Sejak kecil Abu Abdillah bin Jumhur tumbuh dalam
ketaatan beribadah kepada Allah. Ia alim dan pandai dalam yurisprudensi atau
fiqih, membaca Al-Qur’an dan bahasa Arab. Apabila mengadakan perjalanan dengan orang
lain, ia bersikeras agar menjadi pemimpin mereka, mereka harus mematuhinya dan
ia yang menaggung dan memikul beban mereka di atas pundaknya sendiri dan dengan
demikian meringankan beban mereka.
Abu Abdillah bin Jumhur hidup sezaman dengan Abu ‘Ali Al-Syakkaz dan
Abu ‘Abdillah Al-Khayyath, yang keduanya adalah seorang yang banyak ibadah. Ia
belajar al-Quran dan tata bahasa Arab, tetapi bukan prosodi (ilmu tentang syair
dan sajak – penerjemah). Dituturkan ia adalah salah seorang yang rukuk dan
sujud hingga akhir hayatnya (QS.9:112).
Ia berhati berani tetapi lemah tubuhnya, pucat roman mukanya dan sangat keras
pada dirinya sendiri. Apabila seseorang menasehatinya agar ia berlaku lebih
lembut dan lunak lagi kepada jiwanya, ia menjawab bahwa justru untuk memperoleh
kasih sayang Allah ia berusaha dan berjuang begitu keras. Di malam hari, ia
bangun dan membaca surat-surat Al-Quran sampai ia jatuh dan roboh karena lelah.
Barulah pada saat itu ia akan berbaring tidur, sambil berkata kepada dirinya
sendiri, “Wahai pipiku, karena kini engkau beralaskan bantal empuk, kelak
sesudah mati kau akan beralaskan batu keras. Setelah itu, ia bangkit lagi,
seolah-olah digigit ulat dan berdiri mengerjakan shalat di atas sajadahnya
hingga pagi hari.
Sebagai seorang zahid dan seorang ‘arif
yang mengasingkan diri dari manusia, Abu Abdillah bin Jumhur bergaul akrab dengan Allah serta berusaha
bersatu dengan-Nya, mencintai semua orang yang setia dan patuh kepada Allah
serta kitab-Nya. Allah mengambilnya dari kehidupan di saat ia berada di puncak
ketinggian spiritual. Sering kali ia berkata kepada dirinya sendiri, Usaha dan
jerih payahku tidak bakal berhenti sampai akan mati. Ketaatannya beribadah
kepada Allah tak terkalahkan oleh siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar