Sabtu, 06 Mei 2017

Abdurrauf Singkel - [11]





Syekh Abdurrauf bin Ali as-Singkili dilahirkan di Singkel, Aceh tahun 1024 H/1615 M dan meninggal dunia di Banda Aceh, 1105 H/1693 M. Ia dikenal sebagai seorang ulama besar, salah seorang mujaddid (pembaharu), Qadi dan mufti (penasehat agama/ pemberi fatwa) di Kesultanan Aceh, serta tokoh tasawuf dan penyebar Tarekat Syattariah (sebuah aliran tawawuf yang berasal dari India) di Indonesia. Ayahnya, Syekh Ali Al-Fansuri, adalah seorang Arab yang mengawini seorang wanita setempat dari Fansur (daerah sekitar Barus). Mereka kemudian bertempat tinggal di Singkel.
Abdurrauf singkel mendapat pendidikan awalnya di desa kelahirannya, terutama dari ayahnya. Fansur pada masa itu merupakan pusat pengkajian Islam. Kemudian ia pergi ke Ibu kota Kesultanan Aceh (Banda Aceh) dan di sana ia belajar kepada  Hamzah al-Fansuri (w. 1016 H/1607 M,) seorang ahli Tasawuf. Kemudian pada tahun 1064 H/1643 M, ia ke tanah Arab dengan tujuan mempelajari agama. Ia mengunjungi pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama di sepanjang jalur perjalanan hajinya antara Yaman dan Mekah. Ia kemudian bermukim di Mekah dan Madinah untuk menambah pengetahuan tentang ilmu Al-Qur’an, hadits, fiqih dan tafsir, serta tasawuf. Diantara guru-gurunya adalah Ibrahim bin Abdullah bin Jam’an (w. 1083 H/1672 M), yang dikenal sebagai seorang muhaddits (ahli hadits) dan faqih (ahli fiqih). Darinya Abdurrauf singkel mempelajari al-‘Ilm az-Zahir (ilmu pengetahuan eksoteris), seperti fiqih, hadits dan subyek-subyek lainnya yang terkait. Di Zabid, Arab Saudi, ia belajar kepada banyak guru terkenal, antara lain syekh Muhammad Abdul Baqi al-Mizjaji (w. 1074 H/ 1664 M), seorang syekh tareqat an-Naqsyabandiah yang termasyhur. Berikutnya di Jeddah, ia belajar kepada mufti Jeddah, Abdul Qadir al-Barkhali, kemudian terus ke Makkah. Di sana ia belajar kepada beberapa guru pula, antara lain Ali bin Abdul Qadir at-Tabrani, seorang faqih terkemuka di Mekah.
Tahap akhir perjalanan panjang Abdurrauf Singkel dalam menuntut ilmu adalah di Madinah. Di Madinah ini, ia belajar tasawwuf kepada Ahmad Qusasi (991 H/ 1583 M – 1071 H/1661 M) dan Ibrahim al-Qur’ani (1023 H/1614 M – 1102 H/ 1690 M). Kepada Ahmad Qusasi ia mempelajari  al-Ilm al-Bathin (ilmu pengetahuan esoteris), seperti tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait.
Setelah menghabiskan waktu selama 18 tahun di Saudi Arabia, Abdurrauf Singkel kembai ke Aceh pada tahun 1071 H/ 1661 M pada masa pemerintahan Sultanah (Ratu) Safiatuddin Tajul Alam (berkuasa 1051 H/ 1641 M – 1086 H/ 1675 M) yang kemudian mengangkatnya menjadi mufti Kesultanan Aceh. Selain itu, ia segera mengajarkan serta mengembangkan Tarekat ini. Tarekat yang diajarkannya bertujuan untuk membangkitkan kesadaran tentang Allah SWT dalam batin manusia yang dicapai melalui pengamalan beberapa macam Dzikr.
Murid-murid Abdurrauf yang belajar kepadanya sangat banyak dan berasal dari berbagai daerah Nusantara, sebab pada masa itu Aceh merupakan tempat persinggahan jama’ah haji. Dan ketika itu, di Aceh tidak sedikit jama’ah haji yang belajar agama dan tasawuf. Banyak diantara murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal, seperti Syekh Burhanuddin dari Ulakan (Pariaman, Sumatra Barat), pendiri dan penyebar tarekat Syattariyah di sana; Abdul Muhyi dari Jawa Barat, penyebar Tarekat Syattariyah di Jawa; Abdul Malik bin Abdullah (1089 H/1678 M – 1149/1736 M) yang lebih dikenal sebagai Tok Pulau Manis, dari Trengganu, Semenanjung Melayu. Muridnya yang paling dekat dengannya adalah Dawud al-Jawi al-Fansuri bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali a-Rumi yang berasal dari Turki.
Selain mengajar dan berdakwah serta mengabdi di kesultanan Aceh, syekh Abdurrauf Singkel juga menulis karya ilmiah. Dan selama itu, ia memiliki sekitar 21 karya tulis, yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqih, dan sisanya kitab tasawuf. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) merupakan kitab tafsir pertama di Indonesia yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Karya tulis Abdurrauf di bidang fiqih yang utama adalah Mir’ah al-Tullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab. Di dalam kitab tersebut termuat semua bab fiqih madzhab Syafi’i. Kitab faraid (kitab yang mengatur pembagian harta waris) yang digunakan oleh kalangan muslim Melayu-Indonesia hingga waktu terakhir ini. Karyanya yang lain,  Luwara (pilihan) mengenai hukum Islam, digunakan oleh muslim Mindanao di Filipina sejak pertengahan abad ke-19. Di samping itu ia juga menulis Turjuman al-Mustafid (terjemahan yang memberi faedah) yang berbahasa Melayu pertama di Nusantara.
Karya Abdurauf di bidang tasawuf antara lain: “Umdah al-Muhtajin (tiang penyangga orang-orang yang memerlukan), yang menjelaskan ilmu tasawuf yang sebenarnya menurut ajaran Islam dan tujuan pengajarannya serta silsilahnya dalam hubungannya dengan guru-guru tarekatnya (Syattariah); Kifayah al-Muhtajin (pelengkap orang-orang yang butuh) yang menguraikan beberapa fragmen mengenai ilmu tasawuf serta diberi penjelasan oleh penulisnya agar mudah dipahami oleh kalangan awam; Daqaiq al-Huruf (Detail-detail Huruf), yang mengutarakan aspek tasawuf yang harus dipahami agar tidak tergelincir dari aqidah;  Bayan Tajalli (Keterangan tentang Tajalli/ penampakan diri) yang berisikan ilmu tauhid atau aqidah Islam dan Dzikr (bacaan-bacaan) yang terutama dibaca ketika seseorang menghadapi kematian (sakratulmaut).
Abdurrauf Singkel menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah wujud bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wujud bayangan (alam), namun terdapat keserupaan antara kedua wujud ini. Tuhan melakukan tajalli (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif paling sempurna pada insan kamil.
Terkait dengan pemikirannya mengenai wujud Allah SWT, dalam beberapa tulisannya mengenai tasawuf, terlihat bahwa Abdurrauf tidak setuju dengan tindakan pengkafiran yang dilakukan oleh Nuruddin ar-Raniri terhadap para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang berpaham wahdatul wujud atau wujudiyyah. Menurutnya, jika tuduhan pengkafiran itu tidak benar, maka orang-orang yang menuduh dapat disebut kafir.
Karena Syekh Abdurrauf Singkel mengajar dan kemudian dimakamkan di Kuala (muara) Kr. Aceh atau Banda Aceh, ia kemudian juga terkenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang didirikan di Banda Aceh pada tahun 1961, Universitas Syiah Kuala. Ia juga sering disebut sebagai Wali Tanah Aceh. Makamnya dianggap keramat, tempat suci dan ramai dikunjungi para peziarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar