Senin, 15 Mei 2017

UMAR BIN KHOTTHOB 5 : Kesalehan pribadinya - [24]






Umar Menghukum Dirinya Sendiri

Ketika Umar sedang sibuk dengan pekerjaannya, datang seseorang seraya berkata, “Hai Umar, si fulan menzhalimi saya. Hendaknya engkau menghukum si fulan itu”.
Mendengar pengaduannya, Umar mengambil cambuk dan memukuli orang tersebut sambil berkata, “Kemarin aku sudah duduk menunggumu dan menyediakan waktuku untuk mengurus persoalannya, ternyata kamu tidak datang. Sekarang, di saat aku sedang sibuk dengan urusan lain, kamu datang meminta bantuanku untuk menyelesaikan urusanmu”.
Orang itu lalu pergi. Kemudian Umar menyuruh seseorang untuk memanggil orang yang mengadukan persoalnnya tersebut. Setelah datang, Umar memberikan cambuk kepada orang tersebut sambil berkata, “Balaslah aku dengan cambuk ini”
“Aku sudah memaafkan tindakanmu kepadaku, semata-mata karena Allah swt”, jawab orang tersebut.
Umar cepat-epat pulang ke rumahnya, lalu shalat sunnah dua rekaat, dan terus menghukum dirinya sendiri : “Hai Umar, dahulu kedudukanmu rendah, sekarang kamu ditinggikan Allah swt Dulu kamu sesat, lalu Allah swt memberimu hidayah. Dulu kamu hina, lalu Allah swt memberimu kemuliaan dan menjadikanmu seorang Raja bagi kaum muslimin. Sekarang, seorang lelaki datang kepadamu sambil mengadukan persoalnnya, agar si fulan yang menzhaliminya dihukum, namun kamu justru memukulinya. Pada hari kiamat nanti, apa yang akan kamu pertanggungjawabkan di hadapan Tuhanmu?”.

* * * * * *  * * *



Sering Membaca Al-Qur`an Sambil Menangis.
Setiap kali shalat shubuh, Umar selalu membaca surat-surat yang panjang setelah Fatihah. Terkadang membaca surat al-Kahfi, Thaha, dan surat panjang lainnya. Sewaktu membaca ayat-ayatnya, sering kali dibaca sambil menangis sampai terdengar oleh makmum yang berada di shaf paling belakang.
Suatu ketika dia membaca surat Yusuf, sesampainya pada bacaan ayat :

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ya`qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (QS Yusuf,[12] : 86)

Umar menangis terisak-isak smpai suara bacaan ayatnya tidak terdengar oleh makmumnya.
Demikian pula didalam shalat-shalat tahajjudnya, terkadang Umar terus membaca ayat-ayat Al-Qur`an itu sambil menangis, yang terkadang menyebabkannya jatuh pingsan atau sakit.

 
* * * * * *



Kecintaannya yang sangat mendalam kepada 
Rasulullah saw.

Meskipun memiliki kebernian yang luar biasa, namun Umar tidak mampu menahan kesedihannya sewaktu Rasulullah saw wafat. Bahkan saat itu ia sampai tidak sadarkan diri. Dia berdiri sambil mengacung-acungkan pedangnya kepada orang yang berani mengatakan bahwa beliau saw wafat. “Barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad saw telah wafat, akan aku penggal lehernya. Beliau saw saat ini sedang menemui Tuhannya, sebagaimana Nabi Musa as menemui Tuhannya di bukit thursina, Sebentar lagi beliau saw akan kembali kehadapan kita. Orang yang membawa berita bohong tentang kematiannya, tentu ia akan aku potong tangan dan kakinya”, ancamya.
Ketidaksadaran Umar sampai ia mengeluarkan ancaman tersebut adalah disebabkan sangat dalamnya rasa cintanya kepada beliau saw.
Sementara para sahabat yang lain pun juga merasa sangat sedih dengan kematian beliau saw. Hanya Abu Bakar ash-Shiddiq yang memiliki kesabaran dan ketabahan yang sangat tinggi. Begitu mendengar berita wafatnya beliau saw, Abu Bakar langsung datang ke kediaman beliau saw dengan tenang, lalu masuk ke kamar dan mencium kening beliau saw. Setelah itu dia keluar menemui Umar bin Khatthab sambil berkata, “Tenanglah kamu. Sekarang duduklah”. Selanjutnya Abu Bakar berpidato di hadapan para sahabat yang sedang susah dan bingung dengan ancaman Umar tersebut.
Barangsiapa yang menyembah Muhammad saw, ketahuilah bahwa Muhammad saw sekarang sudah wafat. Dan barangsiapa yang menyembah Allah swt, sungguh Allah swt Maha Hidup dan tidak akan pernah mati”, isi pidato Abu Bakar. Lalu diteruskan dengan membaca ayat 144 surat Ali Imran :

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” 

Mendengar pidato Abu Bakar tersebut, Umar menjadi sadar kembali dan berkata kepada Abu Bakar, “Seolah-olah aku belum pernah membaca ayat tersebut…”.

* * * * * * * *    

Bertabarruk dengan Makam Rasulullah saw.

Sewaktu sakit menjelang wafatnya, Umar mengutus putranya, Abdullah, agar menemui ‘Aisyah, “Temuilah Ummul Mukminin, ‘Aisyah. Sampaikan kepadanya salam dari Umar. Jangan kamu katakan salam dari Amirul Mukminin. Karena hari ini aku tidak mengatasnamakan sebagai Amirul Mukminin. Katakan kepadanya, bahwa Umar bi Khatthab memohon ijin agar jenazahnya nanti diperkenankan dikubur di samping jenazah kedua sahabatnya yang tercinta, Rasulullah saw dan Abu Bakar”.
Abdullah bin Umar segera melaksanakan perintah ayahnya. Sesampainya di depan rumah ‘Aisyah, dia mengucapkan salam  sambil memohon diperkenankan masuk kedalam. Setelah masuk, Aisyah ditemukannya dalam keadaan menangis. Beberapa saat kemudian, dia berkata kepadanya, “Umar bin Khatthab menyampaikan salam untukmu dan memohon ijin kepadamu agar jenazahnya nanti diperkenankan dikubur di samping jenazah kedua sahabatnya yang tercinta”.
‘Aisyah menegaskan kepada Abdullah bin Umar, “Sebenarnya saya sendiri juga ingin dikubur di tempat ini, di samping suami dan ayah saya. Sesungguhya pada hari ini, aku utamakan untuk diriku sendiri”.
Selanjutnya Abdullah bin Umar kembali ke rumah utuk menemui ayahnya. Umar nampaknya tidak sabaran, lalu berkata kepadanya, “Apa jawaban yang kamu bawa dari ‘Aisyah?
Seperti yang engkau inginkan, wahai Amirul Mukminin. Dia mengijinkanmu”, jawab putranya.
Alhamdulillah. Tiada yang lebih penting bagiku selain keinginanku agar jenazahku nanti dikubur di samping jenazah Rasulullah saw dan Abu Bakar. Jika nanti aku benar-benar wafat, bawalah jenazahku ke sana, lalu ucapkanlah salam kepada ‘Aisyah dan katakan sekali lagi kepadanya, bahwa Umar meminta ijin agar jenazahnya dikubur di tempat itu, Jika dia tidak menginjinkan, bawalah jenazahku untuk dikubur di pekuburan kaum muslimin”, komentar Umar bin Khatthab.
Kisah di atas diketengahkan oleh imam al-Bukhari didalam kitab Shahih-nya, pada bagian Kitabul Janaiz, bab Ma ja-a fi qabrin Nabiy, yang dikutip oleh DR Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki didalam bukunya, Mafahim Yajibu an Tushahhaha, didalam sub bab yang menjelaskan persoalan tabarruk.

* * * * * * * * *             


Umar dan Seorang Gadis Shalihah.

Pada suatu malam, khalifah Umar bin Khatthab melakukan ronda keliling ke desa-desa, hingga sampai di suatu perkampungan. Di sana, Umar mendengar suara dialog seorang ibu dengan anak gadisnya di sebuah rumah, lalu berhentilah sekedar ingin mendengar isi dialog mereka.
Hai putriku, bangunlah dan segera campuri susu perahan ini dengan air”, kata ibu kepada anak gadisnya.
“Ibu, saya tak sanggup melakukannya. Apakah ibu tidak memperhatikan peringatan Amirul Mukminin agar tidak mencampur susu dengan air? Kalau perintah ibu ini aku lakukan, berarti aku telah melakukan maksiat dan tidak taat kepada Allah swt di tempat sepi”, jawab anak gadisnya.
Rumah tersebut diberi tanda khusus oleh Umar. Kemudian dia melanjutkan ronda kelilingnya. Pada hari berikutnya, dia menyuruh putranya yang bernama ‘Ashim agar segera pergi meminang seorang gadis yang jujur sebagaimana kisah di atas. Karena Umar tahu benar, bahwa gadis tersebut memiliki sifat-sifat dan cici-ciri sebagai wanita shalihah, yang memiliki keteguhan hati, berbudi pekerti yang luhur, dan taat beragama.

* * * * * * *    

Menghukum Anak Gubernur.

Pada suatu hari, si fulan, salah seorang penduduk Mesir yang beragama kristen datang ke kota Madinah, dengan maksud hendak mengadukan kepada khalifah Umar tentang perlakukan zalim yang dilakukan anak Gubernur Mesir, Amr bin Ash, kepada dirinya.
Wahai Amirul Mukminin, pada suatu hari di kota Mesir diadakan lomba ketangkasan dan saya ikut. Kebetulan saya menang dan dapat mengalahkan seorang anak Gubernur. Namun, anak itu malah marah kepadaku sambil berkata, ‘Kenapa kamu mengalahkan aku. Tidak tahukah, bahwa aku ini anak Gubernur!’. Saya benar-benar sakit hati karena dipermalukan di depan umum. Akhirnya orang-orang yang menyaksikan peristiwa ini menyarankan agar saya mengadukan kejadian ini kepada Amirul Mukminin”, katanya kepada Umar.
Mendengar pengaduannya itu, khalifah Umar bin Khatthab sangat marah, lalu mengirimkan sepucuk surat kepada Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, agar dia dan anaknya segera datang ke Madinah menemuinya.
Amr bin ‘Ash benar-benar sangat ketakutan, karena ia tidak merasa berbuat salah. dan merasa heran, kenapa harus dengan putranya. Demi memenuhi undangan Amirul Mukminin, ia dan putranya datang segera ke Madinah pada hari itu juga. Sesampainya di Madinah, tanpa basa basi Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Sejak kapan kamu memperbudak rakyat Mesir. Padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka!”.
Selanjutnya Amirul Mukminin Umar menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, dan langsung saja menyerahkan cemeti kepada si fulan seraya berkata, “Pukul saja anak gubernmu itu!”.
Setelah perintah Amirul Mukminin itu dilaksanakannya, ia diperintah sekali lagi, “Pukullah ayahnya, karena seorang anak tidak akan berbuat zhalim kecuali disebabkan oleh kekuasaan ayahnya”.
Namun si fulan tersebut menolak perintah Amirul Mukminin dan mau memaafkan kesalahan Amr bin ‘Ash dan anaknya.

* * * * * * *                

Amirul Mukminin dan Pelayannya.

Amirul Mukminin Umar bin Khatthab memenuhi undangan untuk menerima penyerahan kota suci Baitul Maqdis atau Jerussalem (“Darussalam”) langung dari tangan petinggi agama nasrani, Uskup Agung Sophronius.
Amirul Mukminin Umar datang dari Madinah ke kota tersebut tanpa dikawal oleh pasukan khusus, hanya ditemani seorang pelayan dengan mengendarai seekor onta. Karena kendaraannya hanya seekor onta, sebelum berangkat Amirul Mukminin bersepakat dengan pelayannya untuk menaiki kendaraan tersebut secara bergantian setiap mencapai jarak tertentu selama dalam perjalanannya.
Mula-mula Amirul Mukminin Umar yang lebih dahulu naik onta, sementara pelayannya yang menuntunnya. Setelah mencapai jarak seperti yang disepakati sebelumnya, ganti pelayannya yang naik dan Umar yang menuntunnya. Begitu seterusnya hingga sampai di kota Baitul Maqdis.
Tepat memasuki perbatasan kota, giliran pelayannya yang naik dan Amirul Mukminin yang menuntun. Baru beberapa langkah berjalan, datanglah panglima tentara Islam, Abu Ubaidah bin Jarrah, dengan didampingi oleh panglima Khalid bin Walid dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ketiga panglima ini sengaja datang menjemput Amirul Mukminin dengan mengenakan pakaian kebesaran ala Romawi, dengan mengendarai kuda pilihan. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga gengsi di hadapan pembesar Romawi.
Amirul Mukminin sangat terkejut dengan perubahan sikap dan cara berpakaian mereka. Sebaliknya, mereka pun sangat heran dan malu melihat seorang Amirul Mukminin, pemimpin tertinggi kaum mukminin, datang sendirian hanya ditemani seorang pelayan dan naik seekor onta, bukan kuda pilihan. Yang lebih memalukan lagi, pikir mereka, Umar berpakaian kumal dengan dua belas tambalan, sebagaimana yang biasa dipakainya sehari-hari, dan lagi dalam keadaan sedang menuntun onta. Pikir mereka, kondisi semacam ini nanti justru akan menurunkan derajat Amirul Mukminin dan menjadi bahan di hadapan para pembesar Romawi.
Untuk itu, Abaidah bin Jarrah memberanikan diri menegur Umar, “Wahai Amirul Mukminin! Seluruh pejabat dan pembesar Romawi, beserta Uskup Agung dan seluruh Pastur, sudah siap menyambut kedatangan engkau. Namun, bagaimana jika mereka nanti melihat engkau tetap seperti ini?”
Mengapa?”, tanya Umar pura-pura tidak tahu.
Engkau seorang Khalifah. Tidak pantas jika engkau berpenampilan seperti ini, berpakaian tambalan sambil menuntun onta. Sementara pelayanmu enak-enak nongkrong di atas onta yang engkau tuntun”, kata Abu Ubaidah.
Allah swt memuliakan aku disebabkan oleh Islam. Aku tidak perduli dengan ejekan mereka nanti”, jawab Umar sambil membungkuk dan mengambil tanah lumpur dengan tangannya, lalu melemparkannya ke arah ketiga panglima Islam tersebut, sehingga pakaian mereka menjadi kotor. Selanjutnya
Umar mencaci dan memarahi mereka habis-habisan, serta mencela cara berpakaian mereka yang dianggapnya sudah berubah dan meniru-niru gaya berpakaian ala Romawi. Umar menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu bertentangan dengan semangat api Islam yang memerintahkan kepada umatnya agar berpola hidup sederhana dan zuhud, dengan menjadikan kemewahan duniawi sebagai “sarana”, bukan “tujuan”. Nilai kemuliaan seseorang terletak pada segi ketakwaannya kepada Allah swt dan bukan pada penampilan lahiriahnya.
Setelah kemarahan Umar berangsur-angsur mereda, panglima Abu Ubaidah bin Jarrah berusaha menjelaskan, bahwa mereka berpakaian ala Romawi adalah sekedar untuk menjaga gengsi dan martabat pasukan Islam di hadapan pembesar Romawi. Namun demikian, Umar tetap saja menolak pola pikir mereka tersebut dan menegaskan akan tetap berpenampilan sebagaimana apa adanya, sederhana dan zuhud.

* * * * * * *      

Menerima Penyerahan Kota Baitul Maqdis.

Amirul Mukminin Umar dan pelayannya yang tetap dalam keadaan seperti di atas diantarkan oleh para panglimanya ke tempat upacara penyerahan kota. Sesampainya di sana, seluruh rakyat, para pembesar dan pejabat Romawi, beserta Uskup Agung dan para pasturnya, mengelu-elukan kedatangan Amirul Mukminin. Yang mereka elu-elukan justru pelayan Umar yang berada di atas onta. Mereka baru tahu sosok Amirul Mukminin yang sebenarnya setelah para pasukan Islam menyambut, menghormati dan merangkul Umar bin Khatthab yang sedang menuntun onta itu, bukan seseorang yang berada di aas onta. Di samping itu, Abu Ubaidah memperkenalkan bahwa orang yang menuntun onta itulah Amirul Mukminin, Khalifah Umar bin Khatthab.
Para pembesar, Uskup dan Pastur dan seluruh rakyat merasa salah lihat. Mereka tercengang sekaligus menaruh rasa simpati yang begitu besar dan memberikan hormat yang begitu tinggi kepada seorang Amirul Mukminin, pimpinan tertinggi ummat Islam, yang sangat sederhana, zuhud dan tawadhu’ tersebut. Namun di balik kesederhanaan, kezuhudan dan ketawadhu’annya itu terpancar cahaya keluhuran budi dan pandangan jauh ke depan. Jauh berbeda dengan pola sikap pejabat Romawi yang gila pujian, bergaya hidup mewah, boros, bertampang angker, tidak toleran, serta suka memaksakan kehendak dan zalim.
Setelah kota Baitul Maqdis diserahkan secara langsung oleh Uskup Agung Sophronius, khalifah Umar bin Khattab berpidato di hadapan mereka yang hadir, yang intinya menyerukan agar semua penduduk dapat hidup berdampingan secara damai, kebebasan beragama dan menjalankan aktifitas ibadah sesuai dengan agamanya dijamin sepenuhnya oleh pemerintah Islam. Penegasan Umar ini membuat semua penduduk merasa senang, gembira dan simpatik kepada pemerintahan Islam, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang di kemudian hari menyatakan masuk Islam secara suka rela.
Khalifah Umar selanjutnya diajak berkeliling kota mengunjungi tempat-tempat yang mereka sucikan dan tempat bersejarah lainnya, dengan diiringi oleh para pembesar Romawi, Uskup Agung dan para pastur, sampai tiba waktu shalat zhuhur. Uskup Sophronius menawarkan kiranya khalifah berkenan mempergunakan salah satu geraja terbesar yang dibangun oleh kaisar Heraklius sebagai tempat shalat. Namun dengan tidak mengurangi rasa hormatnya kepada Uskup, Umar menolak tawarannya yang ramah itu secara halus, seraya berkata kepadanya, “Kalau saya shalat didalam gereja ini, saya khawatir, jangan-jangan kaum muslimin yang datang di kemudian hari akan merampas gereja tuan-tuan, lalu menjadikannya sebagai masjid”.
Sebagai jalan keluarnya, Umar kemudian memilih lokasi tanah lapang di samping gereja tersebut untuk dijadikan sebagai tempat shalat berjamaah bersama-sama dengan tentara Islam. Dan di atas tanah lapang itulah nantinya akan didirikan sebuah masjid agung yang lebih dikenal dengan “Masjid Umar”.

* * * * * *    

 

Hidup Sederhana dari Tunjangan Baitul Mal

Umar bin Khatthab mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari dengan berdagang. Namun, ketika menjadi seorang khalifah, Umar mengumpulkan rakyat di Madinah, lalu berkata kepada mereka, “Sebelum ini, aku bekerja sebagai pedagang. Sekarang kalian memberiku tugas mengurusi kalian, sehingga aku tidak bisa meneruskan perdaganganku. Lalu, bagaimana dengan mata pencarianku sekarang, dan dari mana aku memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluargaku?”
Para hadirin memberikan jalan keluar agar penghasilannya diambilkan dari Baitul Mal, sebagaimana yang berlaku semasa kekhalifahan Abu Bakar. Namun mereka berbeda pendapat mengenai besarnya gaji yang sepantasnya diberikan kepada Umar. Ali bin Abi Thalib hanya diam menanggapi masalah ini. Selanjutnya Umar mendekati Ali seraya berkata, “Apa Usulmu, wahai Ali?
Ambillah uang dari Baitul Mal sekedar untuk bisa mencukupi kebutuhan keluargamu saja!”, jawab Ali.
Usulan Ali sangat disetujui Umar. Maka ditentukanlah sendiri olehnya besarnya gaji tunjangannya. Tak lama kemudian, beberapa orang sahabat terkemuka yang antara lain Usman, Ali, Zubair dan Thalhah bermaksud ingin mengusulkan agar gaji tunjangannya ditambah lagi, karena gaji itu nampaknya terlalu sedikit. Namun, tidak seorang pun diantara mereka yang berani mengemukakannya secara langsung kepadanya. Akhurnya mereka memutuskan untuk menemui Hafshah, putri Umar, seraya meminta kesediannya sebagai mediator untuk menyampaikan usulan mereka kepada ayahnya, tanpa menyebutkan nama-nama mereka. Dan Hafshah menyanggupinya.
Sewaktu Hafshah menyampaikan usulan tersebut, Umar justru sangat marah, sambil berkata, “Siapakah yang mengajukan usulan ini?
Katakan dulu pendapatmu”, kata Hafshah.
Umar bin Khatthab lantas berkata, “Seandainya aku tahu orang-orang yang mengusulkan tersebut, tentu akan aku “tempeleng” (pukul) kepala mereka. Sekarang, coba kamu ceritakan kepadaku, bagaimana pakaian Rasulullah saw yang paling bagus yang pernah beliau miliki?
Jawab Hafshah, “Beliau saw memiliki dua lembar baju berwarna merah yang biasa beliau pakai pada hari jumat atau ketika menerima tamunya”.
Coba jelaskan, makanan apa yang paling lezat yang pernah beliau saw makan di rumahmu?”, tanya Umar.
Roti yang terbuat dari bahan tepung kasar, lalu dicelupkan ke minyak mentega. Kami memakannya selagi masih panas dan melipatnya beberapa lipatan. Pada suatu hari, aku pernah mengolesi sekerat roti dengan sisa-sisa mentega yang ada didalam sebuah kaleng yang hampir kosong, lalu aku suguhkan kepada beliau saw, dan beliau saw pun memakannya dengan penuh nikmat. Malahan, beliau ingin membagi-bagikannya kepada orang lain”, jawab Hafshah.
Umar berkata, “Hai Hafshah, sekarang pergilah dan kepada mereka, bahwa Rasulullah saw telah menetapkan satu contoh kehidupan yang harus aku ikuti. Permisalanku dengan kedua orang, yakni Rasulullah saw dan Abu Bakar, adalah seperti tiga orang musafir yang pergi melalui sebuah jalan yang sama. Orang pertama, dengan melalui jalan tersebut, telah sampai ke tempat yang dituju. Orang kedua, dia mengikuti orang pertama, sehingga ia sampai ke tempat yang dituju. Dan orang ketiga, dia sekarang baru memaulai perjalanannya. Jika ia menempuh jalan yang telah ditempuh oleh mereka berdua, maka ia akan berjumpa dengan kedua musafir tersebut di tempat tujuan. Sedangkan jika ia tidak menempuh jalan sebagaimana yang dilewati oleh mereka berdua, sudah barang tentu ia tidak akan sampai ke tempat tujuan mereka berdua”.

* * * * * * *   

 

Makanan dan pakaian Umar

Pada suatu saat, ketika Umar sedang makan, datanglah Utbah bin Abi Farqad yang ingin menemuinya. Setelah diijinkan masuk, Utbah diajak makan bersama. Ternyata makanan yang ditawarkan Umar kepadanya berupa roti yang keras dan tebal, sampai dia sulit sekali menelannya.
Mengapa roti engkau tidak dipilihkan dari bahan tepung yang baik lagi?”, tanya Utbah bin Abi Farqad.
Apakah semua orang Islam dapat memakan roti dari bahan tepung yang baik?”, Umar balik bertanya.
Tidak semuanya”, jawab Utbah.
Nampaknya engkau menginginkan agar aku menikmati semua jenis kenikmatan duniawi yang ada didalam kehidupan yang fana` ini”, komentar Umar.
Demikianlah sekelumit tentang kesederhanaan kehidupan khalifah Umar bin Khatthab yang sangat disegani dan ditakuti oleh para Raja di masa itu. Namun dia tetap menjalani hidup ini dengan penuh kezuhudan, sebagaimana yang tergambar didalam soal makanan dan pakaian sehari-harinya.
Pada suatu hari, Umar berkhutbah di hadapan para sahabatnya dengan mengenakan pakaian “kebesaran” khalifah yang terdapat duabelas tambalan. Salah satu diantaranya ditambal dengan kulit binatang. Pada suatu hari, Umar terlambat datang ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at, lalu berkata kepada para jamaahnya, “Maafkan aku terlambat datang. Karena aku harus mencuci dulu bajuku. Aku tidak memiliki baju selain baju ini”.

* * * * * *   

Kewaraan Umar

Orang-orang yang bertakwa selalu berfikir dan berhati-hati agar tubuhnya jangan sampai kemasukan benda atau makanan syubhat, apalagi haram. Salah seorang diantara mereka adalah Umar bin Khatthab.
Umar pernah mencicipi air susu yang disuguhkan seseorang kepadanya. Dia tanyakan dari mana susu itu berasal dan bagaimana cara mendapatkannya. Orang itu bilang, “Ada beberapa ekor onta hasil pengumpulan sedekah atau zakat sedang memakan rumput di hutan. Kebetulan aku pergi ke sana dan penggembalanya memerah air susu dari onta itu, lalu diberikannya kepadaku”.
Mendengar jawaban orang itu, Umar langsung melogok tenggorokannya dan memuntahkan air susu yang terlanjur diminumnya”.

* * * * * * *   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar