Syekh Abdurrauf bin Ali as-Singkili dilahirkan di
Singkel, Aceh tahun 1024 H/1615 M dan meninggal dunia di Banda Aceh, 1105
H/1693 M. Ia dikenal sebagai seorang ulama besar, salah seorang mujaddid
(pembaharu), Qadi dan mufti (penasehat agama/ pemberi fatwa) di Kesultanan
Aceh, serta tokoh tasawuf dan penyebar Tarekat Syattariah (sebuah aliran
tawawuf yang berasal dari India) di Indonesia. Ayahnya, Syekh Ali Al-Fansuri,
adalah seorang Arab yang mengawini seorang wanita setempat dari Fansur (daerah
sekitar Barus). Mereka kemudian bertempat tinggal di Singkel.
Abdurrauf singkel mendapat pendidikan awalnya di
desa kelahirannya, terutama dari ayahnya. Fansur pada masa itu merupakan pusat
pengkajian Islam. Kemudian ia pergi ke Ibu kota Kesultanan Aceh (Banda Aceh)
dan di sana ia belajar kepada Hamzah
al-Fansuri (w. 1016 H/1607 M,) seorang ahli Tasawuf. Kemudian pada tahun 1064
H/1643 M, ia ke tanah Arab dengan tujuan mempelajari agama. Ia mengunjungi
pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama di sepanjang jalur perjalanan
hajinya antara Yaman dan Mekah. Ia kemudian bermukim di Mekah dan Madinah untuk
menambah pengetahuan tentang ilmu Al-Qur’an, hadits, fiqih dan tafsir, serta
tasawuf. Diantara guru-gurunya adalah Ibrahim bin Abdullah bin Jam’an (w. 1083
H/1672 M), yang dikenal sebagai seorang muhaddits (ahli hadits) dan faqih (ahli
fiqih). Darinya Abdurrauf singkel mempelajari al-‘Ilm az-Zahir (ilmu
pengetahuan eksoteris), seperti fiqih, hadits dan subyek-subyek lainnya yang
terkait. Di Zabid, Arab Saudi, ia belajar kepada banyak guru terkenal, antara
lain syekh Muhammad Abdul Baqi al-Mizjaji (w. 1074 H/ 1664 M), seorang syekh
tareqat an-Naqsyabandiah yang termasyhur. Berikutnya di Jeddah, ia belajar
kepada mufti Jeddah, Abdul Qadir al-Barkhali, kemudian terus ke Makkah. Di sana
ia belajar kepada beberapa guru pula, antara lain Ali bin Abdul Qadir
at-Tabrani, seorang faqih terkemuka di Mekah.
Tahap akhir perjalanan panjang Abdurrauf Singkel
dalam menuntut ilmu adalah di Madinah. Di Madinah ini, ia belajar tasawwuf
kepada Ahmad Qusasi (991 H/ 1583 M – 1071 H/1661 M) dan Ibrahim al-Qur’ani
(1023 H/1614 M – 1102 H/ 1690 M). Kepada Ahmad Qusasi ia mempelajari al-Ilm al-Bathin (ilmu pengetahuan
esoteris), seperti tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait.
Setelah menghabiskan waktu selama 18 tahun di Saudi
Arabia, Abdurrauf Singkel kembai ke Aceh pada tahun 1071 H/ 1661 M pada masa
pemerintahan Sultanah (Ratu) Safiatuddin Tajul Alam (berkuasa 1051 H/ 1641 M –
1086 H/ 1675 M) yang kemudian mengangkatnya menjadi mufti Kesultanan Aceh.
Selain itu, ia segera mengajarkan serta mengembangkan Tarekat ini. Tarekat yang
diajarkannya bertujuan untuk membangkitkan kesadaran tentang Allah SWT dalam
batin manusia yang dicapai melalui pengamalan beberapa macam Dzikr.
Murid-murid Abdurrauf yang belajar kepadanya sangat
banyak dan berasal dari berbagai daerah Nusantara, sebab pada masa itu Aceh
merupakan tempat persinggahan jama’ah haji. Dan ketika itu, di Aceh tidak
sedikit jama’ah haji yang belajar agama dan tasawuf. Banyak diantara
murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal, seperti Syekh Burhanuddin dari
Ulakan (Pariaman, Sumatra Barat), pendiri dan penyebar tarekat Syattariyah di
sana; Abdul Muhyi dari Jawa Barat, penyebar Tarekat Syattariyah di Jawa; Abdul
Malik bin Abdullah (1089 H/1678 M – 1149/1736 M) yang lebih dikenal sebagai Tok
Pulau Manis, dari Trengganu, Semenanjung Melayu. Muridnya yang paling dekat
dengannya adalah Dawud al-Jawi al-Fansuri bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha
Ali a-Rumi yang berasal dari Turki.
Selain mengajar dan berdakwah serta mengabdi di
kesultanan Aceh, syekh Abdurrauf Singkel juga menulis karya ilmiah. Dan selama
itu, ia memiliki sekitar 21 karya tulis, yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2
kitab hadits, 3 kitab fiqih, dan sisanya kitab tasawuf. Kitab tafsirnya yang
berjudul Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) merupakan kitab
tafsir pertama di Indonesia yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Karya tulis Abdurrauf di bidang fiqih yang utama
adalah Mir’ah al-Tullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah li
al-Malik al-Wahhab. Di dalam kitab tersebut termuat semua bab fiqih madzhab
Syafi’i. Kitab faraid (kitab yang mengatur pembagian harta waris) yang
digunakan oleh kalangan muslim Melayu-Indonesia hingga waktu terakhir ini.
Karyanya yang lain, Luwara
(pilihan) mengenai hukum Islam, digunakan oleh muslim Mindanao di Filipina
sejak pertengahan abad ke-19. Di samping itu ia juga menulis Turjuman
al-Mustafid (terjemahan yang memberi faedah) yang berbahasa Melayu pertama
di Nusantara.
Karya Abdurauf di bidang tasawuf antara lain: “Umdah
al-Muhtajin (tiang penyangga orang-orang yang memerlukan), yang menjelaskan
ilmu tasawuf yang sebenarnya menurut ajaran Islam dan tujuan pengajarannya
serta silsilahnya dalam hubungannya dengan guru-guru tarekatnya (Syattariah); Kifayah
al-Muhtajin (pelengkap orang-orang yang butuh) yang menguraikan beberapa
fragmen mengenai ilmu tasawuf serta diberi penjelasan oleh penulisnya agar
mudah dipahami oleh kalangan awam; Daqaiq al-Huruf (Detail-detail
Huruf), yang mengutarakan aspek tasawuf yang harus dipahami agar tidak
tergelincir dari aqidah; Bayan
Tajalli (Keterangan tentang Tajalli/ penampakan diri) yang berisikan
ilmu tauhid atau aqidah Islam dan Dzikr (bacaan-bacaan) yang terutama
dibaca ketika seseorang menghadapi kematian (sakratulmaut).
Abdurrauf Singkel menganut paham bahwa satu-satunya wujud
hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah wujud bayangan,
yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda
dengan wujud bayangan (alam), namun terdapat keserupaan antara kedua wujud ini.
Tuhan melakukan tajalli (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat
Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif paling
sempurna pada insan kamil.
Terkait dengan pemikirannya mengenai wujud Allah
SWT, dalam beberapa tulisannya mengenai tasawuf, terlihat bahwa Abdurrauf tidak
setuju dengan tindakan pengkafiran yang dilakukan oleh Nuruddin ar-Raniri
terhadap para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang berpaham
wahdatul wujud atau wujudiyyah. Menurutnya, jika tuduhan
pengkafiran itu tidak benar, maka orang-orang yang menuduh dapat disebut kafir.
Karena Syekh Abdurrauf Singkel mengajar dan kemudian
dimakamkan di Kuala (muara) Kr. Aceh atau Banda Aceh, ia kemudian juga terkenal
dengan nama Teungku Syiah Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang
didirikan di Banda Aceh pada tahun 1961, Universitas Syiah Kuala. Ia juga
sering disebut sebagai Wali Tanah Aceh. Makamnya dianggap keramat, tempat suci
dan ramai dikunjungi para peziarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar