Jumat, 23 Oktober 2020

HAFSHAH BINTI UMAR - (111)

 

 

Hafshah adalah puteri khalifah kedua, Umar bin Khattba yang dilahirkan di Makkah kira-kira tahun 607 M. Ia termasuk seorang wanita yang selalu taat mengerjakan perintah-perinta  Allah, selalu berpuasa, dan shalat malam tidak pernah ditinggal. Ia pernah dua kali hijrah, baik ke Habasyah maupun ke Madinah. Ia adalah penyimpan mushfa-al-Qur'an pada awal-awal pembukuan al-Qur'an. Sebelum diambil isteri Nabi Muhammad, ia pernah kawin dengan seorang pemuda Islam, pahlawan perang Badar, yaitu Khunais bin Hudzaifah bin Qois bin Ady as-Shahmi.

Perkawinan antara Nabi Muhamamd dengan Hafsah binti Umar merupakan salah satu bentuk dakwah Nabi Muhammad yaitu semata- mata ingin merperkokoh benteng Islam, jadi bukan karena nafsu pribadi beliau.

Setengah riwayat menceritakan Hafshah adalah seorang janda yang baru saja ditinggal meninggal suaminya, Khunais bin Khuzaifah, karena luka-luka akibat pertempuran-pertempuran yang diikutinya. Karena jasa-jasanya kepada Islam itulah, Nabi Muhammad berkenan mengambil isteri Hafshah sepeninggal suaminya. Di samping itu, beliau ingin mengikat satu tali persaudaraan yang erat antara beliau dengan Umar bin Khottob, dan juga ingin membentuk satu benteng Islam yang kokoh melalui mushaharah tersebut.

Pada awalnya,  Umar bin Khottob merasa sedih, karena putrinya yang masih berumur 19 tahun harus menjanda. Ia sangat prihatin dan kasihan kalau puterinya harus kahilangan masa depannya. Apalagi adanya suatu adat kebiasaan di Arab, bahwa adalah aib besar apabila seorang wanita menjanda dan belum mempunyai penggantinya sampai beberapa bulan lamanya. Oleh karena itu,  Umar bin Khattab berusaha mencarikan teman hidup bagi puterinya. Ia berfikir, kalau puterinya sudah dapat pengganti suaminya, maka akan berkurang rasa sedihnya.

Setelah berfikir dan menimbang, Umar bin Khottob memutuskan kalau puterinya lebih baik dinikahkan dengan teman karibnya sendiri, sahabat Nabi  yang terkemuka yaitu Usman bin Affan yang baru saja ditinggal mati oleh isterinya, Ruqayah. Dia coba-coba ke sana, sebab Usman adalah orang yang pantas kalau menjadi suami puterinya. Di hadapan Usman bin Affan, dia mengatakan maksud tujuannya . Usman hanya bisa menunda untuk menjawabnya, sebab dia ingin memikirkannya. Akhirnya Umar bin Khottob pulang.

Beberapa hari kemudian,  Umar menerima jawaban dari Usman bahwa dirinya belum berniat untuk menikah lagi, terutama dalam waktu-waktu dekat ini. Jawaban Usman tersebut menambah kegusaran dan kemarahannya.  

Sebenarnya Umar bin Khatthab sangat marah atas penolakan Usman tersebut, namun dia dapat menahannya. Menurutnya, jika bukan karena Usman sahabat Nabi Muuhammad dan Sahabatnya, pasti dia suda dibunuhnya. Namun Umar masih punya harapan untuk mencarikan jodoh putrinya. Lalu Umar pergi ke rumah Abu Bakar.

Di hadapan Abu Bakar, Umar bin Khatthab bercerita lebih banyak tentang puterinya, dan sekaligus menawarkannya  kiranya Abu Bakar berkenan melamar puterinya. Akan tetapi Abu bakar tidak menanggapi sedikitpun keinginan Umar tersebut.  Abu Bakar lebih banyak membelokkan pembicaraan tersebut di luar masalah puteri Umar. Setiap kali Umar membelokkan kepada masalah puterinya, Abu Bakar kembali membelokkan pembicaraanya pada masalah lain sampai akhirnya Umar merasa jengkel terhadap perlakuan dan sikap Abu Bakar tersebut. Dengan wajah murung, merah mukanya, dia meninggalkan rumah Abu Bakar. Dalam hati Umar,  jika bukan sahabatnya tentu dirinya sudah menumpahkan kemarahannya pada Abu Bakar. Akan tetapi Umar sadar bahwa Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang utama dan juga sahabatnya juga. Umar bin Khottob hanya bisa mengumpat dalam hatinya karena kekecewaannya.

Dia merasa terhina, tawarannya telah ditolak oleh Usman dan Abu Bakar. Oleh karena itu, Umar bin Khatthab keluar dari rumah ingin mengadukan permasalahannya kepada Nabi Muhammad. Sesampai di rumah beliau, Umar bin Khattab menceritakan perihal puterinya dan penolakan Abu Bakar dan Usman tersebut.

Nabi Muhammad hanya tersenyum atas pengaduan Umar tersebut, dan berkatanya, Nabi berkata,  "Hai Umar, ketahuilah bahwa puterimu nanti akan mendapatkan suami yang lebih baik dari Abu Bakar dan Usman, sedangkan Usman akan mendapatkan isteri yang lebih baik daripada puterimu". Umar sempat bingung dan heran atas perkataan yang baru saja didengarnya. Dia menerka-nerka apa yang sesungguhnya dimaksud dengan orang lebih baik daripada Abu Bakar dan Usman, akhirnya Umar mendapatkan jawabannya bahwa yang dimaksud itu adalah Nabi Muhammad sendiri, yaitu akan menikahi puterinya.

Dengan senyum bahagia dan mengucapkan terima kasihnya kepada Rasulullah lalu minta diri meninggalkan rumah Nabi. Selanjutnya, dia menuju rumah Abu Bakar, menyampaikan kabar gembira tersebut. Abu bakar berkata: "Wahai sahabatku, janganlah engkau tersingung dan marah ketika saya tidak menanggapi permintaanmu, sebab saya sendiri pernah mendengar, bahwa menyebut-nyebut nama puterimu, Hafsah. Oleh karena itu, saya tidak ingin membuka rahasia itu, sebelum waktunya tiba". Umar bin Khottob memakluminya, dan keduanya segera ke rumah Nabi membicarakan keperluan-keperluan yang perlu dipersiapkan. Tidak lama kemudian, Hafsah secara resmi menjadi isteri Nabi Muhammad.

Kehadiran Hafshah di tengah-tengah para istri Rasulullah telah membuat Aisyah binti Abu Bakar cemburu kepadanya. Keadaan ini berlangsung sampai kemudian hadir istri-istri yang lain, dan akhirnya Hafshah justru menjadi madu Aisyah yang paling akrab. Akan tetapi, ketika melihat Rasulullah Saw lebih dekat kepada Aisyah dibandingkan kepada istri-istrinya yang lain, Hafshah nampak sering bersedih.

Pada suatu hari Hafshah memprotes tindakan Rasulullah saw dalam berbat adil kepada istri-istrinya, termasuk dirinya. Dan hal inilah yang menjadi beliau sangat sedih, dan tidak keluar dari rumah beberapa hari.

Kejadian tersebut sangat menggelisahkan para sahabat. Oleh karena itu, Umar bin Khatthab yang mendengar kabar itu segera mendatangi putrinya seraya berkata, “Duhai putriku, janganlah engkau terpedaya oleh wanita (Aisyah) yang bangga dengan kecantikannya dan kecintaan rasul kepadanya. Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahwa Rasulullah tidak mencintaimu; dan sekiranya tidak karena aku, niscaya dia telah menceraikanmu.” Kecemburuan Hafshah terhadap Aisyah seperti itu diantaranya disebabkan oleh kemanjaan dan usianya yang masih muda. Akhirnya Rasulullah saw berhasil mendekatkan kembali Hafshah dengan Aisyah.

Ketika Rasulullah saw wafat, Hafshah-lah yang dipilih diantara istri-istri nabi Saw untuk menyimpan naskah pertama al-Qur’an. Hal itu diawali dengan saran Umar kepada Khalifah Abu Bakar as-Siddiq untuk segera menghimpun al-Qur’an yang tercecer di dalam banyak lembaran. Setelah mushaf (kumpulan lembaran) terhimpun, Abu Bakar menitipkannya kepada Hafshah. Demikianlah Mushaf tersimpan dengan aman sampai kemudian Usman mengambilnya untuk diperbanyak menjadi empat  salinan yang dikirim ke berbagai kota dan membakar naskah-naskah yang lain.

Pada akhir hayatnya, Hafshah mengasingkan diri untuk beribadah. Hafshah meninggal pada tahun-tahun pertama pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Ia dimakamkan di Ummahat al-Mu’minin di Baqi’ (sebelah Masjid Madinah).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar