bin Al-Muhajir bin Isa … dan seterusnya hingga berpuncak pada Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah Saw. Ibunya bernama Dewi Candrawulan, putri kedua Raja Campa, adik dari Dewi Sasmitapuri permaisuri Raja Majapahit Prabu Kertawijaya atau Brawijaya I (1447-1451 M). Dari jalur ayahnya, Raden Rahmat merupakan saudara sepupu Maulana Malik Ibrahim; sedangkan dari jalur ibunya, ia merupakan keponakan dari Prabu Kertawijaya (Brawijaya I).

 

Sejak kecil, Raden Rahmat telah belajar agama di Campa kepada ayahnya, syaikh Ibrahim Asmarakandi. Kalau benar bahwa Asmarakandi merupakan sebutan lain dari Samarkand, maka dapat ditetapkan bahwa Sunan Ampel menganut paham keilmuan Sunni, baik dalam bidang ilmu syariat maupun ilmu tasawwuf, karena Samarkand menjadi wilayah kekuasaan dawlah sunniyyin sejak masa Abbasiyah, Seljuq, Sassan dan Ghaznawiyah.

Raden Rahmat di masa kecilnya mendapatkan didikan agama dari ayahnya. Setelah  dewasa, menurut cerita dari babad dan diperkuat oleh kitab Walisana karya Sunan Giri II, ia bersama-sama dengan kakaknya, Raden Santri (Sunan Gresik), dan  Raden Alim Abu Hurairah (Sunan Majagung) anak paman mereka, ingin sekali mengunjungi uak mereka di Majapahit. Setelah beberapa lama di Jawa, mereka bertiga merasa ingin kembali ke Campa, namun terdengar berita bahwa negeri Campa hancur diserang oleh Raja Koci. Karena itu maka Prabu Brawijaya I menasehatinya agar menetap saja di Tanah Jawa. Mereka menyetujuinya, kemudian mereka diserahkan kepada Arya Lembusura, Adipati Majapahit yang muslim untuk diasuh. Setelah sampai masa berkeluarga, Sang Prabu Brawijaya I menjodohkan dan mengawinkan mereka dengan tiga putri Arya Teja III, adipatinya di Tuban. Tentang perkawinannya ini, DR B.J.O. Schrieke menyatakan bahwa peristiwanya tidak lebih awal dari tahun 1450 M. Selanjutnya Prabu Brawijaya I memberikan kepada mereka tanah peprenah atau tempat kedudukan agar mereka mejadi imam-mam bagi daerah yang bersangkutan. Raden Rahmat memperoleh wilayah di Ampel Denta (Surabaya) nyang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Ampel. Raden Santri memperoleh wilayah di Gresik yang kemudian bergelar Raja Pandita Gung Ali Murtala. Sedangkan Raden Alim Abu Hurairah di Majagung dan terkenal sebagai Sunan Majagung.

Menurut buku Tarikhul Awliya’ yang disusun oleh KH Bisri Musthafa, dari hasil perkawinannya dengan putri Arya Teja III yang bernama Nyai Ageng Manila, Raden Rahmat memperoleh anak, yaitu : 1) Siti Syari’ah,  2) Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang),  3) Syarifuddin (Sunan Drajat), dan 4) Siti Khafshah, yang kemudian diperisteri oleh Sunan Kalijaga (menurut satu riwayat diperisteri oleh Sayyid Ahmad dari Yaman. Sedangkan isteri Sunan Kalijaga bernama Siti Muthmainnah); dan  5) Siti Muthmainnah, isteri Sunan Wilis Cirebon.  Sedangkan perkawinannya dengan isteri keduanya yang bernama Dewi Karimah Binti Ki Ageng Supo Bungkul dari Kembangkuning Surabaya memperoleh anak, yaitu : 1) Dewi Murthasiyah, isteri Sunan Giri;  dan  2) Dewi Murtasimah, isteri Raden Patah.

  Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan Majapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana. Raden Fatah, salah satu putra Prabu Brawijaya, menjadi murid Sunan Ampel. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa, tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan mendapat izin dari penguasa kerajaan

  Sejak kedatangannya di kerajaan Majapahit dan diberi wilayah untuk bertempat tinggal di Surabaya, maka Sunan Ampel memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta Surabaya, sehingga ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Di pesantren inilah, Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga dai yang akan disebar ke seluruh Jawa. Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri, Raden Fatah yang kemudian menjadi Sultan pertama di kesultanan Islam Bintoro Demak, Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bonang, Syarifudin (putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat, Maulana Ishak (saudaranya) yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk mengislamkan rakyat di sana, dan banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar dalam islamisasi di Pulau Jawa.

Sunan Ampel tercatat sebagai arsitek atau perancang kerajaan Islam Demak yang berdiri pada tahun 1479 M berdasarkan candrasengkala Geni Mati Siniram Jalmi (Kezhaliman lenyap dikalahkan kebenaran, yang berarti tahun 1401 Syaka atau 1479) setelah jatuhnya Brawijaya V dari tahtanya akibat serangan Prabu Girindrawardana dari kerajaan Kediri pada tahun 1478 M beradasarkan Candrasengkala Sirna Hilang Kertaning Bhumi (yang berarti tahun 1400 syaka atau 1478 masehi) . Kemudian ia mengangkat Raden Patah, putra Brawijaya V, sebagai Sultan pertamanya.

Selain itu, Sunan Ampel juga ikut bersama-sama dengan para Wali yang lain mendirikan masjid Agung Demak pada tahun 1977 M. Para Wali mengadakan pembagian tugas. Keempat tiang “Saka Guru” (tiang penyanggah dari kayu raksasa) dikerjakan oleh Sunan Ampel di bagian tenggara; Sunan Gunung Jati di bagian barat daya; Sunan Bonang di bagian barat laut; dan Sunan Kalijaga di bagian timur laut, berupa  tiang saka tatal (bukan berupa kayu utuh, tetapi dari beberapa pecahan kayu balok yang diikat menjadi satu). Sementara para wali lainnya diberi tugas mengerjakan bagain-bagian masjid yang lain.

Mengenai sikap dan pemikirannya tentang tradisi dan adat istiadat yang sangat kuat dipegangi masyarakat Jawa pada awal proses islamisasi di pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkian agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Sikapnya ini dapat diketahui melalui permusyawaratan para Wali. Solichin Salam dalam bukunya Sekitar Walisongo menjelaskan, bahwa didalam permusyawaratan tersebut Sunan Kalijaga mengusulkan agar tradisi dan adat istiadat Jawa seperti kenduren (selamatan), bersesaji, dan sejenisnya  perlu diteruskan dengan diisi dan diwarnai dengan nafas keislaman. Sunan Ampel bertanya, “Apakah hal itu tidak mengkhawatirkan rusaknya agama Islam di kemudian hari?  Apakah tradisi tersebut nantinya tidak dianggap oleh anak cucu kita sebagai bagian dari ajaran Islam, yang berarti menjadi Bid’ah?”. Sunan Kudus membela pendapat Sunan Kalijaga, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga. Sebab didalam agama Hindu-Budha terdapat beberapa ajaran kemasyarakatan yang sama dengan ajaran Islam, yaitu orang kaya wajib menolong kaum fakir miskin. Mengenai soal yang Tuan khawatirkan, saya yakin kelak tentu ada orang Islam yang akan meluruskannya”. Terdorong oleh semangat toleransi dan persatuan yang kuat, Sunan Ampel akhirnya tidak berkeberatan menerima usulan tersebut. Dan memang sangat berat menghapuskan tradisi dan adat istiadat lama yang sudah mendarahdaging di tengah masyarakat, tidak semudah orang membalik telapak tangannya, karenanya diperlukan kesabaran dan memerlukan waktu yang panjang.

Sedangkan mengenai pemikirannya dalam dunia tasawwuf, dapat dilihat pada sejarah dan kisah Sunan Bonang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar