Jumat, 23 Oktober 2020

SUNAN GIRI, RADEN PAKU - (74)

 


Sunan Giri yang memiliki nama asli Raden Paku ini lahir di Blambangan Banyuwangi pada pertengahan abad ke-15, dan wafat di daerah Giri Gresik pada tahun 1035 H/1506 M. Dari pihak ayahnya, ia masih keluarga Alawiyyin yang nasabnya sampai kepada Rasulullah dan dari pihak ibunya, ia adalah cucu dari Raja Blambangan. Ayanya bernama Syekh Maulana Ishak bin  bin Ibrahim Asmoro/Asmarakandi (as-Samarkand, dari negeri Samarkand Asia Tengah, kuburannya di desa Nggesik Tuban) bin Jamaluddin al-Husain bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Abdullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhy bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal ‘Abadin bin Husain bin Ali, suami Fathimah az-Zahra binti Rasulullah Saw. Dari silsilah ini dapat diketahui bahwa Sunan Giri adalah cucu dari Ibrahim Asmoro, yang berarti ia adalah keponakan Sunan Ampel, serta saudara sepupu Sunan Bonang dan Sunan Drajat.

Ayah Sunan Giri, Maulana Ishak yang terkenal dengan julukan ‘Uluwwul Islam, yakni orang Islam yang berada pada puncak kedudukan, karena ia merupakan Guru Besar khususnya di bidang ilmu ketuhanan dan tasawwuf dan menjadi pembina pesantren di Pasai yang santrinya datang dari berbagai penjuru dunia Islam terutama Nusantara, India dan Persia. Syekh Maulana Ishak adalah seorang yang zuhud dan hidup sangat sederhana, yang menghabiskan hidupnya untuk mengajar dan berdakwah ke luar daerah. Selain mengajar, ia juga mengirimkan para santrinya yang memiliki ilmu yang cukup untuk berdakwah di berbagai daerah luar Pasai. Ia sendiri pernah datang ke Jawa dan tinggal beberapa waktu lamanya di kediaman Sunan Ampel, yang kemudian ditugaskan Sunan Ampel untuk berdakwah di kalangan masyarakat dan keluarga istana Blambangan.

Menurut cerita babad, Syekh Maulana Ishak berjasa menyembuhkan putri Raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu yang bernama Rara Sabodi atau yang terkenal dengan nama lain Dewi Sekardadu. Dan atas jasanya ini ia diambil menantu oleh sang Raja untuk diperistrikan dengan Dewi Sekardadu. Selaku seorang muballigh, ia berusaha mengislamkan sang Raja, namun sang Raja tersinggung, mungkin disebabkan caranya berdakwahnya kurang tepat, akhirnya ia diusir dari istana tanpa diperbolehkan membawa serta isterinya yang baru mengandung. Selanjutnya ia pulang ke negeri asalnya, Pasai, untuk mengajar dan membina pesantren di sana. Tidak begitu lama setelah Dewi Sekardadu melahirkan bayi lelaki yang kemudian diberi nama Raden Paku, terjadilah malapetaka, wabah, bala, bencana dan kekacauan di negeri Blambangan. Timbul prasangka buruk bahwa bencana tersebut disebabkan oleh kelahiran cucu sang Raja, maka dilarunglah bayi tersebut ke laut. Bayi Raden Paku dimasukkan kedalam peti lalu dihanyutkan ke tengah laut oleh kakeknya sendiri. Mujur, didekat peti yang terkatung-katung itu berlabuh kapal dagang milik Nyi Ageng Pinatih , seorang janda kaya dari Gresik (makamnya di desa Kebungson Gresik), yang dinahkodai oleh Sayyid Abdurrahman (makamnya di bukit Petukangan, wilayah Giri Gresik). Maka diambillah kotak yang berisi bayi tersebut, lalu dibawa ke Gresik dan dipungut sebagai anak angkat oleh Nyi Ageng Pinatih yang juga dikenal dengan sebutan Nyi Ageng Tandes (karena berkedudukan di Gresik yang dulu terkenal dengan wilayah Tandes)  dan Nyi Ageng Ternate atau Maloka (karena ia menguasai jalur pedagangan sampai ke pulau Maluku). Setelah agak besar, Raden Paku diserahkan  kepada Sunan Ampel untuk dididik agama di pesantrennya. Bahkan di kemudian hari, ia diambil menantu oleh Sunan Ampel dengan putrinya yang bernama Dewi Murthasiyah, hasil perkawinannya dengan Dewi Karimah binti Ki Ageng Supo Bungkul.

Selanjutnya Raden Paku bermaksud ke Makkah untuk berhajji dan memperdalam ilmunya di sana bersama-sama dengan Raden Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel. Di tengah perjalanannya Raden Paku singgah di Pasai untuk mendalami ilmu kepada ayahnya, Maulana Ishak, untuk persiapan belajar di tanah suci. Oleh gurunya, yang sekaligus ayayhnya, Raden Paku diberi gelar ‘Ainul Yaqin disebabkan keberhasilannya mencapai maqam kasy-syaf  dan memperoleh Ilmu Ladunni. 

Seusai belajar dan berhajji, Raden Paku pulang ke Gresik, untuk mengembangkan keilmuannya, disamping membantu kelancaran perdagangan ibu angkatnya. Setelah muridnya semakin banyak, ia meninggalkan perdagangannya dan memusatkan diri mengembangkan keilmuannya dengan membuka pesantren di Giri Gresik. Pada saat itu, Pesantren Giri menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Para santrinya datang dari berbagai penjuru Nusantara, terutama wilayah Nusantara bagian Tengah dan Timur (Madura, Bawean, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Lombok dan sekitarnya). Mereka yang dipandang memiliki ilmu yang cukup kemudian dikirim ke berbagai daerah, khususnya ke luar pulau Jawa.

Sunan Giri terkenal sebagai seorang pendidik, khususnya bagi pendidikan anak-anak. Banyak metode dan media pendidikan anak yang ia ciptakan dalam bentuk permainan dan lagu anak-anak, seperti permainan jitungan, tembang jamuran, gendi gerit, jor, gula ganti, cublek-cublek suweng, ilir-ilir, dan lain-lain. Jika kita cermati artinya, tembang atau lagu ciptaan Sunan  Giri mengandung ajaran Islam yang sangat tinggi. Misalnya tembang Ilir-ilir yang berbunyi :

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir // Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar // Cah angon, cah angon, penekno blombing kuwi // lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro // Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir // dondomono jlumatono, kanggo sebp mengko sore // Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane // Dak sorak-sorak… horee…!”.

Makna yang terkandung sebagai berikut : Makin subur dan tersiar agama Islam. Hijau yang merupakan lambang agama Islam sangat menarim perhatian masyarakat, bagaikan penganten baru, karena masih baru dikenal masyarakat. Wahai penggembala (penguasa/pemimpin), lekas masuk islamlah dan laksanakan shalat lima waktu (dilambangkan dengan blimbing yang memiliki segi berjumlah lima). Meskipun sulit dan berat, tetap laksanakanlah untuk mensucikan “dodotiro” (pakaianmu), yakni kepercayaan, jiwa dan hati Anda yang kotor. “Dodotiro”  atau kepercayaan, jiwa dan hati Anda yang robek (karena dirusak oleh kepercayaan lama, atau dosa dan maksiat), perbaikilah kembali, untuk persiapan menghadap ke hadirat Tuhan pada akhir hayat nanti. Mumpung masih hidup dan mumpung punya kesempatan yang luas untuk bertaubat. Bergembiralah dan berbahagialah bagi orang-orang yang mensucikan diri.

Tembang Ilir-ilir di atas sementara pihak ada yang mengaitkannya dengan ciptaan Sunan Kalijaga. Oleh karena Sunan Giri sangat terkenal gemar menciptakan tembang dan permainan untuk pendidikan anak-anak, maka sangat besar kemungkinannya bahwa tembang di atas ciptaan Sunan Giri. Jika tidak demikian, paling tidak, tembang tersebut diciptakan pada jaman Walisongo. Masalah siapa penciptanya, bukan persoalan penting.

Kewibawaan dan pengaruh Sunan Giri sangat besar terhadap roda pemerintahan Islam di Demak. Hampir tidak ada persoalan besar dan penting yang tidak dimintakan fatwanya terlebih dahulu kepada Sunan Giri. Bahkan menurut cerita babad, Sunan Giri-lah yang menjadi hakim pemutus dalam kasus cerita Seh Siti Jenar. Dan di kalangan kelompok Walisongo, Sunan Giri termasuk wali yang yang dituakan oleh para wali yang lain, yang menduduki peringkat kedua setelah Sunan Ampel. Bahkan di bidang politik, ia digelari  dengan Tetunggul Khalifatullah, yang menjadi Raja bagi kaum muslimin. Di samping itu, Sunan Bonang pun juga salah satu tetua Walisongo, namun ia lebih dipandang sebagai pemimpin yang menguasai dan mengatur bidang Ngelmu, atau sebagai Panatagama. Karenanya, Sunan Bonang digelari dengan Prabu Hanyakrakusuma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar