Jumat, 23 Oktober 2020

Sahabat ALI BIN ABI THALIB R.A. - (53)



Ali (Haidar) bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf adalah khalifah ke empat dari khulafaurrasyidin. Lahir di Makkah tahun 603 M. dan meninggal di Kufah 17 Ramadhan 40 H/ 24 Januari 661 M.

Sewaktu lahir, Ali bin Abi Thalib diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muttalib. Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hisyam bin Abdi Manaf.

Pada usia enam tahun, Ali diambil sebagai anak oleh Rasulullah, sebagaimana beliau pernah diasuh ayahnya. Ketika agama Islam lahir, ia baru berusia sembilan tahun. Ia adalah orang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak, dan yang ke dua setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah. Sebagai anak asuh Rasulullah, ia banyak menimba ilmu pengetahuan agama Islam, sehingga ia termasuk salah seorang sahabat yang paling menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman, diantara para sahabat, terutama dalam masalah Aqidah.

Selama di Makkah, Ali bin Abi Thalib memerankan diri sebagai seorang muslim dan pemuda yang benar-benar berjuang menegakkan agama Islam, Ia pernah ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut. Dengan cara itu Rasulullah SAW dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota Makkah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.

Setelah mendengar Rasulullah SAW dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW, ketika itu Fathimah  berusia 15 tahun.

Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya dapat menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi SAW) bernama “Zul Fiqar”. Ia turut serta pada hampir semua peperangan yang diikuti Nabi SAW kecuali perang Tabuk, karena ia diberi tugas oleh beliau menjaga kota Madinah dan keluarga beliau. Selain itu, ia selalu menjadi andalan pada barisan terdepan dalam setiap pertemuan.

Ali  juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi SAW, “Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya.” Karena itu nasehat dan fatwanya selalu didengar para khalifah sebelumnya. Ia selalu ditempatkan pada jabatan kadi atau mufti.

Ali dikenal sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan dirinya, melainkan juga kepada putra-putrinya.

Ketika Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah pertama, Ali tidak segera membaiatnya, dikarenakan perbedaan pandangan tentang pengertian khalifah Rasulullah dan baru membaiatnya sepeninggal Fatimah, 6 bulan setelah meninggalnya Rasulullah. Setelah itu, ia menjadi salah seorang penasehat Abu Bakar dan menjadi Hakim Agung di Madinah.

Pada Akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk menjadi anggota Majlis asy-Syura, suatu forum yang membicarakan soal penggantian khalifah. Forum ini beranggotakan enam orang. Kelima orang lainnya adalah Usman bin Affan, Talhah bin Abi Waqqas, dan Abdur Raman bin Auf. Hasil musyawarah menentukan Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.

Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, Ali banyak mengritik kebijaksanaannya yang dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya (nepotisme). Ali menasehatinya agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan dengan mengatas namakan dirinya. Namun, semua nasehat  itu tidak diindahkannya. Akibatnya, terjadilah suatu peristiwa berdarah yang berakhir dengan terbununya Usman.

Setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Ali menolaknya karena masalah khalifah adalah urusan para tokoh-tokoh ahl asy-Syura (ahli hal wal aqd) bersama para pejuang perang Badar.

Setelah para tokoh tersebut rapat, ahkhirnya Ali dibaiat menjadi khlifah keempat menggantikan khalifah Usman bin Affan. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembaitan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijjah 33 di Masjid Madinah seperti pebaiatan para khalifah pendahulunya.

Lima langkah yang ditempuh Ali setelah dibaiat menjadi khalifah yaitu ; 1.) memecat para pejabat yang diangkat Usman, termasuk di dalamnya beberapa gubernur dan menunjuk penggantinya. 2.) mengambil tanah yang telah dibagikan Usman kepada keluarga dan kaum kerabatnya tanpa alasan yang benar. 3.) memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari baitulmal, seperti yang pernah dilakukan Abu Bakr; pemberian dilakukan secara merata tanpa mempedakan sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dan yang masuk belakangan. 4.) mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat; dan 5.) meninggalkan kota Madinah dan menjadikan Kufah sebagai pusat pemerintahan.

Masa pemerintahan Ali diwarnai berbagai pemberontakan. Pemberontakan pertama dilakukan oleh Talhah, Zubair dan Aisyah binti Abu Bakr. Ketiga orang ini menuntut bela atas kematian Usman. Menurut mereka, Ali bermasalah karena tidak mau menghukum para pemberontak yang menewaskan Usman, bahkan Ali didukung oleh kaum pemberontak itu. Untuk melawan Ali, ketiga orang itu meminta bantuan tentara dari Basra dan Kufah. Di kedua kota ini terdapat banyak pendukung Usman.

Pertemuan dua pasukan tersebut dikenal dengan “Perang Jamal” yang kesudahannya dimenangkan oleh pihak Ali dan terbunuhnya ± 10.000, kedua belah pihak termasuk Zubair bin Awwan dan Talha.

Pemberontakan kedua datang dari kelompok Mu’awiyah bin Abu Sufyan, kerabat dekat Usman. Di masa Usman, Mu’awiyah diangkat menjadi gubernur di Damaskus. Ketika Ali diangkat manjadi khalifah, Mu’awiyah dipecat karena tidak mau mengakui ke khalifahannya. Oleh karena itu, terjadilah pertempuran antara Ali yang didukung 80.000 pasukan melawan pasukan Mu’awiyah yang didukung 90.000 prajurit. Pertempuran ini disebut “Perang Siffin”, yang melahirkan suatu perdamaian yaitu “at-Tahkim”.

Perundingan damai berlangsung pada bulan Ramadhan 34 H. Setiap pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru penengah) dalam perundingan. Dari pihak Mu’awiyah ditunjuk Amr bin Ash, sedang dari pihak Ali semula diusulkan Abdullah bin Abbas, tetapi pilihan Ali diprotes oleh sebagian tentaranya dengan alasan bahwa ia adalah kerabat Ali, putra pamannya. Akhirnya dengan berat hati Ali menyetujui Abu Musa al-Asy’ari.

Kedua hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangat berbeda . Amr bin As dikenal pandai dalam mempergunakan siasat dan tipu muslihat, sementara Abu Musa adalah orang yanng lurus, rendah hati, dan mengutamakan kedamaian.

Seusai perundingan, Abu Musa sebagai yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Maka, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian Ali dari Jabatannya dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum muslimin.Tetapi ketika giliarannya tiba, Amr bin As menyatakan persetujuannya atas pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan khalifah bagi Mu’awiyah. Amr bin Ash menyalahi kesepakatan semula yang dibuatnya bersama Abu Musa, yaitu masing-masing menyetujui pemberhentian Ali maupun Mu’awiyah, agar tidak terjadi pertumpahan darah. Perundingan ini meskipun antara Ali dan Mu’awiyah berhenti namun ditahun-tahun kemudian terjadi lagi perang antar keduanya.

Pemberontakan ketiga datang dari aliran Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan Ali dalam menumpas pemberontak Mu’awiyah, tetapi kemudian keluar dari barisan Ali karena tidak setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak Mu’awiyah. Karena mereka keluar dari barisan Ali, mereka disebut “Khawarij” (orang-orang yang keluar). Jumlah mereka ribuan orang. Dalam keyakinan mereka, Ali adalah Amirulmukminin dan mereka yang setuju untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya Tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia. Oleh sebab itu, semboyan mereka adalah la hukman illa billah (tidak ada hukum kecuali bagi Allah). Ali bersama pasukannya akhirnya dapat menumpas gerakan mereka, meski tindakannya ini menjadikan terbunuhnya Ali sendiri yang dilakukan oleh orang-orang Khawarij.

Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat, yaitu Ali, Muawiyah dan Amr bin As. Pembunuhnya ditetapkan tiga orang yaitu : Abdurrahman bin Muljam ditugaskan membunuh Ali di Kufah, Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu’awiyah di Syam dan Amr bin Bakar at-Tamimi ditugaskan membunuh Amr bin As di Mesir. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia menusuk Ali dengan pedangnya ketika Ali akan salat subuh di Masjid Kufah. Ali menghembuskan nafas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan sebagai khalifah selama lebih kurang 5 tahun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar