Sabtu, 06 Mei 2017

KH Abdul Karim Serang Banten - [3]



K.H. Abdul Karim adalah seorang ulama yang ahli tarekat terkemula, ia lahir di desa Lempuyang, Serang, Banten Jawa Barat pada tahun 1830 M / 1250 H.
K.H. Abdul Karim, yang hampir sepanjang hidupnya telah bermukim di Makkah, banyak mendalami ajaran-ajaran keislaman, terutama yang bersifat ketarekatan dari seorang syekh sekaligus pendiri tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, Sekh Ahmad Khatib Ahmad Sambas di Makkah. Rupanya selama belajar pada Syekh Ahmad Khatib Sambas, ia berhasil menunjukkan kemampuannya yang lebih, lalu menjadi murid kesayangannya dan asistennya (khalifah), dan kemudian pada tahun 1876 diakui sebagai pimpinan utama dari tarekat tersebut sepeninggal gurunya. Karenanya, setelah dianggap cukup menguasai materi ketarekatan, ia diutus gurunya untuk mengembangkan tarekat tersebut di Singapura. Beberapa tahun kemudian, 1872, ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang, dan menetap di sana selama hampir empat tahun (1876). Selama masa itu, beliau membai’at beberapa murid murid sebagai anggotanya. Setelah itu, beliau kembali lagi ke Makkah untuk bermukim di sana.
Untuk mengembangkan ajaran keislaman, dalam rentang waktu tersebut, ia sempat mendirikan pesantren. Dalam waktu relatif singkat, selain ia memperoleh banyak pengikut setia, juga nama dan ketokohannya semakin tersohor.

Di bawah pengaruh Abdul Karim, tarekat ini menjadi luar biasa populernya di Banten, khususnya di antara penduduk miskin di desa-desa. Hal ini mendorong  tarekat untuk berperan sebagai jaringan komunikasi dan kordinasi ketika meletus pemberontakan petani melawan penjajah Belanda di Anyer Banten barat laut pada tahun 1888 (Lihat Kartodirjo 1966). Setelah dapat ditundukkan, organisasi tarekat ini dibubarkan oleh Belanda. Abdul Karim sendiri, yang saat itu bermukim di Makkah, tidak berminat terjun di dunia politik dan tidak ada sangkut pautnya dengan pemberontakan tersebut, tetapi salah seorang muridnya yang berwatak keras, Haji Marzuki, yang telah diangkatnya sebagai khalifah-nya, dicurigai Belanda sebagai salah seorang penghasud di balik pemberontakan tersebut.
K.H. Abdul Karim sungguh-sungguh telah berhasil menyakinkan mereka    untuk mendukung misinya. Di antara pejabat pemerintah yang sangat terkesan oleh perjuangannya adalah Bupati Serang sendiri, Gondokusumo  (1874-1889) dan seorang pensiunan Patih, Haji  R.A. Prawiranegara. Karena itu, kemudian, tidak mengherankan jika K.H. Abdul Karim menjadi seorang tokoh yang paling dihormati di keresidenan Banten ketika itu. Kenyataan ini, betapapun, akan menjadi modal dasar bagi perjuangan  K.H. Abdul Karim dan para pengikutnya dalam mengembangkan ajaran keislaman di wilayahnya.
Di mata masyarakat Banten, K.H. Abdul Karim dikenal sebagai ulama yang berhasil membangkitkan semangat mereka  melawan penjajah kolonial Belanda, yang pada akhirnya dikenal dengan pemberontakan petani Banten 1888.
Semangat melawan kolonial yang di pelopori oleh  K.H. Abdul Karim ini terus dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti K.H. Tubagus Ismail, Haji Marzuki dan lain-lainnya.
Abdul Karim merupakan syaikh terakhir yang secara efektif menjalankan fungsi sebagai pucuk pimpinan seluruh cabang tarekat dan mampu menjaga kesatuan tarekat ini,  paling tidak secara formal pengarahannya masih dipatuhi oleh para koleganya dari para kahalifah yang diangkat oleh syekh Ahmad Khatib Sambas. Namun sepeninggalnya, tarekat ini terpecah menjadi beberapa cabang regional yang independen, yang satu sama lain tidak lagi bergantung. 
Para khalifah dari jalur Abdul Karim yang kemudian menyebarkan tarekat ini di Indonesaia antara lain adalah KH Asnawi dari Caringin Banten, KH Falak dari Pesantren Pagentongan Bogor, KH Muslih dari pesantren Mranggen Semarang (melalui KH Asnawi), dan lain-lain. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar