Umar Menghukum Dirinya Sendiri
Ketika Umar sedang sibuk dengan
pekerjaannya, datang seseorang seraya berkata, “Hai Umar, si fulan menzhalimi
saya. Hendaknya engkau menghukum si fulan itu”.
Mendengar
pengaduannya, Umar mengambil cambuk dan memukuli orang tersebut sambil berkata,
“Kemarin aku sudah duduk menunggumu dan menyediakan waktuku untuk mengurus
persoalannya, ternyata kamu tidak datang. Sekarang, di saat aku sedang sibuk
dengan urusan lain, kamu datang meminta bantuanku untuk menyelesaikan
urusanmu”.
Orang itu lalu pergi.
Kemudian Umar menyuruh seseorang untuk memanggil orang yang mengadukan
persoalnnya tersebut. Setelah datang, Umar memberikan cambuk kepada orang
tersebut sambil berkata, “Balaslah aku dengan cambuk ini”
“Aku sudah memaafkan
tindakanmu kepadaku, semata-mata karena Allah swt”, jawab orang tersebut.
Umar cepat-epat
pulang ke rumahnya, lalu shalat sunnah dua rekaat, dan terus menghukum dirinya
sendiri : “Hai Umar, dahulu kedudukanmu rendah, sekarang kamu ditinggikan Allah
swt Dulu kamu sesat, lalu Allah swt memberimu hidayah. Dulu kamu hina, lalu
Allah swt memberimu kemuliaan dan menjadikanmu seorang Raja bagi kaum muslimin.
Sekarang, seorang lelaki datang kepadamu sambil mengadukan persoalnnya, agar si
fulan yang menzhaliminya dihukum, namun kamu justru memukulinya. Pada hari
kiamat nanti, apa yang akan kamu pertanggungjawabkan di hadapan Tuhanmu?”.
*
* * * * * * * *
Sering
Membaca Al-Qur`an Sambil Menangis.
Setiap
kali shalat shubuh, Umar selalu membaca surat-surat yang panjang setelah
Fatihah. Terkadang membaca surat al-Kahfi, Thaha, dan surat panjang lainnya.
Sewaktu membaca ayat-ayatnya, sering kali dibaca sambil menangis sampai
terdengar oleh makmum yang berada di shaf paling belakang.
Suatu
ketika dia membaca surat Yusuf, sesampainya pada bacaan ayat :
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ya`qub
menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan
kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya."
(QS Yusuf,[12] : 86)
Umar menangis
terisak-isak smpai suara bacaan ayatnya tidak terdengar oleh makmumnya.
Demikian pula didalam shalat-shalat
tahajjudnya, terkadang Umar terus membaca ayat-ayat Al-Qur`an itu sambil
menangis, yang terkadang menyebabkannya jatuh pingsan atau sakit.
* * * * * *
Kecintaannya yang sangat mendalam kepada
Rasulullah saw.
Meskipun memiliki
kebernian yang luar biasa, namun Umar tidak mampu menahan kesedihannya sewaktu
Rasulullah saw wafat. Bahkan saat itu ia sampai tidak sadarkan diri. Dia
berdiri sambil mengacung-acungkan pedangnya kepada orang yang berani mengatakan
bahwa beliau saw wafat. “Barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad saw telah
wafat, akan aku penggal lehernya. Beliau saw saat ini sedang menemui Tuhannya,
sebagaimana Nabi Musa as menemui Tuhannya di bukit thursina, Sebentar lagi
beliau saw akan kembali kehadapan kita. Orang yang membawa berita bohong
tentang kematiannya, tentu ia akan aku potong tangan dan kakinya”, ancamya.
Ketidaksadaran Umar
sampai ia mengeluarkan ancaman tersebut adalah disebabkan sangat dalamnya rasa
cintanya kepada beliau saw.
Sementara para
sahabat yang lain pun juga merasa sangat sedih dengan kematian beliau saw.
Hanya Abu Bakar ash-Shiddiq yang memiliki kesabaran dan ketabahan yang sangat
tinggi. Begitu mendengar berita wafatnya beliau saw, Abu Bakar langsung datang
ke kediaman beliau saw dengan tenang, lalu masuk ke kamar dan mencium kening
beliau saw. Setelah itu dia keluar menemui Umar bin Khatthab sambil berkata,
“Tenanglah kamu. Sekarang duduklah”. Selanjutnya Abu Bakar berpidato di hadapan
para sahabat yang sedang susah dan bingung dengan ancaman Umar tersebut.
“Barangsiapa yang
menyembah Muhammad saw, ketahuilah bahwa Muhammad saw sekarang sudah wafat. Dan
barangsiapa yang menyembah Allah swt, sungguh Allah swt Maha Hidup dan tidak
akan pernah mati”, isi pidato Abu Bakar. Lalu diteruskan dengan membaca ayat
144 surat Ali Imran :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ
خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى
أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke
belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.”
Mendengar pidato Abu
Bakar tersebut, Umar menjadi sadar kembali dan berkata kepada Abu Bakar,
“Seolah-olah aku belum pernah membaca ayat tersebut…”.
*
* * * * * * *
Bertabarruk dengan Makam
Rasulullah saw.
Sewaktu sakit
menjelang wafatnya, Umar mengutus putranya, Abdullah, agar menemui ‘Aisyah,
“Temuilah Ummul Mukminin, ‘Aisyah. Sampaikan kepadanya salam dari Umar.
Jangan kamu katakan salam dari Amirul Mukminin. Karena hari ini aku tidak
mengatasnamakan sebagai Amirul Mukminin. Katakan kepadanya, bahwa Umar
bi Khatthab memohon ijin agar jenazahnya nanti diperkenankan dikubur di samping
jenazah kedua sahabatnya yang tercinta, Rasulullah saw dan Abu Bakar”.
Abdullah bin Umar
segera melaksanakan perintah ayahnya. Sesampainya di depan rumah ‘Aisyah, dia
mengucapkan salam sambil memohon
diperkenankan masuk kedalam. Setelah masuk, Aisyah ditemukannya dalam keadaan
menangis. Beberapa saat kemudian, dia berkata kepadanya, “Umar bin Khatthab
menyampaikan salam untukmu dan memohon ijin kepadamu agar jenazahnya nanti
diperkenankan dikubur di samping jenazah kedua sahabatnya yang tercinta”.
‘Aisyah menegaskan
kepada Abdullah bin Umar, “Sebenarnya saya sendiri juga ingin dikubur di tempat
ini, di samping suami dan ayah saya. Sesungguhya pada hari ini, aku utamakan
untuk diriku sendiri”.
Selanjutnya Abdullah
bin Umar kembali ke rumah utuk menemui ayahnya. Umar nampaknya tidak sabaran,
lalu berkata kepadanya, “Apa jawaban yang kamu bawa dari ‘Aisyah?”
“Seperti yang engkau
inginkan, wahai Amirul Mukminin. Dia mengijinkanmu”, jawab putranya.
“Alhamdulillah.
Tiada yang lebih penting bagiku selain keinginanku agar jenazahku nanti dikubur
di samping jenazah Rasulullah saw dan Abu Bakar. Jika nanti aku benar-benar
wafat, bawalah jenazahku ke sana, lalu ucapkanlah salam kepada ‘Aisyah dan
katakan sekali lagi kepadanya, bahwa Umar meminta ijin agar jenazahnya dikubur
di tempat itu, Jika dia tidak menginjinkan, bawalah jenazahku untuk dikubur di
pekuburan kaum muslimin”, komentar Umar bin Khatthab.
Kisah di atas
diketengahkan oleh imam al-Bukhari didalam kitab Shahih-nya, pada bagian
Kitabul Janaiz, bab Ma ja-a fi qabrin Nabiy, yang dikutip oleh DR
Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki didalam bukunya, Mafahim Yajibu an Tushahhaha,
didalam sub bab yang menjelaskan persoalan tabarruk.
*
* * * * * * * *
Umar
dan Seorang Gadis Shalihah.
Pada
suatu malam, khalifah Umar bin Khatthab melakukan ronda keliling ke desa-desa,
hingga sampai di suatu perkampungan. Di sana, Umar mendengar suara dialog
seorang ibu dengan anak gadisnya di sebuah rumah, lalu berhentilah sekedar
ingin mendengar isi dialog mereka.
“Hai
putriku, bangunlah dan segera campuri susu perahan ini dengan air”, kata ibu
kepada anak gadisnya.
“Ibu,
saya tak sanggup melakukannya. Apakah ibu tidak memperhatikan peringatan Amirul
Mukminin agar tidak mencampur susu dengan air? Kalau perintah ibu ini aku
lakukan, berarti aku telah melakukan maksiat dan tidak taat kepada Allah swt di
tempat sepi”, jawab anak gadisnya.
Rumah
tersebut diberi tanda khusus oleh Umar. Kemudian dia melanjutkan ronda
kelilingnya. Pada hari berikutnya, dia menyuruh putranya yang bernama ‘Ashim
agar segera pergi meminang seorang gadis yang jujur sebagaimana kisah di atas.
Karena Umar tahu benar, bahwa gadis tersebut memiliki sifat-sifat dan cici-ciri
sebagai wanita shalihah, yang memiliki keteguhan hati, berbudi pekerti yang
luhur, dan taat beragama.
* * * * * * *
Menghukum
Anak Gubernur.
Pada
suatu hari, si fulan, salah seorang penduduk Mesir yang beragama kristen datang
ke kota Madinah, dengan maksud hendak mengadukan kepada khalifah Umar tentang
perlakukan zalim yang dilakukan anak Gubernur Mesir, Amr bin Ash, kepada
dirinya.
“Wahai
Amirul Mukminin, pada suatu hari di kota Mesir diadakan lomba ketangkasan dan
saya ikut. Kebetulan saya menang dan dapat mengalahkan seorang anak Gubernur.
Namun, anak itu malah marah kepadaku sambil berkata, ‘Kenapa kamu mengalahkan
aku. Tidak tahukah, bahwa aku ini anak Gubernur!’. Saya benar-benar sakit hati
karena dipermalukan di depan umum. Akhirnya orang-orang yang menyaksikan
peristiwa ini menyarankan agar saya mengadukan kejadian ini kepada Amirul
Mukminin”, katanya kepada Umar.
Mendengar
pengaduannya itu, khalifah Umar bin Khatthab sangat marah, lalu mengirimkan
sepucuk surat kepada Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, agar dia dan anaknya segera
datang ke Madinah menemuinya.
Amr
bin ‘Ash benar-benar sangat ketakutan, karena ia tidak merasa berbuat salah.
dan merasa heran, kenapa harus dengan putranya. Demi memenuhi undangan Amirul
Mukminin, ia dan putranya datang segera ke Madinah pada hari itu juga.
Sesampainya di Madinah, tanpa basa basi Amirul Mukminin berkata kepadanya,
“Sejak kapan kamu memperbudak rakyat Mesir. Padahal mereka dilahirkan ibunya
dalam keadaan merdeka!”.
Selanjutnya
Amirul Mukminin Umar menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, dan langsung
saja menyerahkan cemeti kepada si fulan seraya berkata, “Pukul saja anak
gubernmu itu!”.
Setelah
perintah Amirul Mukminin itu dilaksanakannya, ia diperintah sekali lagi,
“Pukullah ayahnya, karena seorang anak tidak akan berbuat zhalim kecuali
disebabkan oleh kekuasaan ayahnya”.
Namun
si fulan tersebut menolak perintah Amirul Mukminin dan mau memaafkan kesalahan
Amr bin ‘Ash dan anaknya.
* * * * * * *
Amirul
Mukminin dan Pelayannya.
Amirul
Mukminin Umar bin Khatthab memenuhi undangan untuk menerima penyerahan kota
suci Baitul Maqdis atau Jerussalem (“Darussalam”) langung dari tangan
petinggi agama nasrani, Uskup Agung Sophronius.
Amirul
Mukminin Umar datang dari Madinah ke kota tersebut tanpa dikawal oleh pasukan
khusus, hanya ditemani seorang pelayan dengan mengendarai seekor onta. Karena
kendaraannya hanya seekor onta, sebelum berangkat Amirul Mukminin bersepakat
dengan pelayannya untuk menaiki kendaraan tersebut secara bergantian setiap
mencapai jarak tertentu selama dalam perjalanannya.
Mula-mula
Amirul Mukminin Umar yang lebih dahulu naik onta, sementara pelayannya yang
menuntunnya. Setelah mencapai jarak seperti yang disepakati sebelumnya, ganti
pelayannya yang naik dan Umar yang menuntunnya. Begitu seterusnya hingga sampai
di kota Baitul Maqdis.
Tepat
memasuki perbatasan kota, giliran pelayannya yang naik dan Amirul Mukminin yang
menuntun. Baru beberapa langkah berjalan, datanglah panglima tentara Islam, Abu
Ubaidah bin Jarrah, dengan didampingi oleh panglima Khalid bin Walid dan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ketiga panglima ini sengaja datang menjemput Amirul
Mukminin dengan mengenakan pakaian kebesaran ala Romawi, dengan mengendarai
kuda pilihan. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga gengsi di hadapan pembesar
Romawi.
Amirul
Mukminin sangat terkejut dengan perubahan sikap dan cara berpakaian mereka.
Sebaliknya, mereka pun sangat heran dan malu melihat seorang Amirul Mukminin,
pemimpin tertinggi kaum mukminin, datang sendirian hanya ditemani seorang
pelayan dan naik seekor onta, bukan kuda pilihan. Yang lebih memalukan lagi,
pikir mereka, Umar berpakaian kumal dengan dua belas tambalan, sebagaimana yang
biasa dipakainya sehari-hari, dan lagi dalam keadaan sedang menuntun onta.
Pikir mereka, kondisi semacam ini nanti justru akan menurunkan derajat Amirul
Mukminin dan menjadi bahan di hadapan para pembesar Romawi.
Untuk
itu, Abaidah bin Jarrah memberanikan diri menegur Umar, “Wahai Amirul Mukminin!
Seluruh pejabat dan pembesar Romawi, beserta Uskup Agung dan seluruh Pastur,
sudah siap menyambut kedatangan engkau. Namun, bagaimana jika mereka nanti
melihat engkau tetap seperti ini?”
“Mengapa?”,
tanya Umar pura-pura tidak tahu.
“Engkau
seorang Khalifah. Tidak pantas jika engkau berpenampilan seperti ini,
berpakaian tambalan sambil menuntun onta. Sementara pelayanmu enak-enak
nongkrong di atas onta yang engkau tuntun”, kata Abu Ubaidah.
“Allah
swt memuliakan aku disebabkan oleh Islam. Aku tidak perduli dengan ejekan
mereka nanti”, jawab Umar sambil membungkuk dan mengambil tanah lumpur dengan
tangannya, lalu melemparkannya ke arah ketiga panglima Islam tersebut, sehingga
pakaian mereka menjadi kotor. Selanjutnya
Umar
mencaci dan memarahi mereka habis-habisan, serta mencela cara berpakaian mereka
yang dianggapnya sudah berubah dan meniru-niru gaya berpakaian ala Romawi. Umar
menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu bertentangan dengan semangat api
Islam yang memerintahkan kepada umatnya agar berpola hidup sederhana dan zuhud,
dengan menjadikan kemewahan duniawi sebagai “sarana”, bukan “tujuan”. Nilai
kemuliaan seseorang terletak pada segi ketakwaannya kepada Allah swt dan bukan
pada penampilan lahiriahnya.
Setelah
kemarahan Umar berangsur-angsur mereda, panglima Abu Ubaidah bin Jarrah
berusaha menjelaskan, bahwa mereka berpakaian ala Romawi adalah sekedar untuk
menjaga gengsi dan martabat pasukan Islam di hadapan pembesar Romawi. Namun
demikian, Umar tetap saja menolak pola pikir mereka tersebut dan menegaskan
akan tetap berpenampilan sebagaimana apa adanya, sederhana dan zuhud.
* * * * * * *
Menerima
Penyerahan Kota Baitul Maqdis.
Amirul
Mukminin Umar dan pelayannya yang tetap dalam keadaan seperti di atas
diantarkan oleh para panglimanya ke tempat upacara penyerahan kota. Sesampainya
di sana, seluruh rakyat, para pembesar dan pejabat Romawi, beserta Uskup Agung
dan para pasturnya, mengelu-elukan kedatangan Amirul Mukminin. Yang mereka
elu-elukan justru pelayan Umar yang berada di atas onta. Mereka baru tahu sosok
Amirul Mukminin yang sebenarnya setelah para pasukan Islam menyambut,
menghormati dan merangkul Umar bin Khatthab yang sedang menuntun onta itu,
bukan seseorang yang berada di aas onta. Di samping itu, Abu Ubaidah memperkenalkan
bahwa orang yang menuntun onta itulah Amirul Mukminin, Khalifah Umar bin
Khatthab.
Para
pembesar, Uskup dan Pastur dan seluruh rakyat merasa salah lihat. Mereka
tercengang sekaligus menaruh rasa simpati yang begitu besar dan memberikan
hormat yang begitu tinggi kepada seorang Amirul Mukminin, pimpinan tertinggi
ummat Islam, yang sangat sederhana, zuhud dan tawadhu’ tersebut. Namun di balik
kesederhanaan, kezuhudan dan ketawadhu’annya itu terpancar cahaya keluhuran
budi dan pandangan jauh ke depan. Jauh berbeda dengan pola sikap pejabat Romawi
yang gila pujian, bergaya hidup mewah, boros, bertampang angker, tidak toleran,
serta suka memaksakan kehendak dan zalim.
Setelah
kota Baitul Maqdis diserahkan secara langsung oleh Uskup Agung Sophronius,
khalifah Umar bin Khattab berpidato di hadapan mereka yang hadir, yang intinya
menyerukan agar semua penduduk dapat hidup berdampingan secara damai, kebebasan
beragama dan menjalankan aktifitas ibadah sesuai dengan agamanya dijamin
sepenuhnya oleh pemerintah Islam. Penegasan Umar ini membuat semua penduduk
merasa senang, gembira dan simpatik kepada pemerintahan Islam, bahkan tidak
sedikit di antara mereka yang di kemudian hari menyatakan masuk Islam secara
suka rela.
Khalifah
Umar selanjutnya diajak berkeliling kota mengunjungi tempat-tempat yang mereka
sucikan dan tempat bersejarah lainnya, dengan diiringi oleh para pembesar
Romawi, Uskup Agung dan para pastur, sampai tiba waktu shalat zhuhur. Uskup
Sophronius menawarkan kiranya khalifah berkenan mempergunakan salah satu geraja
terbesar yang dibangun oleh kaisar Heraklius sebagai tempat shalat. Namun
dengan tidak mengurangi rasa hormatnya kepada Uskup, Umar menolak tawarannya
yang ramah itu secara halus, seraya berkata kepadanya, “Kalau saya shalat
didalam gereja ini, saya khawatir, jangan-jangan kaum muslimin yang datang di
kemudian hari akan merampas gereja tuan-tuan, lalu menjadikannya sebagai
masjid”.
Sebagai
jalan keluarnya, Umar kemudian memilih lokasi tanah lapang di samping gereja
tersebut untuk dijadikan sebagai tempat shalat berjamaah bersama-sama dengan
tentara Islam. Dan di atas tanah lapang itulah nantinya akan didirikan sebuah
masjid agung yang lebih dikenal dengan “Masjid Umar”.
* * * * * *
Hidup Sederhana dari Tunjangan Baitul Mal
Umar
bin Khatthab mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari dengan berdagang.
Namun, ketika menjadi seorang khalifah, Umar mengumpulkan rakyat di Madinah,
lalu berkata kepada mereka, “Sebelum ini, aku bekerja sebagai pedagang.
Sekarang kalian memberiku tugas mengurusi kalian, sehingga aku tidak bisa
meneruskan perdaganganku. Lalu, bagaimana dengan mata pencarianku sekarang, dan
dari mana aku memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluargaku?”
Para
hadirin memberikan jalan keluar agar penghasilannya diambilkan dari Baitul Mal,
sebagaimana yang berlaku semasa kekhalifahan Abu Bakar. Namun mereka berbeda
pendapat mengenai besarnya gaji yang sepantasnya diberikan kepada Umar. Ali bin
Abi Thalib hanya diam menanggapi masalah ini. Selanjutnya Umar mendekati Ali
seraya berkata, “Apa Usulmu, wahai Ali?”
“Ambillah
uang dari Baitul Mal sekedar untuk bisa mencukupi kebutuhan keluargamu saja!”,
jawab Ali.
Usulan
Ali sangat disetujui Umar. Maka ditentukanlah sendiri olehnya besarnya gaji
tunjangannya. Tak lama kemudian, beberapa orang sahabat terkemuka yang antara
lain Usman, Ali, Zubair dan Thalhah bermaksud ingin mengusulkan agar gaji
tunjangannya ditambah lagi, karena gaji itu nampaknya terlalu sedikit. Namun,
tidak seorang pun diantara mereka yang berani mengemukakannya secara langsung
kepadanya. Akhurnya mereka memutuskan untuk menemui Hafshah, putri Umar, seraya
meminta kesediannya sebagai mediator untuk menyampaikan usulan mereka kepada
ayahnya, tanpa menyebutkan nama-nama mereka. Dan Hafshah menyanggupinya.
Sewaktu
Hafshah menyampaikan usulan tersebut, Umar justru sangat marah, sambil berkata,
“Siapakah yang mengajukan usulan ini?”
“Katakan
dulu pendapatmu”, kata Hafshah.
Umar
bin Khatthab lantas berkata, “Seandainya aku tahu orang-orang yang mengusulkan
tersebut, tentu akan aku “tempeleng” (pukul) kepala mereka. Sekarang, coba kamu
ceritakan kepadaku, bagaimana pakaian Rasulullah saw yang paling bagus yang
pernah beliau miliki?”
Jawab
Hafshah, “Beliau saw memiliki dua lembar baju berwarna merah yang biasa beliau
pakai pada hari jumat atau ketika menerima tamunya”.
“Coba
jelaskan, makanan apa yang paling lezat yang pernah beliau saw makan di
rumahmu?”, tanya Umar.
”Roti
yang terbuat dari bahan tepung kasar, lalu dicelupkan ke minyak mentega. Kami
memakannya selagi masih panas dan melipatnya beberapa lipatan. Pada suatu hari,
aku pernah mengolesi sekerat roti dengan sisa-sisa mentega yang ada didalam
sebuah kaleng yang hampir kosong, lalu aku suguhkan kepada beliau saw, dan
beliau saw pun memakannya dengan penuh nikmat. Malahan, beliau ingin
membagi-bagikannya kepada orang lain”, jawab Hafshah.
Umar
berkata, “Hai Hafshah, sekarang pergilah dan kepada mereka, bahwa Rasulullah
saw telah menetapkan satu contoh kehidupan yang harus aku ikuti. Permisalanku
dengan kedua orang, yakni Rasulullah saw dan Abu Bakar, adalah seperti tiga
orang musafir yang pergi melalui sebuah jalan yang sama. Orang pertama, dengan
melalui jalan tersebut, telah sampai ke tempat yang dituju. Orang kedua, dia
mengikuti orang pertama, sehingga ia sampai ke tempat yang dituju. Dan orang
ketiga, dia sekarang baru memaulai perjalanannya. Jika ia menempuh jalan yang
telah ditempuh oleh mereka berdua, maka ia akan berjumpa dengan kedua musafir
tersebut di tempat tujuan. Sedangkan jika ia tidak menempuh jalan sebagaimana
yang dilewati oleh mereka berdua, sudah barang tentu ia tidak akan sampai ke
tempat tujuan mereka berdua”.
* * * * * * *
Makanan dan pakaian Umar
Pada
suatu saat, ketika Umar sedang makan, datanglah Utbah bin Abi Farqad yang ingin
menemuinya. Setelah diijinkan masuk, Utbah diajak makan bersama. Ternyata
makanan yang ditawarkan Umar kepadanya berupa roti yang keras dan tebal, sampai
dia sulit sekali menelannya.
“Mengapa
roti engkau tidak dipilihkan dari bahan tepung yang baik lagi?”, tanya Utbah
bin Abi Farqad.
“Apakah
semua orang Islam dapat memakan roti dari bahan tepung yang baik?”, Umar balik
bertanya.
“Tidak
semuanya”, jawab Utbah.
“Nampaknya
engkau menginginkan agar aku menikmati semua jenis kenikmatan duniawi yang ada
didalam kehidupan yang fana` ini”, komentar Umar.
Demikianlah
sekelumit tentang kesederhanaan kehidupan khalifah Umar bin Khatthab yang
sangat disegani dan ditakuti oleh para Raja di masa itu. Namun dia tetap
menjalani hidup ini dengan penuh kezuhudan, sebagaimana yang tergambar didalam
soal makanan dan pakaian sehari-harinya.
Pada
suatu hari, Umar berkhutbah di hadapan para sahabatnya dengan mengenakan
pakaian “kebesaran” khalifah yang terdapat duabelas tambalan. Salah satu
diantaranya ditambal dengan kulit binatang. Pada suatu hari, Umar terlambat
datang ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at, lalu berkata kepada para
jamaahnya, “Maafkan aku terlambat datang. Karena aku harus mencuci dulu bajuku.
Aku tidak memiliki baju selain baju ini”.
* * * * * *
Kewaraan Umar
Orang-orang
yang bertakwa selalu berfikir dan berhati-hati agar tubuhnya jangan sampai
kemasukan benda atau makanan syubhat, apalagi haram. Salah seorang diantara
mereka adalah Umar bin Khatthab.
Umar
pernah mencicipi air susu yang disuguhkan seseorang kepadanya. Dia tanyakan
dari mana susu itu berasal dan bagaimana cara mendapatkannya. Orang itu bilang,
“Ada beberapa ekor onta hasil pengumpulan sedekah atau zakat sedang memakan
rumput di hutan. Kebetulan aku pergi ke sana dan penggembalanya memerah air
susu dari onta itu, lalu diberikannya kepadaku”.
Mendengar
jawaban orang itu, Umar langsung melogok tenggorokannya dan memuntahkan air
susu yang terlanjur diminumnya”.
* * * * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar