Keridha-an Abu Bakar terhadap penyakit
yang dideritanya menjelang wafatnya. Salah seorang putranya menawarkan diri
untuk mencari seorang tabib agar menyembuhkan penyakitnya. “Wahai ayahku!
Apa perlu aku carikan seorang tabib untuk mengobatimu?”, kata putranya.
“Justru tabib
itulah yang membuatku sakit. Tabib itu telah berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya
Aku Maha Bebas Berbuat sesuai dengan apa yang Aku Kehendaki”, jawab Abu
Bakar.
Ternyata yang
dimaksud “tabib” oleh Abu Bakar
adalah Allah swt. Karena Dia-lah yang pada hakekatnya menjadikan seseorang
sakit dan sembuh. Sementara obat penyembuh dan penyakit yang diderita seseorang
adalah sekedar sebagai sarana Allah swt membuat seseorang sakit atau sehat.
Sikap Abu Bakar yang demikian ini bukan berarti bahwa dia pasrah total dan
tidak mau berusaha mencari obat. Akan tetapi dia memandang dan merasakan bahwa
sakitnya adalah sebagai suatu anugerah yang harus diterima dengan perasaan
ridha dan lapang dada.
*
* * * * *
Kedermawanan. Abu Bakar adalah
seorang pedagang yang kaya raya dan sempat memiliki tabungan 40.000 dirham
sebelum datangnya Islam. Setelah masuk Islam, tidak sedikit harta kekayaannya
yang dikorbankan demi keluhuran Islam dan kaum muslimin. Diantaranya
dipergunakan untuk membeli dan memerdekakan budak-budak muslim yang sedang
disiksa tuannya. Diantara mereka yang dimerdekakan itu adalah Bilal bin Rabah
al-Habsyi, seorang budak milik Umayyah bin Khalaf; Amir bin Fuhairah; Zunairah;
Ummun Unais; Lathifah; Labibah, budak milik Umar bin Khatthab sebelum dia masuk
Islam; dan masih banyak lagi.
Dengan kekayaan itu pula Abu Bakar
membantu fakir miskin di kalangan kaum muslimin, membantu penyediaan
perbekalan pasukan perang, menjamu para
tamu, amal sosial lainnya dan biaya perjuangan Rasulullah saw. Semuanya ini dia
lakukan secara ikhlas, semata-mata mengharap ridha Allah swt.
Kezuhudan dan
kedermawanannya tampak sekali sewaktu menghadapi perang Tabuk pada tahun 9
hijriyah. Saat itu sedang musim paceklik dan kaum muslimin sedang dilanda
krisis ekonomi, sementara tentara Romawi Bizantium yang akan dihadapi kaum
muslimin siap tempur dan sangat kuat dengan persenjataan lengkap. Selain itu,
perjalanan yang akan ditempuh cukup jauh, yakni daerah Tabuk di Syam. Ditambah
lagi kondisi cuaca yang cukup panas, buah-buahan sudah masak dan siap dipanen,
sehingga kaum muslimin lebih senang menunggui sawah ladang mereka daripada
harus berangkat berperang.
Perang Tabuk jauh hari
sudah diumumkan Rasulullah saw, agar kaum muslimin mempersiapkan perbekalannya
sebaik mungkin dan bagi sahabat yang mampu agar
berkenan menyumbangkan sebagian hartanya untuk biaya pertempuran dan
membantu tentara yang tidak memiliki persiapan bekal. Hal sangat berbeda dengan
perang-perang selainnya yang biasanya
beliau saw umumkan secara mendadak.
Menyambut seruan beliau saw tersebut, para sahabat yang kaya
terketuk hatinya untuk menyumbangkan dananya. Diantaranya adalah Usman bin
Affan yang paling banyak jumlah sumbangannya, yang meliputi uang 10.000 dinar
emas, 300 ekor onta lengkap dengan pelananya dan 50 ekor kuda. Umar bin
Khatthab menyumbangkan separuh dari seluruh hartanya. Abdurrahman bin Auf
menyumbangkan 100 auqiyah emas. Demikian pula Abbas bin Abdul Muthalib dan
Thalkhah.
Tidak ketinggalan
pula Abu Bakar yang menyumbangkan seluruh harta kekayaannya sebanyak 4.000
dirham, tanpa tersisa sedikut pun harta di rumahnya. Tanya Rasulullah saw,
“Masih adakah harta yang kamu sisakan untuk keluargamu?”. Jawab Abu Bakar, “Aku
sisakan Allah dan Rasul-Nya buat keluargaku”.
Menyaksikan
kedermawanan dan kezuhudan Abu Bakar tersebut, Umar bin Khatthab berkomentar,
“Aku tidak bisa mengalahkan kedermawanan Abu Bakar. Seluruh harta kekayaannya
dia sumbangkan, sementara yang disisakan buat keluarganya adalah Allah swt dan
Rasulullah saw, bukan wujud harta benda. Sedangkan aku masih menyisakan separuh
hartaku buat keluargaku”.
*
* * * *
Abu Bakar dan
Tabungan isterinya.
Pada suatu hari
isteri Abu Bakar berkata, “Aku ingin membeli sedikit manisan”.
“Aku tidak memiliki
cukup uang untuk membelinya!”, kata Abu Bakar.
“Kalau engkau
mengijinkan, aku mencoba menghemat uang belanjaan sehari-hari, sampai terkumpul
untuk cukup membeli masakan itu”, usul isterinya.
Abu Bakar menyetujui usul isterinya.
Sejak waktu itu, isteri Abu Bakar mengumpulkan sisa belanjaan sedikit demi
sedikit, sampai terkumpul sejumlah uang sesuai dengan yang diinginkan. Kemudian
uang itu diserahkan kepada Abu Bakar agar dibelikan bahan makanan tersebut.
Namun, apa kata Abu Bakar?.
“Berdasarkan
pengalaman ini, uang tunjangan dari Baitulmal berarti melebihi keperluan
kita. Kelebihan ini harus aku kembalikan lagi Baitulmal”, kata Abu Bakar
kepada isterinya.
Sejak peristiwa itu,
Abu Bakar meminta kepada petugas di Baitulmal agar mengurangi tunjangan
untuk keluarganya.
Ibnu Sirin
meriwayatkan. Ketika menjelang wafatnya, Abu Bakar memanggil salah satu
putrinya, ‘Aisyah ra, untuk mengungkapkan wasiatnya, “Aku sebenarnya tidak suka
menerima tunjangan dari Baitulmal, tetapi Umar mendesakku untuk
menerimanya agar aku tidak diganggu oleh kegiatan perdaganganku didalam
mengurus kaum muslimin. Aku tidak memiliki pilihan lain, selain menerimanya
dengan terpaksa. Untuk itu, serahkan kebunku di sana sebagai penggantiku
membayar apa saja yang pernah aku terima dari Baitulmal”.
Setelah Abu Bakar wafat, ‘Aisyah
segera melaksankan wasiat ayahnya. Kebun tersebut lalu diserahkan kepada Umar
bin Khatthab selaku khalifah kedua pengganti ayahnya. Anas bin Malik ra
meriwayatkan, ketika wafat, Abu Bakar tidak meninggalkan harta warisan sedikit
pun, baik dirham maupun dinar. Dia hanya meninggalkan satu ekor onta betina
untuk diperah air susunya, sebuah mangkok dan seorang pelayan. Menurut sahabat
yang lain, Abu Bakar hanya meninggalkan sehelai kain untuk hamparan. Dan itu
pun semuanya sudah diserahkan kepada Khalifah Umar bin Khatthab.
“Semoga Allah swt
melimpahkan rahmat kepada Abu Bakar. Dia telah menunjukkan jalan yang sukar
untuk diikuti oleh para penggantinya. Dia tidak memberi peluang kepada siapa
pun untuk menandingi ketinggian derajatnya”, komentar Umar bin Khatthab.
*
* * * *
Kewira’ian Abu Bakar. Abu Bakar sangat
berhati-hati dalam soal makanan, minuman dan harta yang diperolehnya. Jangan
sampai ada sedikit pun makanan, minuman dan harta yang masuk kedalam perutnya.
Baik zatnya yang memang haram, maupun cara mendapatkannya. Bahkan terhadap
barang yang syubhat pun, Abu Bakar berusaha menjauhinya, sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari berikut ini.
Abu Bakar memiliki
seorang hamba sahaya yang selalu menyerahkan sebagian dari pendapatan hariannya
kepadanya. Pada suatu hari, hamba itu membawa sedikit makanan kepadanya, lalu
dicicipi satu suap.
“Wahai tuanku!
Biasanya tuan selalu bertanya kepadaku dari manakah sumber makanan yang aku
bawakan setiap hari kepada tuan. Namun kali ini tuan tidak menanyakannya”, kata
hamba.
“Tadi, aku tidak
sempat bertanya kepadamu karena aku sangat lapar. Sekarang jelaskan, dari mana
makanan itu kamu dapatkan?”, kata Abu Bakar.
“Pada jaman
jahiliyah, aku pernah menjadi dukun. Aku lewat perkampungan suatu kaum dan di
sana aku membaca mantera kepada mereka. Mereka berjanji akan memberikan sesuatu
kepadaku sebagai balas jasa terhadap apa yang pernah aku lakukan itu. Pada hari
ini, aku lewati perkampungan mereka. Kebetulan mereka sedang melangsungkan
pernikahan. Kemudian mereka memberikan makanan ini kepadaku”, kata hamba Abu
Bakar.
Mendengar
penjelasannya itu, Abu Bakar langsung berteriak, “Hampir saja kamu
menghancurkan aku”.
Selanjutnya Abu Bakar
berusaha memuntahkan sesuap makanan yang sudah ditelannya dengan cara melogok
tenggorokannya. Namun, makanan yang sudah masuk ke perutnya tersebut sulit
dimuntahkannya. Seseorang yang menyaksikan peristiwa tersebut menyarankannya
supaya meminum air sebanyak-banyaknya, agar makanan tersebut mudah dimuntahkan.
Segeralah dia melakukan saran orang itu, dan akhirnya ia berhasil memuntahkan
kembali makanan tersebut.
“Semoga Allah swt
melimpahkan rahmat-Nya kepadamu yang telah bersusah payah memuntahkan isi
perutmu, hanya karena sesuap makanan yang engkau anggap haram”, kata seseorang
tersebut.
“Meskipun aku harus
kehilangan nyawa demi memuntahkan makanan itu, aku tetap memaksakan diri untuk
memuntahkannya dari perutku. Karena aku pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda, bahwa badan yang tumbuh dari makanan haram, maka api neraka pantas
membakarnya. Oleh karena itu, aku selalu khawatir jika badanku ini tumbuh dari
makanan haram”, tegas Abu Bakar.
Sebenarnya dalam
peristiwa tersebut, harta dan makanan dari hamba sahayanya itu tidak begitu
penting bagi Abu Bakar. Kalaupun harta atau makanan itu benar-benar bersumber
dari usaha yang tidak halal, Abu Bakar sebenarnya tidak menanggung beban dosa,
akan tetapi hambanya dan penduduk kampung tersebut yang menanggung beban
dosanya. Namun, sikap hati-hati dan wara’ atau wirai-nya itulah
yang menyebabkannya tidak merasa tenang dengan harta atau makanan yang diduga
mengandung unsur syubhat, apalagi yang jelas-jelas haram.
*
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar