Minggu, 14 Mei 2017

ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ 4 : Kezuhudan, Kedermawanan & Kewara'annya - [18]





Keridha-an Abu Bakar terhadap penyakit yang dideritanya menjelang wafatnya. Salah seorang putranya menawarkan diri untuk mencari seorang tabib agar menyembuhkan penyakitnya. “Wahai ayahku! Apa perlu aku carikan seorang tabib untuk mengobatimu?”, kata putranya.
Justru tabib itulah yang membuatku sakit. Tabib itu telah berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya Aku Maha Bebas Berbuat sesuai dengan apa yang Aku Kehendaki”, jawab Abu Bakar.
Ternyata yang dimaksud “tabib”  oleh Abu Bakar adalah Allah swt. Karena Dia-lah yang pada hakekatnya menjadikan seseorang sakit dan sembuh. Sementara obat penyembuh dan penyakit yang diderita seseorang adalah sekedar sebagai sarana Allah swt membuat seseorang sakit atau sehat. Sikap Abu Bakar yang demikian ini bukan berarti bahwa dia pasrah total dan tidak mau berusaha mencari obat. Akan tetapi dia memandang dan merasakan bahwa sakitnya adalah sebagai suatu anugerah yang harus diterima dengan perasaan ridha dan lapang dada.

* * * * * *

Kedermawanan. Abu Bakar adalah seorang pedagang yang kaya raya dan sempat memiliki tabungan 40.000 dirham sebelum datangnya Islam. Setelah masuk Islam, tidak sedikit harta kekayaannya yang dikorbankan demi keluhuran Islam dan kaum muslimin. Diantaranya dipergunakan untuk membeli dan memerdekakan budak-budak muslim yang sedang disiksa tuannya. Diantara mereka yang dimerdekakan itu adalah Bilal bin Rabah al-Habsyi, seorang budak milik Umayyah bin Khalaf; Amir bin Fuhairah; Zunairah; Ummun Unais; Lathifah; Labibah, budak milik Umar bin Khatthab sebelum dia masuk Islam; dan masih banyak lagi.
Dengan kekayaan itu pula Abu Bakar membantu fakir miskin di kalangan kaum muslimin, membantu penyediaan perbekalan  pasukan perang, menjamu para tamu, amal sosial lainnya dan biaya perjuangan Rasulullah saw. Semuanya ini dia lakukan secara ikhlas, semata-mata mengharap ridha Allah swt.
Kezuhudan dan kedermawanannya tampak sekali sewaktu menghadapi perang Tabuk pada tahun 9 hijriyah. Saat itu sedang musim paceklik dan kaum muslimin sedang dilanda krisis ekonomi, sementara tentara Romawi Bizantium yang akan dihadapi kaum muslimin siap tempur dan sangat kuat dengan persenjataan lengkap. Selain itu, perjalanan yang akan ditempuh cukup jauh, yakni daerah Tabuk di Syam. Ditambah lagi kondisi cuaca yang cukup panas, buah-buahan sudah masak dan siap dipanen, sehingga kaum muslimin lebih senang menunggui sawah ladang mereka daripada harus berangkat berperang.
Perang Tabuk jauh hari sudah diumumkan Rasulullah saw, agar kaum muslimin mempersiapkan perbekalannya sebaik mungkin dan bagi sahabat yang mampu agar  berkenan menyumbangkan sebagian hartanya untuk biaya pertempuran dan membantu tentara yang tidak memiliki persiapan bekal. Hal sangat berbeda dengan perang-perang selainnya yang  biasanya beliau saw umumkan secara mendadak.
Menyambut seruan  beliau saw tersebut, para sahabat yang kaya terketuk hatinya untuk menyumbangkan dananya. Diantaranya adalah Usman bin Affan yang paling banyak jumlah sumbangannya, yang meliputi uang 10.000 dinar emas, 300 ekor onta lengkap dengan pelananya dan 50 ekor kuda. Umar bin Khatthab menyumbangkan separuh dari seluruh hartanya. Abdurrahman bin Auf menyumbangkan 100 auqiyah emas. Demikian pula Abbas bin Abdul Muthalib dan Thalkhah.
Tidak ketinggalan pula Abu Bakar yang menyumbangkan seluruh harta kekayaannya sebanyak 4.000 dirham, tanpa tersisa sedikut pun harta di rumahnya. Tanya Rasulullah saw, “Masih adakah harta yang kamu sisakan untuk keluargamu?”. Jawab Abu Bakar, “Aku sisakan Allah dan Rasul-Nya buat keluargaku”.
Menyaksikan kedermawanan dan kezuhudan Abu Bakar tersebut, Umar bin Khatthab berkomentar, “Aku tidak bisa mengalahkan kedermawanan Abu Bakar. Seluruh harta kekayaannya dia sumbangkan, sementara yang disisakan buat keluarganya adalah Allah swt dan Rasulullah saw, bukan wujud harta benda. Sedangkan aku masih menyisakan separuh hartaku buat keluargaku”.

* * * * * 

Abu Bakar dan Tabungan isterinya.
Pada suatu hari isteri Abu Bakar berkata, “Aku ingin membeli sedikit manisan”.
Aku tidak memiliki cukup uang untuk membelinya!”, kata Abu Bakar.
Kalau engkau mengijinkan, aku mencoba menghemat uang belanjaan sehari-hari, sampai terkumpul untuk cukup membeli masakan itu”, usul isterinya.
Abu Bakar menyetujui usul isterinya. Sejak waktu itu, isteri Abu Bakar mengumpulkan sisa belanjaan sedikit demi sedikit, sampai terkumpul sejumlah uang sesuai dengan yang diinginkan. Kemudian uang itu diserahkan kepada Abu Bakar agar dibelikan bahan makanan tersebut. Namun, apa kata Abu Bakar?.
Berdasarkan pengalaman ini, uang tunjangan dari Baitulmal berarti melebihi keperluan kita. Kelebihan ini harus aku kembalikan lagi Baitulmal”, kata Abu Bakar kepada isterinya.
Sejak peristiwa itu, Abu Bakar meminta kepada petugas di Baitulmal agar mengurangi tunjangan untuk keluarganya.
Ibnu Sirin meriwayatkan. Ketika menjelang wafatnya, Abu Bakar memanggil salah satu putrinya, ‘Aisyah ra, untuk mengungkapkan wasiatnya, “Aku sebenarnya tidak suka menerima tunjangan dari Baitulmal, tetapi Umar mendesakku untuk menerimanya agar aku tidak diganggu oleh kegiatan perdaganganku didalam mengurus kaum muslimin. Aku tidak memiliki pilihan lain, selain menerimanya dengan terpaksa. Untuk itu, serahkan kebunku di sana sebagai penggantiku membayar apa saja yang pernah aku terima dari Baitulmal”.
Setelah Abu Bakar wafat, ‘Aisyah segera melaksankan wasiat ayahnya. Kebun tersebut lalu diserahkan kepada Umar bin Khatthab selaku khalifah kedua pengganti ayahnya. Anas bin Malik ra meriwayatkan, ketika wafat, Abu Bakar tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun, baik dirham maupun dinar. Dia hanya meninggalkan satu ekor onta betina untuk diperah air susunya, sebuah mangkok dan seorang pelayan. Menurut sahabat yang lain, Abu Bakar hanya meninggalkan sehelai kain untuk hamparan. Dan itu pun semuanya sudah diserahkan kepada Khalifah Umar bin Khatthab.
Semoga Allah swt melimpahkan rahmat kepada Abu Bakar. Dia telah menunjukkan jalan yang sukar untuk diikuti oleh para penggantinya. Dia tidak memberi peluang kepada siapa pun untuk menandingi ketinggian derajatnya”, komentar Umar bin Khatthab.

* * * * *

Kewira’ian Abu Bakar. Abu Bakar sangat berhati-hati dalam soal makanan, minuman dan harta yang diperolehnya. Jangan sampai ada sedikit pun makanan, minuman dan harta yang masuk kedalam perutnya. Baik zatnya yang memang haram, maupun cara mendapatkannya. Bahkan terhadap barang yang syubhat pun, Abu Bakar berusaha menjauhinya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari berikut ini.
Abu Bakar memiliki seorang hamba sahaya yang selalu menyerahkan sebagian dari pendapatan hariannya kepadanya. Pada suatu hari, hamba itu membawa sedikit makanan kepadanya, lalu dicicipi satu suap.
Wahai tuanku! Biasanya tuan selalu bertanya kepadaku dari manakah sumber makanan yang aku bawakan setiap hari kepada tuan. Namun kali ini tuan tidak menanyakannya”, kata hamba.
Tadi, aku tidak sempat bertanya kepadamu karena aku sangat lapar. Sekarang jelaskan, dari mana makanan itu kamu dapatkan?”, kata Abu Bakar.
Pada jaman jahiliyah, aku pernah menjadi dukun. Aku lewat perkampungan suatu kaum dan di sana aku membaca mantera kepada mereka. Mereka berjanji akan memberikan sesuatu kepadaku sebagai balas jasa terhadap apa yang pernah aku lakukan itu. Pada hari ini, aku lewati perkampungan mereka. Kebetulan mereka sedang melangsungkan pernikahan. Kemudian mereka memberikan makanan ini kepadaku”, kata hamba Abu Bakar.
Mendengar penjelasannya itu, Abu Bakar langsung berteriak, “Hampir saja kamu menghancurkan aku”.
Selanjutnya Abu Bakar berusaha memuntahkan sesuap makanan yang sudah ditelannya dengan cara melogok tenggorokannya. Namun, makanan yang sudah masuk ke perutnya tersebut sulit dimuntahkannya. Seseorang yang menyaksikan peristiwa tersebut menyarankannya supaya meminum air sebanyak-banyaknya, agar makanan tersebut mudah dimuntahkan. Segeralah dia melakukan saran orang itu, dan akhirnya ia berhasil memuntahkan kembali makanan tersebut.
Semoga Allah swt melimpahkan rahmat-Nya kepadamu yang telah bersusah payah memuntahkan isi perutmu, hanya karena sesuap makanan yang engkau anggap haram”, kata seseorang tersebut.
Meskipun aku harus kehilangan nyawa demi memuntahkan makanan itu, aku tetap memaksakan diri untuk memuntahkannya dari perutku. Karena aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, bahwa badan yang tumbuh dari makanan haram, maka api neraka pantas membakarnya. Oleh karena itu, aku selalu khawatir jika badanku ini tumbuh dari makanan haram”, tegas Abu Bakar.
Sebenarnya dalam peristiwa tersebut, harta dan makanan dari hamba sahayanya itu tidak begitu penting bagi Abu Bakar. Kalaupun harta atau makanan itu benar-benar bersumber dari usaha yang tidak halal, Abu Bakar sebenarnya tidak menanggung beban dosa, akan tetapi hambanya dan penduduk kampung tersebut yang menanggung beban dosanya. Namun, sikap hati-hati dan wara’ atau wirai-nya itulah yang menyebabkannya tidak merasa tenang dengan harta atau makanan yang diduga mengandung unsur syubhat, apalagi yang jelas-jelas haram.

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar