Abdurrahman “Addakhil”, itulah nama lengkapnya.
Secara leksikal, Addakhil berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil KH
Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang
menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.
Belakangan kata Addakhil tak cukup dikenal dan diganti nama Wahid, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai yang berarti “mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam
bersaudara, dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940.
Gus Dur adalah keturunan ‘darah biru’. Ayahnya, KH Wahid Hasyim adalah putra KH
Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya,
Hj Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH Bisri Syansuri.
Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam
PBNU setelah KH Abdul Wahab Hasbullah.
Pada 1949, ketika clash dengan pemerintahan
Belanda berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga
keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Tamu-tamu, terdiri para tokoh yang
sebelumnya biasa dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya
menjadi menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Gus Dur.
Ia mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari para kolega
ayahnya.
Sejak kanak-kanak, ibunya telah ditandai
berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan
memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU.
Pada April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya
mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah. Di suatu
tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi-Bandung, mobilnya mengalami
kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, tetapi ayahnya meninggal. Kematian
ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur punya kegemaran
membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Ia juga aktif
berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur
telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku serius. Karya-karya
yang dibaca tidak hanya cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, tetapi wacana
tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara.
Ia juga senang bermain bola, catur, dan musik.
Kegemaran lain adalah nonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi
mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur pada 1986-1987
diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di
Jogjakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat ini pengembangan ilmu pengetahuannya
mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren
Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studi di Mesir. Sebelum berangkat ke
Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah
anak H Muh Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Musik Klasik
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada
sang kakek, KH Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakek, ia diajari mengaji
dan membaca Al Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al Qur’an.
Pada saat ayahnya pindah Jakarta, di samping
belajar formal di sekolah, Gus Dur les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya
bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam dan mengganti
namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda, Buhl selalu
menyajikan dengan musik klasik. Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan
dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik
klasik.
Menjelang lulus SD, Gus Dur memenangkan lomba
karya tulis (mengarang) se-Jakarta. Karenanya wajar jika pada masa kemudian
banyak tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus SD, Gus Dur dikirim orang tuanya
belajar di Jogjakarta. Pada 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama) Gowongan, sambil mondok di Pesantren Krapyak. Sekolah ini meski
dikelola Gereja Katolik Roma, tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler.
Di sekolah ini pula pertama Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
Gus Dur lalu minta pindah ke kota dan tinggal di
rumah H Junaidi, pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di
SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah salat subuh, mengaji pada KH Ali Ma’sum
Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan malamnya ikut berdiskusi bersama H
Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa SMEP, Gus Dur didorong oleh
gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus
Dur menghabiskan beberapa buku berbahasa Inggris. Di antara buku-buku yang
dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner.
Ia juga membaca beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset,
dan beberapa karya penulis Rusia, seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan
Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Will Durant yang berjudul
‘The Story of Civilazation’.
Gus Dur juga aktif mendengarkan siaran radio
Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai
berbahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai
Komunis- memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama,
anak yang memasuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx,
filsafat Plato, Thales, dan sebagainya.
Setamat SMEP, Gus Dur melanjutkan belajar di
Pesantren Tegalrejo Magelang. Pesantren ini diasuh KH Chudhari, kiai yang
memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi. Di bawah bimbingan kiai ini
pula, Gus Dur mengadakan ziarah ke makam-makam para wali di Jawa.
Menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo,
Gus Dur lalu kembali ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu
usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, KH Abdul
Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji, kemudian ke Mesir melanjutkan studi di Universitas Al
Azhar.
Pada 1966 Gus Dur pindah ke Irak. Ia masuk
Departement of Religion di Universitas Bagdad sampai 1970.
Di luar kampus, Gus Dur rajin mengunjungi
makam-makam para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri
jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi,
pendiri aliran tasawuf yang diikuti jemaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan
sumber spiritualitasnya.
Dari Baghdad, Gus Dur ingin melanjutkan studi ke
Eropa. Tetapi karena persyaratan ketat, utamanya dalam bahasa, –misalnya untuk
masuk kajian klasik di Kohln harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin
di samping bahasa Jerman–, tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan
adalah menjadi pelajar keliling dari satu universitas ke universitas lainnya.
Pada akhirnya Gus Dur menetap di Belanda selama
enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia
yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi
ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pengembaraan mencari ilmu, Gus Dur
kembali ke Jombang, memilih menjadi guru. Pada 1971 ia bergabung di Fakultas
Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian menjadi
sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun sama Gus Dur mulai menekuni
sebagai kolumnis.
Pada 1974 Gus Dur diminta pamannya, KH Yusuf
Hasyim membantu di Pesantren Tebu Ireng dengan menjadi sekretaris. Gus Dur
mulai sering mendapat undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi,
baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat kegiatan LSM.
Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam
proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori
LP3ES.
Pada 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula
ia merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil
katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat diskusi dan perdebatan serius
mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas
agama, suku dan disiplin ilmu.
Karier yang dianggap ‘menyimpang’ -dalam
kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU adalah ketika
menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1983. Ia juga menjadi ketua
juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1986, 1987.
Pada 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai KH As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 NU di Situbondo. Jabatan itu kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Jogjakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).
Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika
Gus Dur menjabat presiden ke-4 RI. Meskipun sudah menjadi presiden, kenylenehan
Gus Dur tak hilang.
Catatan karier Gus Dur yang patut juga dicatat
adalah saat menjadi ketua Forum Demokrasi (1991-1999), dengan sejumlah anggota
terdiri berbagai kalangan, khususnya nasionalis dan non muslim.
Dari perjalanannya tersebut memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Wikipedia/berbagai sumber.
GUS DUR, Bapak Demokrasi-Pluralis
Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau
dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat
terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H.
Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu,
K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas
pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan
Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah,
adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya
Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.
Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku
memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah
dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa),
pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri
Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara Merdeka,
22 Maret 2004).
Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di
Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di
Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke
Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai
kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada
masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di
seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional
pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini
disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari
pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.
Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan
menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima
dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah
dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat
Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat
itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia
bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan
mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002.
Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)
Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi.
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan
berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya kondisi
kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain karena stroke,
diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan
hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.
Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus
Dur terus mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa meski harus duduk di
kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 ini membuat kita
kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa
adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya
demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi
dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman
tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern.
Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa
Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi
fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu
mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.
Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur
kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam
kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali
muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Meski
ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam
terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah
orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja
bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang
tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau
kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah
tanya apa agamamu”
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)
Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia
yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal
sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai
dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan
banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada
kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat
menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini
sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas
mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh
sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.
Karir Organisasi NU.
Pada
awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali
ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi
tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada
Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa
jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren
dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat
menandingi sekolah sekular.
Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur
dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana
mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang
pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu
dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi
acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU
ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000
orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan
bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan
toleran.
Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan
dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid
tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung Soeharto, seperti
Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika
musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam
tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak
memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan
ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati
Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan
nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim
Soeharto.
Menjadi Presiden RI ke-4.
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato
pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat
kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali
berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih
sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313
suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal
memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa
Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral
Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB
mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta.
Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan
mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4.
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa
menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi
sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara
kesatuan Republik Indonesia.
Presiden
Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland.
Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.
Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus
Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang
politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia.
Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak
yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh
Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak
Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru
Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi
Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan
huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu
sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.
Selain berani membela hak minoritas etnis
Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang
menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa
(antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh
pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan
anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat
kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan
bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa
yang besar.
Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden
Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi
Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar
kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya
sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi
arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang
tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak
gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika
diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang
kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk
menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal
yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan
bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD
1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah terlalu jauh
melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi,
orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun
bangsa yang beragam di saat ini.
Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya,
maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes
politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan
orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti
berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat
presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu.
Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang
diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang
menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang
kontroversi.
Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur
sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR.
Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya sekaligus sebagai anggota
MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif
itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat
kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki
“Presiden Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden
Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG
melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit
pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk
mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya
terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh
menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari
Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal
mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi
senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan
kepresidenannya. Pada 20 Juli 2001, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa
MPR akan dimajukan pada 23 Juli 2001. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta
dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk
penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang
berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai
Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit
tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi
memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden
selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu
memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran
dan kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajuan
berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak
terlupakan.
Hal-Hal Positif dari Gus Dur.
All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs. -KH Abdurrahman Wahid- (source)
Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama
10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan
tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang
terdekatnya.
· Pertama : Akan selalu berpihak pada yang lemah
· Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa
pun.
· Ketiga : Tidak pernah membenci orang,
sekalipun disakiti.
Gus Dur merupakan salah satu tokoh bangsa yang
berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama
sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia
bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan
yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan
agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.
Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus
praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan
rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan
baktinya. Layak kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak
Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.
Jejak Penghargaan Gus Dur :
Dikancah internasional, Gus Dur banyak
memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa)
dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai
lembaga pendidikan diantaranya :
· Doktor Kehormatan dari
Jawaharlal Nehru University, India (2000)
· Doktor Kehormatan dari
Twente University, Belanda (2000)
· Doktor Kehormatan
bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu humaniora
dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
· Doktor Kehormatan
bidang Filsafat Hukum (Philosophy In Law) dari Thammasat University, Bangkok,
Thailand (2000)
· Doktor Kehormatan dari
Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
· Doktor Kehormatan dari
Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
· Doktor Kehormatan dari
Sokka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
· Doktor Kehormatan
bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
· Doktor Kehormatan
bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
· Doktor Kehormatan dari
Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
. Tokoh 1990, Majalah
Editor, tahun 1990 Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon
Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
. Penghargaan
Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University,
September 2000
. Ambassador for Peace,
salah satu badan PBB, tahun 2001
. Islamic Missionary
Award from the Government of Egypt, tahun 1991
. Penghargaan Bina
Ekatama, PKBI, tahun 1994
. Man Of The Year 1998,
Majalah berita independent (REM), tahun 1998
. Honorary Degree in
Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun
2000
· Penghargaan Magsaysay
dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di
Indonesia (1993)
· Bapak Tionghoa
Indonesia (2004)
· Pejuang Kebebasan Pers
__________________________________________
Sumber : http://www.surya.co.id/2009/12/31/dari-abdurrahman-addakhil-menjadi-gus-dur.html
Sumber : http://www.surya.co.id/2009/12/31/dari-abdurrahman-addakhil-menjadi-gus-dur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar